Bareng kumpala ke Merbabu yang Penuh Debu

Pemandangan Gunung Merapi dari Gunur Merbabu via Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Setelah beberapa kali naik gunung dengan jasa open trip, akhirnya kali ini melakukan perjalanan secara mandiri. Gua mengiyakan ajakan teman-teman kumpala (kelompok penyuka kegiatan luar ruang di kantor gua) untuk mendaki ke Gunung Merbabu.

"Mau ikut hiking Merbabu gak sekitar minggu ke-2 atau ke-3 September?," itu adalah pesan pertama yang gua terima dari Kong, salah satu rekan kantor gua, pada 24 Juli 2023.

"Berangkat...," jawab gua yang hanya berselang satu menit dari pesan Kong.

"Merbabu via mana nih?" lanjut gua bertanya.

Bunga di jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Saat itu Kong bilang belum ditentuin jalur mana yang akan dilewati. Tanggal pasti pendakiannya juga belum ditetapkan.

Lah, kok gua main jawab berangkat aja ya, tadi. Padahal semua belum jelas. Hahaha...

Sebenarnya gua agak ragu untuk ikut ketika tahu tujuannya Merbabu. Sebab gua pernah punya janji ke seseorang buat naik ke Merbabu bareng dia, tapi ini gua malah ke sana duluan.

Bisa aja ngajak dia di perjalanan kali ini, kalau yang lain ngizinin. Tapi diizinin atau enggak gua tetap ga mau ngajak dia sih. Biar perjalanan kali ini tentang gua sama teman-teman kerja gua aja. Gua juga takut dia ga nyaman.

Setelah berbagai diskusi dan pengambilan suara, waktu pendakian ditentukan tanggal 9-10 September 2023 dengan rute via Suwanting. Tiket kereta dan akomodasi lainnya ditetapkan.

Reki tertidur di sebelah gua saat kami berangkat dengan kereta Bogowonto. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami berangkat menggunakan kereta dari Stasiun Pasar Senen ke Stasiun Lempuyangan di Yogya. Setelah itu dilanjutkan naik ELF hingga base camp di Desa Suwanting.

Rencana naik ke Merbabu via Suwanting ini hampir batal karena sistem booking jalur Suwanting sempat tidak dibuka. Pada 8 Agustus 2023, Tama memberi alternatif destinasi.

"Jika tanggal 15 Agustus Merbabu tidak buka slot pendakian untuk September sudah diputuskan pindah ke Slamet ya dan via Bambangan aja," kata Tama memberi alternatif.

Gua sih senang aja kalau akhirnya jadi ke Gunung Slamet. Karena gunung dengan ketinggian 3432 mdpl itu memang salah satu yang ingin gua tuju. Kalau jadinya ke Slamet maka akan mengurangi daftar 7 Summits of Java yang mau gua datangi.

Cantigi di Merbabu dengan latar belakang Gunung Merapi. Foto: Fachrul Irwinsyah

Slamet jadi alternatif karena untuk ke sana kami ga perlu ganti tiket kereta yang sudah dibeli. Terus pendaftaraan Simaksi Gunung Slamet bisa dilakukan dengan datang langsung ke base camp.

Tapi ternyata Tuhan belum merestui gua untuk datang ke Slamet tahun ini. 16 Agustus 2023, Kong ngasih kabar booking online Merbabu via Suwanting sudah dibuka.

"Ges, merbabu dibuka nih Suwanting," kata Kong.

"Gas?" tambah Kong.

"Aku gaaaaass mowaaaassss," ujar Reki menanggapi info dari Kong.

Sabana di jalur Suwanting Gunung Merbabu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Satu per satu dari kami mengiyakan untuk segera booking online pendakian ke Merbabu. Akhirnya semua kembali ke rencana awal.

Gunung Merbabu memang memiliki sistem booking online untuk setiap pendaki. Tujuannya untuk membatasi jumlah pendaki sehingga tidak terjadi over capacity yang bisa mengganggu ekosistem gunung tersebut. Selain itu orang yang akan mendaki juga jadi terdata dengan baik.

Sistem booking online ini sudah banyak diterapkan di sejumlah gunung di Indonesia. Terutama yang sering jadi destinasi wisata seperti Gunung Gede Pangrango dan Rinjani.

Berangkat dari Stasiun Senen

Ada 10 orang yang ikut pendakian kali ini. Selain gua, ada Reki, Kong, Tama, Ajo, Mas Ano, Kang Wendi, Ova, Ica, dan Iqbal. Nama terakhir sebenarnya bukan karyawan kantor gua, tapi karena dia teman Tama dan pernah ikut pendakian kumpala ke Cereme jadi diajak lagi. Iqbal juga punya tenaga yang bisa membantu kami untuk angkut barang-barang.

Dari 10 orang hanya 8 yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen, Tama dan Kang Wendi sudah lebih dulu berangkat. Kami akan bertemu mereka di Stasiun Lempuyangan.

Kereta Bogowonto yang kami pesan berangkat dari Pasar Senen pada Jumat, 8 September 2023, pukul 21.45 WIB dan tiba di Lempuyangan Sabtu, 9 September 2023, pukul 05.48 WIB. Semua berjalan aman hingga sampai di Lempuyangan bertemu Tama dan Kang Wendi.

Ah, Yogya. Sayang ga bisa lama-lama di kota istimewa ini karena setibanya di Lempuyangan kami langsung naik ELF menuju Suwanting, Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah.

Makan Sop Empal Bu Haryoko. Foto: Fachrul Irwinsyah

Tapi sebelum sampai di base camp kami lebih dulu mampir di rumah makan Sop Empal Bu Haryoko yang berada di Jalan Veteran, Muntilan, Magelang. Ini rekomendasi dari Reki selaku warga asli Magelang untuk tempat sarapan kami.

Suasana rumah makan pagi itu cukup ramai. Saat kami tiba hampir semua kursi di dalam bangunan yang dindingnya penuh kalender itu, sudah terisi. Untung masih ada sedikit celah untuk kami duduk.

Gua pesan menu lengkap sesuai arahan Reki. Soal rasa, bagi gua yang ga pernah makan empal, ini sih enak. Dagingnya empuk dan bumbunya bisa masuk ke lidah dan perut gua. Ga salah emang ngajak akamsi macam Reki ikut perjalanan kali ini.

Kenyang sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke base camp. Sekitar pukul 08.30 kami tiba di Suwanting dan langsung menuju base camp Reihan. Lokasinya berada di dalam gang kecil, jadi kami perlu jalan sedikit setelah turun dari mobil.

Packing ulang di base camp. Foto: Reki

Di base camp kami mulai menyiapkan semua keperluan mendaki. Mulai dari ganti pakaian untuk trakking hingga menyusun ulang isi tas. Di sini juga kami bertemu porter yang sebelumnya sudah disewa untuk membantu membawa perlengkapan pribadi Mas Ano dan Kang Wendi. Porter juga akan membantu bawa tenda besar yang kami dapat dari Eiger. Selain itu ia juga akan membawakan air untuk keperluan memasak di tenda.

Selama packing ulang, peralatan tim dibagi ke beberapa tas. Gua kedapatan membawa tenda untuk ukuran 4 orang. Oh iya, tenda yang dibawa porter itu kapasitasnya bisa untuk 6 orang. Jadi kami pakai 2 tenda, ukuran 6 orang dan 4 orang. Pas kan untuk 10 orang.

Di base camp juga kami mengisi surat pernyataan barang-barang yang kami bawa. Di surat itu terdapat aturan selama berada di Merbabu yang harus kami patuhi, tertera juga sanksi setiap pelanggaran. Paling besar denda Rp 20 juta, kalau ga salah itu untuk yang ketahuan menggunakan drone di area pendakian. Di Merbabu drone dilarang terbang.

Bersiap-siap

Briefing sebelum registrasi. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pukul 10.17 WIB kami mulai meninggalkan base camp. Tapi ga langsung berangkat untuk mendaki. Semua pendaki yang lewat Suwanting harus lebih dulu mendengarkan pengarahan dari petugas Gunung Merbabu, biasanya sih disebut ranger. Pengarahan ini berlangsung di sebuah rumah. Di sana semua pendaki dikumpulkan.

Pengarahan ini lumayan memakan waktu. Intinya petugas ngasih tahu apa yang tidak dan boleh dilakukan selama pendakian ke Merbabu. Serta ngasih tahu seperti apa treknya, waktu tempuh hingga apa yang harus diwaspadai.

Petugas juga menyarankan kita untuk hanya meminta tolong ke base camp jika ada masalah yang sangat urgent, mendekati hampir mati lah. Kendala-kendala ringan atau sakit-sakit biasa yang masih bisa ditangani sama kelompok sendiri lebih baik tidak memanggil ke base camp untuk bantu evakuasi.

Selain itu mereka juga meminta pendaki waspada dengan maling selama meninggalkan tenda ketika summit. Serta mengingatkan keberadaan Manto seorang ODGJ yang kerap berada di jalur pendakian Suwanting. Dia biasanya meminta logistik pendaki. Petugas menyarankan jika tindakan Manto berlebihan dan mengancam keselamatan maka dilawan saja.

Wajah-wajah lelah di awal mendaki. Foto: Fachrul Irwinsyah

Penjelasan dari petugas berlangsung sekitar 30 menit. Setelah selesai barulah pendaki menyerahkan surat keterangan barang yang dibawa dan data pendaki ke loket. Berkas itu ditukar dengan karcis ojek untuk mengantar pendaki ke Pintu Rimba.

Oh iya, saat menyerahkan berkas pendakian, pemimpin kelompok harus melampirkan KTP-nya. KTP itu bisa diambil di loket saat pulang dengan membawa sampah pendakian kita. Petugas biasanya mengecek apakah sampah kita sesuai dengan barang yang dibawa saat mendaki, jika tidak, ada sanksi yang harus diterima.

Perlu diingat loket untuk menukarkan KTP hanya buka sampai pukul 16.00 WIB. Jadi kalau kalian turun lewat waktu tersebut, terpaksa harus ambil KTP keesokan harinya.

KTP juga baru bisa diambil setelah semua tim sudah turun. Jadi ga bisa diwakilin sama satu orang dulu yang sampai loket. Ini semua berdasarkan penjelasan petugas, praktik di lapangan mungkin bisa saja berbeda.

Merbabu yang Panas dan Berdebu

Tiket ojek dari base camp sampai Pintu Rimba. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami baru benar-benar mendaki sekitar pukul 11.10 WIB setelah berdoa dan tos bersama di Pintu Rimba. Untuk sampai di Pintu Rimba kami tidak berjalan kaki dari base camp, tapi menumpang ojek berupa mobil bak terbuka disambung sepeda motor. Harga ojek ini Rp 35 ribu. Tarifnya itu sudah termasuk ke dalam biaya booking atau Simaksi. Itu hanya berlaku untuk berangkat, saat pulang kita harus bayar lagi bila ingin naik ojek dari Pintu Rimba.

Jarak Pintu Rimba ke Pos 1 Lembah Lempong terbilang dekat. Di briefing sih katanya sekitar 1 jam perjalanan, tapi ternyata ga selama itu.

Mulai mendaki Gunung Merbabu via Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Berdasarkan catatan kamera gua kami sudah tiba di Pos 1 itu sekitar pukul 11.21 WIB artinya cuma sekitar 10 menitan.

Perjalanan yang lebih panjang itu setelahnya, yakni Pos 1 ke Pos 2. Catatan gua kami baru sampai di Pos 2 itu sekitar pukul 14.21 WIB. Artinya 3 jam perjalanan, lebih lama dari waktu yang tertera di base camp. Kalau di spanduk yang ada di base camp waktu tempuh Pos 1 ke Pos 2 itu 2,5 jam.

Trek awal pendakian Gunung Merbabu via Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebelum sampai di Pos 2 kita akan lebih dulu melewati 4 lembah yakni Lembah Gosong, Lembah Cemoro, Lembah Ngerijan dan Lembah Mitoh. Lembah-lembah itu gua anggap sebagai check point. Setiap lembah memiliki area datar yang bisa dimanfaatkan untuk mendirikan tenda, tapi tidak terlalu luas.

Di setiap lembah kami selalu beristirahat. Selain karena treknya yang terus menanjak sejak Pintu Rimba, tenaga kami juga habis karena tersedot terik matahari. Sabtu itu cuaca Merbabu lagi panas-panasnya, maklum musim kemarau. Ditambah lagi Merbabu merupakan gunung yang terbuka, jadi sepanjang jalan kami selalu tersorot matahari dan pusat tata surya itu rasanya begitu dekat dengan kepala. Ingat juga kami jalan di siang bolong.

Iqbal yang kurang tidur. Foto: Fachrul Irwinsyah

Masalah Merbabu tidak hanya selesai di situ, tapi ada juga soal debu yang berterbangan tiap kali ada yang turun dengan ngebut atau ada yang naik secara bergerombol. Debu itu cukup mengganggu penglihatan dan pernafasan.

Debu sudah jadi risiko saat naik ke Merbabu saat musim kemarau. Cuaca yang kering menyebabkan jalur dipenuhi debu.

Ica dengan buff di leher persiapan jika debu menyerang. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perkaranya menghadapi debu ini serba salah. Pakai masker bikin nafas jadi engap, ga pakai masker jadi batuk-batuk. Sepanjang jalan setiap kali menghadapi debu gua selalu khawatir pulang-pulang bisa kena ISPA, semoga engga ya.

Ragam trek Gunung Merbabu via Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kalau gua mengakalinya sih dengan tidak jalan di dekat orang yang berkelompok. Lalu membiarkan yang turun untuk jalan lebih dulu. Setidaknya dengan begitu gua ga perlu berhadapan dengan debu yang mereka ciptakan.

Ica dan Reki istirahat di Pos 2. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pos 2 menjadi tempat kami berhenti paling lama. Selain mengistirahatkan kaki dan pundak, di sini kami juga sempat mengeluarkan kompor untuk bikin kopi.

Trek menanjak sebelum Pos 2. Foto: Fachrul Irwinsyah

Rencananya di Pos 2 kami juga akan makan siang nasi bungkus yang dibawa dari base camp, tapi rencana ini gagal. Nasi bungkus itu sudah kami makan saat sampai di Lembah Mitoh, sebab saat itu waktunya udah mau sore dan sudah pada lapar. Jadi kami memutuskan makan siang di sana dibanding harus menunggu sampai di Pos 2.

Ada pemandangan menarik saat kami tiba di Pos 2: Tama tukeran tas dengan Ano. Gua ga tahu bagaimana ceritanya yang jelas saat sampai di Pos 2, Mas Ano sudah menggendong keril besar yang sebelumnya dibawa Tama.

Ova saat mendaki menuju Pos 2 Gunung Merbabu via Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kata Tama sih, Mas Ano nawarin untuk bawa keril itu sampai Pos 2. Sialnya titik mereka berganti tas itu sudah dekat dengan Pos 2, kayanya ga sampai 10 menit. Biar begitu Mas Ano sempat bawa keril itu melewati satu tanjakan yang cukup sulit.

Keril berwarna hitam-oranye yang dibawa Tama ini paling besar dibanding keril yang lain. Sebagian besar logistik dimasukkan ke tas tersebut. Terus Tama juga membawa bangku lipat yang beratnya lumayan.

Tama dengan tas besar dan berat. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di Pos 2, akhirnya Tama memutuskan untuk meminta bantuan porter yang sebelumnya membawakan perlangkapan Kang Wendi dan Mas Ano. Tapi, ini ga serta merta. Saat dihubungi lewat HT, porter belum bisa turun untuk menjemput tas tersebut karena dia juga belum sampai di Pos 3.

Porter memang kami tugaskan untuk jalan lebih dulu. Dia akan mendirikan tenda kami yang besar dan mengambil air untuk keperluan masak. Jadi kami meminta jika tugas itu sudah selesai, maka turun jemput Tama untuk bantu angkat tasnya.

Kadang treknya Suwanting Gunung Merbabu teduh. Foto: Fachrul Irwinsyah

Tapi kadang terbuka dan penuh debu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami tidak menunggunya di Pos 2, kami tetap jalan ke Pos 3. Jadi sedapat papasan aja dengan porter untuk bantu mengangkat tas Tama.

Drama pertukaran tas ini gua ga tahu seperti apa karena gua memilih jalan duluan saat meninggalkan Pos 2. Gua sempat jalan bareng Reki, Ica, Ajo dan Kong. Tapi di pertengahan jalan kami berpisah. Gua jalan duluan bareng Ica. Jarak gua-Ica dengan Ajo, Reki, Kong cukup jauh.

Reki dan Kang Wendi berteduh dari panasnya Merbabu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Catatan gua selama perjalanan ke Pos 3 ialah trek ini yang paling kacau. Menanjak terus itu udah pasti. Beberapa kali juga ditemukan trek yang harus kami lalui dengan bantuan berpegangan seutas tali. Medan itu jadi rumit karena gua melewatinya saat malam, jadi agak lebih tricky.

Selain soal trek, gua juga salut sama si Ica. Dia kuat. Jalan terus, ga ada ngeluhnya. Sampai-sampai gua mesti atur sendiri kapan mesti berhenti untuk minum karena ngeri kalau sampai terus jalan dalam posisi dehidrasi bisa bikin cidera dan hilang konsentrasi, apalagi ini malam.

Suasana sore di Lembah Manding. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebenarnya trek Merbabu via Suwanting ini terbilang aman, ga banyak cabangan. Jalurnya sudah terlihat. Setiap 100 meter juga ada tiang berwarna putih merah yang menandakan itu jalur pendakian. Sebenarnya di tiang itu ada angkanya yang menunjukkan kita ada di kilometer berapa  sayangnya papan angka-anhka itu banyak yang hilang dari tiang tersebut.

Oh iya, beda dengan jalan ke Pos 2, di Jalur Pos 2 ke Pos 3 ini ga ada check point lembah. Ada satu sih Lembah Manding  tapi ini jaraknya dekat banget dengan Pos 2, setelah itu ga ada lagi.

Iqbal saat melewati Lembah Manding. Foto: Fachrul Irwinsyah

Lembah Manding ini jadi tempat terakhir yang bisa dipakai untuk mendirikan tanda. Karena tempatnya datar dan cukup luas. Viewnya juga bagus.

Lembah Manding bisa jadi pilihan sebagai tempat bermalam bila kira-kira sudah terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan ke Pos 3. Sebab area ini datar dan cukup untuk mendirikan 2 sampai 3 tenda ditambah lagi pemandangannya juga cukup bagus.

Ica istirahat di awal-awal pendakian. Foto: Fachrul Irwinsyah

Jarak dari Lembah Manding ke Pos 3 juga lumayan jauh dan treknya menanjak lebih parah dari yang dilewatin untuk sampai Pos 2. Makanya kalau kira-kira sudah ga sanggup ke Pos 3, sebaiknya bermalam di sini. Karena setelah Lembah Manding ga ada lagi lokasi yang cocok untuk mendirikan tenda sampai di Pos 3 nanti.

Trek ke Pos 3 itu sempit. Bahkan ada bagian yang bersisian dengan jurang. Jadi ga ada salahnya bermalam di Lembah Manding bila memang kondisi tidak memungkinkan untuk lanjut ke Pos 3. Perjalanan masih bisa dilanjut keesokan harinya.

Gua yang jalan dari Lembah Manding sekitar pukul 17.28 WIB aja baru sampai di Pos 3 sekitar pukul 20.20 WIB. Artinya tiga jam perjalanan dengan medan sebagian besar menanjak. Belum lagi angin dan dingin karena cuaca sudah mulai malam.

Sebelum sampai di Pos 3, gua sama Ica lebih dulu melewati Pos Air. Ini adalah satu-satunya lokasi untuk mengambil air di sepanjang jalur Suwanting. Air di tempat ini adalah air tampungan, bukan air mengalir dari mata air. Jadi di sini ada semacam toren berukuran besar yang dipakai untuk menampung air.

Ketersediaan airnya tidak ada yang bisa tahu masih banyak atau sudah habis. Kalau sudah habis ya sudah itu bukan rezeki kita. Jadi hitung dengan cermat kebutuhan air sebelum naik, bawa lebih banyak akan lebih baik daripada kekurangan. Ingat air tidak hanya untuk minum tapi juga keperluan masak. Anggap mendapat air di Pos Air adalah bonus.

Jarak dari Pos Air ke Pos 3 sangat dekat, tidak sampai 15 menit.

Angin Kencang dan Malam yang Melelahkan

Suasana di tenda besar saat malam. Riuh logistik. Foto: Fachrul Irwinsyah

Akhirnya sampai. Itulah yang terucap saat kaki gua menginjak Pos 3. Bukan plang penunjuk yang meyakini gua bahwa tanah yang gua injak malam itu ialah Pos 3, melainkan deretan tenda tersusun rapi di atas tanah yang cukup luas. Ya, gua yakin ini Pos 3.

Perjalanan gua selesai? Belum. Karena gua dan Ica mesti mencari keberadaan tenda kami yang sudah didirikan oleh porter. Yang gua ingat tenda kami berwarna oranye dan ukurannya besar. Masalahnya ini malam ditambah lagi tenda di Pos 3 jumlahnya banyak jadi sulit buat gua untuk mengidentifikasi tenda boleh hasil barter itu.

Jadilah gua dan Ica menyusuri Pos 3 sambil meneriaki nama Mas Ano dan Kang Wendi. Sebab kami meyakini dua senior itu sedang berada di tenda dan benar saja tidak berapa lama ada yang menyaut. Bisa istirahat.

Kang Wendi menawari gua dan Ica minuman hangat. Malam itu mereka ternyata meminjam kompor dan nesting tetangga untuk bikin minuman. Kebetulan peralatan masak kami terbagi di tas Ajo, Reki, Iqbal dan Tama. Mereka semua belum ada yang sampai saat itu. Untung ada tetangga baik hati mau minjemin.

Barisan tenda di Pos 3 yang membuat gua dan Ica sedikit kesulitan mencari tenda kami saat baru tiba. Foto: Fachrul Irwinsyah

Tugas gua sendiri belum kelar malam itu. Masih harus mendirikan tenda yang kapasitas 4 orang. Lokasi tenda sudah diplot oleh porter. Gua tinggal mendirikan.

Mas Ano sempat nawarin lebih baik istirahat dulu. Tapi gua memilih untuk langsung mendirikan tenda itu. Soalnya kalau nanti-nanti pasti jadinya malas, terus udara juga makin dingin. Alasan lainnya biar pas yang lain datang tenda udah berdiri jadi mereka bisa langsung istirahat, rebah.

Di tengah angin kencang, gelap malam dan dingin udara Merbabu, gua mulai membuka tenda yang ada di tas gua. Awalnya gua mendirikan tenda ini sendiri, ternyata sulit juga mendirikan tenda sendirian di tengah angin kencang. Ga lama bantuan datang dari Mas Ano. Tugas mendirikan tenda kami selesaikan berdua.

Di tengah mendirikan tenda ini Mas Ano sempat membuat gua panik dengan bilang gua mimisan. Setelah gua cek yang keluar dari hidung gua ternyata bukan darah tapi ingus. Hahaha...

Setelah tenda berwarna merah itu berdiri, apakah gua rebah di sana? Tentu tidak. Gua memilih kembali ke tenda besar karena di sana ada makanan dan minuman serta hangat karena ada kompor. Hahaha...

Tenda besar kumpala difoto saat sudah mau turun. Foto: Fachrul Irwinsyah

Beberapa waktu setelah tenda berdiri, satu per satu teman-teman gua datang. Mulai dari Tama dan Ova. Lalu ga lama disusul Iqbal, Ajo, Reki dan Kong.

Mereka sempat istirahat sebentar di tenda besar. Karena makin sempit jadi gua arahin mereka untuk rebahan di tenda yang merah. Ya kali gua udah diriin tenda ga dipakai.

Gua, Kong, Reki dan Ajo memutuskan untuk tidur di tenda merah. Sementara Ova, Ica, Kang Wendi, Mas Ano, Tama dan Iqbal tidur di tenda besar. Tenang, tenda besar kami punya 2 kompartemen atau ruang terpisah, jadi ruangan tendanya ada di sisi kanan dan kiri sementara bagian tengah bisa dijadikan teras. Jadi yang cewe-cewe mengisi ruang yang kiri, sedangkan cowo-cowo di sisi kanan.

Malam itu kami keluarin semua logistik di tas Tama dan tas lainnya. Satu hal kami pelajari hari itu ialah logistik yang kami bawa ternyata terlalu banyak untuk 10 orang. Menu kami terlalu beragam. Pada akhirnya malah banyak yang terbuang.

Ini jadi bahan evaluasi.

Puncak Ga Puncak?

Bukit-bukit di Gunung Merbabu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Malam ketika gua asyik makan di tenda besar, kami sempat membahas soal perjalanan summit esok pagi. Malam itu semuanya seperti tidak bersemangat untuk ke puncak. Maklum masih kebawa lelah.

Iqbal sama Tama sempat bilang ga ikut ke puncak karena udah pernah dulu. Gua sendiri saat itu belum memutuskan buat ke puncak atau enggak. Gua udah pernah ke puncak Kenteng Songo yang merupakan titik tertinggi di Merbabu, jadi kalau pun memang ga ada yang mau ke puncak gua sih ga masalah.

Seingat gua sebelum meninggalkan tenda besar, sempat terjadi kesepakatan untuk naik saja melintasi Sabana tapi ga ke Kenteng Songo karena simpan tenaga buat turun dan takut keburu malam pulangnya.

Hingga akhirnya pagi datang. Sayup-sayup gua sempat mendengar geng tenda besar memanggil untuk muncak. Suara itu terdengar saat langit sudah terang. Padahal rencananya mau jalan pukul 04.00 WIB, eh ternyata molor sekitar 1,5 jam. Hahaha...

Trek menuju puncak Triangulasi dan Kenteng Songo, difoto dari Puncak Suwanting. Foto: Fachru Irwinsyah

Dari tenda besar hanya Iqbal yang ga ikut jalan pagi itu. Sementara dari tenda merah, Reki kami tinggal soalnya susah banget dibangunin. Kalau kata Reki saat itu dia lagi nyenyak-nyenyaknya tidur. Jadi malas buat bangun.

Jadilah pagi itu gua hanya jalan bareng Kong dan Ajo. Orang-orang dari tenda merah udah jalan duluan. Beda beberapa menit sih sama kami. Mereka juga akhirnya kesusul dan kami jadi jalan bareng juga.

Jalur selepas Pos 3 ini adalah sabana. Treknya terus nanjak. Di sisi kanan jalan ada perbukitan Merbabu, sementara di sisi kiri jalan city scape yang dihiasi beberapa gunung di Jawa Tengah.

Pemandangan dari sabana Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari penjelasan saat briefing sebelum pendakian, ada dua sabana di jalur Suwanting ini. Setelah dua sabana itu kita akan ketemu Puncak Suwanting. Tapi ntah kenapa sepanjang jalan melewati sabana gua ga lihat papan petunjuk yang menyebutkan Sabana 1 dan Sabana 2. Entah ini karena gua yang kurang merhatiin sekitar atau memang papannya yang udah hilang.

Dari beberapa video pendakian Merbabu via Suwanting di YouTube, papan petunjuk itu ada. Cuma waktu pendakian mereka itu beberapa bulan sebelum gua. Jadi bisa aja papan itu rusak, hilang, terbawa angin. Karena dari video yang gua lihat papan petunjuk Sabana 2 tergeletak begitu saja, tidak terpasang di tiang atau pohon.

Hingga sampai di dataran luas setelah sabana, papan petunjuk juga tetap tidak ada. Titik terakhir kami berada ialah dataran cukup luas sebelum tanjakan bercabang. Lagi-lagi di sini tidak ada petunjuk lokasi. Satu-satunya yang ada ialah pelat bertuliskan 3017 mdpl.

Awalnya gua bingung tempat kami berhenti itu namanya apa. Hingga akhirnya gua cari semua video pendakian Merbabu via Suwanting. Dari situ gua meyakini itu adalah Puncak Suwanting. Seharusnya di sana ada papan dari kayu yang bertuliskan Puncak Suwanting 3017 mdpl. Tapi entah kenapa saat gua mendaki, papan itu udah ga ada. Apa mungkin tertiup angin ya? Atau sebenarnya ada tapi gua aja yang luput? Entahlah.

Pemandangan dari Puncak Suwanting. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami sempat terdiam sejenak di titik itu. Ambil nafas. Perjalanan 1,5 jam terbayar lunas dengan pemandangan yang asoy. Setidaknya sejauh mata memandang ditunjukkan perbukitan Merbabu yang hijau, city scape di sekitar Merbabu, hingga jajaran gunung-gunung di Jawa Tengah. Nengok ke belakang sabana luas yang baru saja kami lewati dan Merapi yang berdiri dengan gagah.

Sementara menengok ke kanan bukit menuju Puncak Triangulasi Merbabu seakan memanggil, di sudut itu matahari tengah berproses untuk menunjukan eksistensinya. Lalu di sisi kiri lautan awan putih menghiasi langit yang biru.

Ah... iya sampai sini aja udah cukup. Biar bisa menikmati keindahan ini lebih lama.

Ya, kami tidak ada yang melanjutkan perjalanan naik lebih jauh ke Puncak Triangulasi maupun Kenteng Songo. Sebenarnya ga ada larangan buat lanjut naik, tapi entah kenapa ga ada yang lanjut. Mungkin karena males kalo cuma sendirian atau sebagian. Jadi memilih menikmati yang ada saja.

Foto bareng di Puncak Suwanting Gunung Merbabu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua pribadi merasa ini udah cukup. Jadi gua lebih baik menikmati pemandangan di Puncak Suwanting lebih lama, dibanding harus naik lagi. Ya, seperti yang udah gua bilang, gua udah pernah juga ke Kenteng Songo. Selain itu, sejak awal perjalanan tujuan gua emang cuma pengen nikmatin sabana di Merbabu.

Setelah puas melihat pemandangan di Puncak Suwanting dan foto-foto di setiap sudutnya dengan berbagai gaya, kami pun kembali turun menuju tenda untuk sarapan dan beres-beres.

Kami ga cuma foto-foto di Puncak Suwanting, tapi juga di Pos 3. Karena pemandangan di tempat tenda kami berdiri juga bagus. Jadi sayang bila dilewatkan.

Akhirnya Pulang

Minggu, 10 September 2023, sekitar pukul 12.00 WIB kami mulai meninggalkan Pos 3. Seperti biasa awalnya semua berjalan bersama. Lalu seperti seleksi alam kami terbagi dalam 3 kelompok: depan, tengah dan belakang. Gua ada di bagian belakang bersama Reki dan Iqbal.

Belum jauh turun dari Pos 3, kami dihadapkan dengan sekolompok lutung yang tengah menyeberang, loncat dari 1 pohon ke pohon lainnya. Masalahnya mereka loncat menyeberangi jalur kami lewat. Jadilah kami sempat berhenti sebentar sampai rombongan mereka selesai.

Ajo, Ova, dan Tama menikmati pemdangan Merapi dan gunung-gunung di sekitar Merbabu sebelum kembali ke tenda. Foto: Fachrul Irwinsyah

Ada beberapa hal yang gua kenang dari perjalanan turun Merbabu. Pertama Tama yang harus rela meminjamkan sepatunya ke Ova karena ada masalah sama sepatu Ova. Lalu bertemu 3 pendaki konyol. Dan Reki yang mukanya merah karena nahan sakit di lututnya. "10 tahun ga naik gunung, Pak. Baru naik gunung lagi," ujar Reki memberi alasan kenapa kakinya sakit.

Sebenernya gua juga dalam mode harap-harap cemas karena lutut gua juga mulai nyeri. Takut sakit lagi kaya pas di Kerinci. Itu juga alasan gua kenapa milih jalan pelan di belakang. Selain menemani Reki, juga menjaga agar nyeri di lutut gua ga menjadi-jadi.

Jarak gua sama rombongan depan yang isinya Kong, Kang Wendi, Mas Ano dan Ica itu jauh banget. Bahkan sama rombongan tengah yaitu Ajo, Tama dan Ova juga lumayan. Ya maklumlah kami bertiga yang di belakang ini tiap pos atau lembah berentinya lama. Ambil nafasnya dalem banget. Hahaha...

Kalau rombongan depan udah ga kekejar, tapi kami masih bisa bertemu rombongan tengah di Pos 1. Kata Tama saat kami bertemu mereka udah istirahat di situ hampir 10 menit dan waktu itu udah mau cabut.

Karena hari udah mau gelap, gua, Reki, ama Iqbal pun bablas bareng Tama dan yang lain. Hingga akhirnya kami tiba di Pintu Rimba sekitar pukul 17.30 WIB. Dari situ kami lanjut dengan ojek menuju base camp. Kalau ga salah ingat tarif ojeknya Rp 15 ribu sampai base camp, tapi ini tarif sebelum jam 18.00 WIB. Kalau sampai Pintu Rimbu pukul 18.00 ke atas tarifnya naik jadi 20 ribu atau 25 ribu, gua agak lupa.

Bersyukur kami sampai base camp saat hari belum gelap. Kini tinggal bersih-bersih. Ga lupa kami juga ngumpulin semua sampah yang kami bawa turun. Untuk urusan KTP dan check out kami dibantu pemilik base camp.

Ini foto saat naik. Kami semua berhenti di tengah jalur untuk istirahat. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari base camp kami ga langsung ke stasiun. Kebetulan kereta kami baru akan berangkat esok pagi. Jadi kami akan bermalam lagi di Magelang. Tapi kali ini bukan di gunung melainkan di rumah kakaknya Mas Ano. Kami ke sana dengan menyewa mobil bak terbuka. Lumayan berjam-jam diterpa angin malam Magelang sampai rumah kakaknya Mas Ano.

Ada peristiwa yang ga bisa gua lupa saat di rumah singgah itu. Jadi, hanya ada satu kasur untuk kami para lelaki. Kasur itu hanya muat untuk 2 orang, kebetulan gua yang emang sejak sampai udah ngantuk langsung naik ke kasur itu, tentu setelah makan dan bersih-bersih. Kong lalu menyusul dan terjadilah percakapan soal kemanusiaan.

"Kong ini selimut kasih yang lain aja kali ya, kasian itu yang ga di kasur," saran gua ke Kong.

Kong lalu menjawab dengan santai sembari menarik selimut, "ga usah udah biarin."

Waktu berjalan, udara semakin dingin, gua pun akhirnya ikut menarik selimut itu. "Ah, mereka kayanya kuat tanpa selimut," ucap gua dalam hati berusaha tidak peduli seperti Kong.

Dan ternyata paginya anak-anak mengaku kedinginan. Hahaha...

Gua di Puncak Suwanting menatap Puncak Triangulasi. Foto: Ano

Senin, 11 September 2023, kami memasukan tas-tas besar kami ke bagian belakang ELF tua yang terparkir di halaman rumah tempat kami singgah. Pagi itu kami berpamitan dengan keluarganya Mas Ano untuk menuju Stasiun Lempuyangan di Yogyakarta dan kembali ke Jakarta.

Hari itu kami tidak kembali ke Jakarta bersama Reki. Dia memamg tidak ikut kami ke rumah kakaknya Mas Ano. Reki memilih bermalam di rumahnya sendiri. Namun, saat pagi kami dapat kabar ibunda Reki masuk rumah sakit, jadi kepulangan pria yang pernah tertonjok aparat itu tertunda.

***

Pada akhirnya kami semua sampai Jakarta dengan selamat. Begitu juga dengan Reki yang kembali beberapa hari setelah kami.

Bicara soal perjalanan ke Merbabu gua senang banget karena akhirnya bisa kembali naik gunung secara mandiri. Mengatur sendiri perjalanan yang kita mau bersama orang-orang yang memang kita kenal. Meskipun pasti ada beberapa kekurangan entah itu logistik yang kebanyakan, porter yang mestinya ditambah, dan biaya yang ternyata lebih mahal dari pada ikut open trip.

Bagian terakhir itu sebenarnya sebanding sih sama ceritanya.


***

Tiket kereta pulang pergi: Rp 530.000

Transport+simaksi: Rp 232.500

Logistik: Rp 110.000

TOTAL: Rp 872.500

*Biaya untuk patungan bersepuluh


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post