Pemandangan Danau Segara Anak dari Pelawangan 2 saat sunrise. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Menuju Segara Anak
Akhirnya bisa melihat matahari terbit di Pelawangan. Hari sebelumnya gua menikmati pagi di tengah pendakian ke puncak. Pelawangan memang posisinya strategis, Sunset maupun sunrise bisa terlihat dari sini.
Sunset ada di sisi yang sama dengan lokasi Segara Anak. Sementara untuk Sunrise ada di seberangnya, pemandangannya Puncak Rinjani dan perbukitan yang ada di sekitar Gunung Rinjani.
Sunrise di Pelawangan 2. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Seperti biasa, pagi itu, 19 Agustus 2022, tim dapur telah menyiapkan sarapan. Kali ini gua memilih untuk mengambil sendiri makanannya di dapur karena yang udah-udah kalau diambilin porsinya kebanyakan, ujungnya ga bakal habis. Soalnya gua masih yakin belum bisa makan banyak, sakit di awal pendakian belum hilang.
Dengan porsi mini, menu pagi itu gua makan tidak tersisa. Kondisi itu cukup membuat gua senang karena setidaknya makanan yang ada di piring gua tidak terbuang sia-sia.
Pemandangan dari Pelawangan 2 saat pagi. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Selesai makan dan packing, kami kembali berkumpul. Membentuk sebuah lingkaran kecil dan berdoa. Kami akan menuju ke Segara Anak dan akan dilanjutkan ke Propok, Torean.
Langkah kami ke Danau Segara Anak dimulai sekitar pukul 09.15 WITA. Perjalanan ini penuh kesenangan karena jalannya menurun dengan pemandangan danau yang indah. Meskipun tetap ada rasa was-was karena jalan yang dilalui tidak lebar dan bertepian langsung dengan jurang. Beberapa titik juga mengharuskan kami turun dengan berpegangan tali karena medan yang terjal.
Trek menuju Danau Segara Anak dari Pelawangan Sembalun. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Danau Segara Anak memang bisa dilihat sejak awal perjalanan ini dan terasa dekat. Tapi ga berarti untuk mencapai tempat tersebut bisa dilakukan dengan cepat. Selain menyusuri tebing, kami juga masih harus menelusuri bukit.
Selain itu, di tengah perjalanan ke Segara Anak kami juga melewati sebuah jembatan berwarna hijau. Di bawah jembatan ini terdapat batu-batu berukuran besar hingga sekrikil.
Perjalanan menuju Danau Segara Anak. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Bang Jo bilang jembatan itu baru ada setelah gempa Lombok 2018 lalu. Gempa membuat bebatuan yang semula jadi jalur pendakian, rusak, sehingga dibangun jembatan tersebut.
Katanya saat musim hujan bagian bawah jembatan akan menjadi jalur air. Musim hujan sekitar bulan Januari hingga Maret.
Jembatan untuk menuju ke Danau Segara Anak. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Gempa Lombok tidak hanya merusak jalur pendakian. Sumber air yang ada di Pelawangan 3 dan 4 juga mengalami perubahan akibat gempa tersebut. Aliran air yang semula mudah untuk diambil menjadi sulit karena air mengalir tidak di satu jalur layaknya air keran.
Sejujurnya gua ga tahu seperti apa bentuk sumber air di Pelawangan Sembalun, sebab gua ga pernah ngambil air di sana. Para porter juga mengambil stok air di saat sepi entah malam atau pagi buta. Pokoknya air selalu ada satu dirigen full di tenda dapur.
Trek turun dari Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak begitu beragam. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Sekitar 1,5 jam dari jembatan hijau kami tiba di Danau Segara Anak. Kondisi cuaca saat itu udah mulai berkabut. Ini bukan hal baru, saat siang menjelang sore cuaca di Rinjani memang kerap berkabut. Saat kami naik ke Pelawangan juga cuacanya seperti itu.
Gua tiba di Danau Segara Anak sekitar pukul 13.25 WITA. Seperti biasa begitu tiba langsung lepas tas dan cari lahan buat rebahan. Enak banget rasanya.
Para porter beristirahat sebelum sampai di Danau Segara Anak. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Gua ga langsung menuju Segara Anak karena saat itu masih kabut. Gunung Barujari tertutup oleh kabut itu. Kurang asik rasanya motret Danau Segara Anak tanpa ada Gunung Barujari-nya.
Ketika kabut mulai menghilang, saat itulah panggilan untuk memotret datang. Yang gua cari saat itu adalah pendaki yang sedang memancing. Terutama yang bayangan badannya terpantul di air. Beruntung ada tuh yang kaya gitu, biarpun ga bagus-bagus amat dan mesti beradu cepat dengan kabut yang sering turun.
Kabut turun saat sudah dekat Danau Segara Anak. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Danau Segara Anak berada di kawah Gunung Rinjani dengan ketinggian sekitar 2.010 Mdpl. Danau ini memiliki luas sekitar 1.100 hektare dan kedalaman sekitar 230 meter.
Di danau ini terdapat Gunung Barujari yang aktif. Letusan terakhirnya terjadi pada November 2015. Saat gua datang, kalau ga salah statusnya lagi Level II alias Waspada. Air di danau ini tidak bisa dikonsumsi karena ada campuran belerangnya. Tapi di dalam danaunya terdapat banyak ikan yang dapat dikonsumsi. Makanya banyak yang mancing di danau ini.
Gunung Barujari di Danau Segara Anak yang tertutup kabut. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Di sekitar danau terdapat lahan yang cukup untuk pendaki mendirikan tenda. Banyak pendaki yang bermalam di sini dan mengisi waktunya dengan memancing. Di sini juga suka ada warga lokal yang mancing. Bahkan ada warga yang sampai berminggu-minggu tinggal di Danau Segara Anak.
Rombongan kami, tidak bermalam di Danau Segara Anak. Sesuai rencana di sini hanya foto, makan siang, dan lanjut ke jalur Torean untuk camp di Propok.
Pendaki berkemah dan beraktivitas di tepi Danau Segara Anak. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Makan siang di Danau Segara Anak begitu berkesan buat gua. Sebab ini pertama kalinya gua bisa makan banyak. Siang itu gua makan dengan lahap. Semangka Kuning yang disajikan juga berkali-kali gua ambil untuk mengisi perut.
Dalam catatan waktu gua, kami meninggalkan Danau Segara Anak sekitar pukul 15.15 WITA. Kabut jadi teman perjalanan kami saat itu.
(Kiri-kanan) Gua, Maria, Bang Jo, Wulan, dan Iqbal foto bersama di Danau Segara Anak. Ga di puncak, ga di danau, tiap foto bareng pasti Gunung Barujarinya ketutup mulu. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Berendam di Kolam Air Panas
Gak lama jalan kami tiba di sebuah kolam air panas. Di sini kami istirahat untuk merendam kaki dan sedikit bermain air.
Di titik ini, gua membuka sepatu gua mengecek jari kaki gua yang sakitnya begitu terlalu. Sakit ini mulai terasa saat turun dari puncak Gunung Rinjani. Jadi jari kaki gua, terutama jempol, terlalu menekan ujung sepatu saat turun. Ditambah lagi kuku kaki gua sepertinya terlalu panjang jadi terasa sakit.
Merendam kaki di kolam air panas setelah gunting kuku. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Saat dicek ternyata kuku jempol kaki gua sudah terangkat sebagian. Gua lalu mutusin untuk memotong sebagian kuku gua yang terangkat itu. Gua juga memutuskan memotong kuku kaki gua yang dirasa panjang.
Harapan gua dengan begitu bisa mengurangi rasa sakit. Minimal saat sampai bawah nanti ga jadi makin parah.
Setelah selesai dengan urusan kuku gua baru berendam di kolam air panas berbelerang itu. Di sini terdapat dua kolam. Satu berukuran kecil dan satu lagi ukurannya lebih besar. Kolam yang besar lebih dalam daripada yan kecil. Gua memilih masuk ke kolam yang besar untuk merendam kaki setelah menggunting kuku.
Naik tangga kaya gini sering banget ditemuin saat perjalanan turun. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Sehabis dari kolam air panas, kami melanjutkan kembali perjalanan. Menyusuri bukit hingga bertemu tebing yang harus dilalui dengan naik tangga kayu. Tangga-tangga kaya gini bakal sering ditemuin sepanjang jalur menuju Propok.
Tidak hanya tangga untuk naik. Ada juga medan yang mengharuskan turun dari tangga serupa. Bahkan ada yang mengharuskan kami berpegangan dengan tali untuk turun saking terjalnya trek tersebut.
Ga cuma tangga, ada juga bagian yang harus turun dengan berpegangan pada seutas tali. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Ada momen lucu saat kami harus turun dengan tangga kayu dan seutas tali. Saat itu Wulan ada diurutan kedua terakhir untuk turun. Bang Jo mengarahkan ke mana langkahnya harus berpijak dan tangannya harus berpegangan agar tidak jatuh. Prosesnya serasa panjang. Wulan rada-rada takut saat itu sampai akhirnya dia merosot turun.
Merosot di jalur turun memang sering dilakukan sama Wulan. Sebenernya gua juga beberapa kali memilih merosot jika treknya miring parah, daripada harus menambah jumlah jatuh kepleset kan. Selain itu juga gua sering memilih untuk turun dengan kondisi jongkok demi nahan sakit di paha.
Wulan merosot saat turun. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Tertipu 2 Kali
Sepanjang ingatan gua jalur ke Propok lebih banyak melintasi bukit dengan vegetasi rerumputan, dari pada menyusuri tebing. Di beberapa titik mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan aliran sungai air panas.
Sore itu dengan cuaca berkabut saja, gua dibuat takjub oleh pemandangan tersebut. Apalagi kalau cuacanya lagi cerah pasti jauh lebih indah.
Jalur menuju Propok ada naik dan turunnya. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Tidak hanya melihat aliran sungai, kami juga menyusurinya untuk sampai ke Propok. Aliran sungai ini berada di antara dua bukit. Pemandangan di sini juga ga kalah indahnya, sayangnya kami tiba di sini saat matahari sudah tenggelam. Jadi tidak banyak yang bisa kami lihat selain bebatuan yang menjadi pijakan langkah kami.
Di malam hari tempat ini menyajikan ketegangan yang lebih. Sebab kami harus menyeberangi sungai dengan melewati sebatang pohon. Arus air di bawah cukup deras dan juga panas. Kalau dalamnya sih, kayanya ga terlalu dalam, tapi kalau kecebur bakal jadi PR. Sepatu, kaos kaki dan celana bakal basah. Belom lagi itu air panas, takut-takut suhunya terlalu tinggi.
Menuruni tebing dengan pemandangan aliran sungai air panas. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Selepas menyusuri aliran sungai, kami kembali naik ke atas bukit. Sebelum naik gua sempat ganti senter yang semula pakai HP menjadi pakai headlamp. Tapi gara-gara sinar di headlamp jadi banyak serangga terbang di depan muka gua.
Tidak jauh setelah aliran sungai itu gua minta istirahat sebentar. Gua minum dan makan biskuit. Gila! Gua selemah ini. Hahaha...
Menyeberangi sungai dengan arus yang lumayan kenceng di malam hari. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Kami lalu melanjutkan perjalanan. Tidak jauh dari tempat istirahat, kami melihat ada tenda yang berdiri. Gua senang sekali akhirnya sudah sampai, tapi ternyata itu bukan tenda kami. Artinya kami masih harus jalan lagi.
Tapi ternyata ga jauh dari sana kami melihat tenda lagi. Kali ini gua ga mau terlalu senang karena sudah tertipu sekali. Dan benar saja ternyata itu tenda orang, tenda kami masih jauh lagi.
Hingga akhirnya kami bertemu aliran sungai. Sungai ini bukan air panas, sumbernya berbeda. Kami melewatinya dengan kondisi gelap. Selesai dengan sungai kami masih harus naik bukit sedikit, setelah itu barulah kami bertemu Mas Adi dan Mas Anis yang sudah menunggu. Ya, kami akhirnya benar-benar tiba di tenda sendiri.
Tidur sendiri Lagi dan Cerita Horor
Kami tiba di tempat camp ini sekitar pukul 19.30 WITA. Setelah rebahan dalam tenda sebentar, gua keluar menuju tenda dapur.
Berbeda dengan posisi sebelumnya saat di Pelawangan 2 yang tendanya tersusun satu baris. Di Propok tenda gua berseberangan dengan tenda dapur dan tenda cewek. Ga jauh-jauh banget sih ya sekitar 5 meter lah. Sementara tenda cewek dan tenda dapur bersebelahan.
Pagi di Propok. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Kedatangan gua ke tenda dapur tidak lain dan tidak bukan ialah untuk makan malam. Salah satu menu malam itu ialah bihun. Nafsu makan gua malam itu lebih baik dari saat siang di Danau Segara Anak.
Makanan gua ambil dengan porsi yang cukup banyak. Alhamdulillah semuanya bisa habis gua makan. Bahkan gua nambah sedikit bihun yang ada.
Malam itu kami juga menyalakan api unggun kecil untuk menghangatkan diri. Di bawah bintang yang bertaburan di langit, kami bertukar cerita.
Belajar dari malam sebelumnya, kali ini gua ditawarin untuk tidur di tenda cewek sama seperti Iqbal. Kalau secara kapasitas memang masih masuk, sebab tendanya ukuran untuk 4 orang.
Pemandangan dari jalur Torean. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Tapi setelah gua melihat isi dalam tenda cewek, gua memutuskan untuk tidur sendiri di tenda. Soalnya tenda cewe wangi banget, selain itu kayanya juga dini hari nanti perut gua bakal mules.
Tebakan gua benar aja, dini hari perut gua mules. Awalnya sih kebelet pipis tapi setelah itu dilanjut pengen buang air besar. Nyari tempat untuk dua hajat ini agak sulit buat gua. Gua bahkan sempat ke sandung dan mau jatuh pas nyari tempat buat pipis. Hahaha...
Keesokan harinya Iqbal buka suara kenapa malam tadi dia ngajakin gua buat pindah ke tenda cewek. Ternyata dia ngalamin kejadian horor.
Iqbal sempat sendirian di tenda untuk ambil sejumlah barang buat Wulan. Saat itu dia mendengar suara yang meminta agar tidak berisik. Kebetulan saat itu dia lagi sahut-sahutan sama Wulan yang jaraknya lumayan, jadi suaranya agak kencang.
Pemandangan dari jalur Torean. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Masalahnya malam itu tidak ada satupun dari kami yang meminta Iqbal untuk tidak berisik. Iqbal juga meyakini suara itu bukan berasal dari kami.
Tapi untungnya semalaman, saat gua sendirian di tenda, ga ada hal horor apapun yang gua alamin. Tidur gua juga cukup nyenyak sebelum perut gua mulai diserang mules.
Menelusuri Jalur Torean
Rinjani bermurah hati. Setiap pagi kami selalu disuguhkan penorama yang indah. Langit biru, perbukitan yang hijau, dan udara yang segar.
Pagi itu, 20 Agustus 2022, menjadi hari terakhir gua di Gunung Rinjani. Perjalanan akan dilanjutkan menyusuri jalur Torean untuk pulang.
Turun di jalur Torean. Foto: Bang Jo |
Seperti pagi sebelumnya, sarapan telah disiapkan. Lagi-lagi gua begitu lahap memakannya. Sepertinya gua udah mulai sehat. Gua mensyukuri kondisi itu meskipun ada preasaan kesaal karena pas mau pulang baru terasa enakan.
Setelah makan, beberes dan "menabung", kami mulai meninggalkan Propok. Kami berangkat sekitar pukul 09.14 WITA.
Menuruni tebing di jalur Torean. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Selain mendaki bukit, ada juga jalur yang mengharuskan kami menuruni tebing dengan tali. Jalurnya agak rumit dan beragam, tapi pemandangannya luar biasa.
Sepanjang jalan disajikan pemandangan bukit yang hijau. Ada juga aliran sungai air panas.
Aliran air panas. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Di tengah perjalanan kita juga bisa melihat air terjun Panimbungan. Dalam catatan waktu gua, kami tiba di sana setelah berjalan sekitar 3 jam. Kami sedikit beristirahat di sana sambil menikmati keindahan air terjun tersebut.
Jalur Torean ialah jalur yang baru diresmikan pada 1 April 2021. Pemandangan di jalur ini begitu indah. Bahkan ada yang menyamakannya seperti kawasan hutan dalam film Jurassic Park. Ada juga yang menyamakan pemandangannya seperti di New Zealand. Karena gua ga nonton Jurassic Park dan belum pernah ke New Zealand jadi ga bisa memastikan apa iya mirip?
Air terjun Panimbungan. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Dalam perjalanan turun gua juga melihat sedang ada pembangunan shelter darurat. Oh iya, sepanjang jalan gua ga melihat plang pos seperti saat mendaki di jalur Sembalun.
Selain jalur Torean, pendakian ke Gunung Rinjani juga bisa melalui jalur Senaru. Itu adalah jalur tradisional pendakian ke Gunung Rinjani.
Pemandangan di jalur Torean. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Jika turun lewat jalur Senaru kita masih bisa ketemu pendaki asing alias bule sama seperti saat naik lewat jalur Sembalun. Sebab bule lebih memilih untuk turun lewat Senaru, kalau kata Bang Jo itu karena agen mereka banyak yang di Senaru.
Kami tidak langsung bablas menuju pintu keluar jalur Torean. Sebab jalur ini juga cukup panjang.
Kami perlu mengisi perut untuk makan siang agar tidak kehabisan tenaga di tengah jalan nanti. Tempat makan siang kami begitu istimewa, di tepi aliran air dengan bebatuan berukuran besar hingga kecil. Jadi terasa adem meskipun saat itu matahari terik.
Lokasi makan siang kami. Tempatnya adem bener. Foto: Maria |
Selepas makan siang kami lanjutkan perjalanan. Trek kali ini lebih kalem. Banyak yang landai, kalaupun ada yang mendaki tidak terlalu curam dan tidak panjang.
Di tengah kira-kira dua per tiga jalan, Bang Jo membuat strategi lagi. Sebab Wulan dan Iqbal tercecer cukup jauh di belakang. Bang Jo kemudian meminta gua ama Maria untuk jalan duluan bareng sama Mas Anis dan Mas Adi yang kebetulan saat itu datang menyusul kami.
Papan pengingat agar selalu waspada dengan potensi kebakaran hutan. Papan seperti ini kerap itemui di jalur Torean. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Saat itu gua berpikir kalau kami ga bisa mengimbangi kecepatan Mas Adi dan Mas Anis. Tapi mereka meyakini akan jalan lebih pelan dan mengimbangi gua maupun Maria.
Awalnya Mas Anis dan Mas Adi ada di depan kami. Gua agak kewalahan untuk mengikutinya. Sampai-sampai gua ngajak Maria untuk membiarkan mereka berjalan duluan. Tapi hal itu tidak terjadi karena mereka selalu mendampingi kami.
Maria yang jalannya jadi cepet bener kaya lagi ikutan Rinjani 100. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Kondisinya kemudian berubah, Maria melaju begitu kencang. Gua kewalahan buat ngimbangin kecepatannya. Beberapa kali gua kehilangan dia di tikungan. Beruntung saat itu Mas Adi dan Mas Anis memilih posisi di belakang gua dengan begitu gua ga sendirian di jalan. Hahaha...
Benar kata Mas Anis dan Mas Adi kalau sisa jalan yang kami lalui selepas berpisah dengan Bang Jo, tidak jauh lagi. Tanda sudah semakin dekat adalah kita bisa melihat kebun jagung yang ada di seberang jurang. Akan semakin dekat bila sudah bertemu lokasi sungai kering, dari sana treknya akan menanjak dan tidak jauh akan sampai di pangkalan ojek Torean. Kebun Jagung yang dilihat sebelumnya berada di samping pangkalan tersebut.
Gua dan Maria tiba di pangkalan ojek itu sekitar pukul 17.16 WITA. Kami duduk dan menunggu rombongan terakhir: Bang Jo, Wulan dan Iqbal.
Pangkalan ojek di samping ladang jagung jalur Torean. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Tak lama mereka datang dengan penuh keriuhan. Wulan ternyata ditarik oleh Bang Jo sambil berlari untuk bisa lebih cepat sampai di tempat gua. Sementara tasnya dibawakan oleh Iqbal yang berjalan di belakang mereka. Hahaha...
Hal itu dilakukan agar keluar dari hutan Torean sebelum gelap. Sebab hutan Torean seram saat malam. Hal mistisnya masih banyak. Ini gua tahu dari cerita Bang Jo, Mas Anis dan Mas Adi saat kami di mobil untuk jalan pulang ke rumah Mas Lusman.
Setelah kedatangan Wulan dan Iqbal kami sempat istirahat sebentar. Lalu melanjutkan perjalanan turun dengan ojek. Biayanya lebih murah dari ojek di Sembalun, yakni Rp 50 ribu. Lumayan memangkas waktu dan tidak mengurangi tenaga.
Foto sebelum naik ojek. Formasi lengkap, dari kiri ke kanan: Wulan, gua, Mas Adi, Mas Anis, Maria, Bang Jo, Iqbal. Foto: orang yang beruntung |
Setelah jalan, gua meyakini ga ada ruginya naik ojek. Sebab pemandangan di sisa perjalanan menurut gua biasa aja. Jalannya juga datar dan sebagian sudah disemen. Berbeda sama trek yang dilaluin saat naik ojek di jalur Sembalun.
Kami tiba di Pos Pendakian jalur Torean saat hari sudah mau maghrib. Ojek kami berhenti di sebuah warung yang juga tempat istirahat banyak pendaki.
Tak Jadi ke Gili
Di sebuah gazebo, gua, Wulan dan Iqbal berdiskusi soal destinasi selanjutnya yakni ke Gili Trawangan. Awalnya kami memutuskan untuk tak jadi saja ke Gili karena udah kemalaman, tapi setelah mendengar jarak ke pelabuhan untuk menyeberang ke Gili lebih dekat dari pada ke basecamp hati kami bimbang.
Foto dulu di jalur Torean biar kaya orang-orang. Foto: Maria |
Kami lalu berdiskusi dengan pihak open trip. Mereka lalu menawarkan agar share cost untuk menyewa kapal ke Gili sebab jumlah kami hanya bertiga dan agak berat untuk pihak open trip menanggung biaya kekurangannya. Karena menurut mereka biaya yang sudah keluar saat itu sudah minus.
Mendengar itu kami memutuskan untuk tidak jadi saja ke Gili. Tapi kami meminta agar keesokan harinya tetap diantar ke tempat oleh-oleh dan bandara.
Gua, Wulan dan Iqbal pun ikut Mas Lusman dan yang lain untuk ke rumahnya Mas Lusman. Di sanalah kami bertiga berpisah dengan yang lain. Kami selanjutnya menumpang mobil Mas Unlup untuk di antar ke hotel.
Malam terakhir di Lombok kami putuskan untuk menginap di hotel yang tidak jauh dari bandara.
Janji yang Ditepati
Mendaki ke Gunung Rinjani adalah sebuah janji lama yang terucap dalam hati. Semua gara-gara teman kuliah gua, Indah, yang sudah lebih dulu ke sana. Dia dulu maraton dari Rinjani dilanjutkan dengan ke Semeru.
Rinjani tercapai. Foto: Fachrul Irwinsyah |
Di Semeru itulah kami bertemu. Sejak itu gua penasaran dengan Gunung Rinjani. Dalam hati seperti bicara, "suatu saat nanti gua pasti ke sana".
Kini janji dalam hati itu sudah ditepati, meskipun awal perjalanannya agak dipaksakan. Dengan segala problematikanya gua akhirnya merasakan nikmatnya ke Gunung Rinjani.
Tapi Rinjani belum selesai buat gua. Suatu hari nanti gua ingin kembali lagi ke sini, tapi harus dengan kondisi yang lebih baik.
Sampai jumpa lagi Rinjani. |
Baca Part 1 cerita pendakian gua ke Gunung Rinjani: Memaksakan Diri ke Rinjani demi Tepati Janji (Part 1)
Baca Part 2 cerita pendakian gua ke Gunung Rinjani: Memaksakan Diri ke Rinjani demi Tepati Janji (Part 2)
***
Nama Open Trip: Tiga Dewa Adventure
Biaya ke Rinjani 16-21 Agustus 2022 titik temu Bandara International Lombok: Rp 1.500.000
Fasilitas: Mobil travel; destinasi ke Rinjani, Desa Sade, Pantai Kuta, Bukit Merese, Pantai Tanjung Aan, Gili Trawangan; Peralatan tim selama pendakian seperti tenda, alat masak dll; makan selama pendakian; transportasi ke pusat oleh-oleh dan bandara.
Post a Comment
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.