Meniti Kerinci dengan Tertatih-tatih

Pendakian ke Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Akhirnya kesampaian juga untuk naik ke Gunung Kerinci yang merupakan urutan kedua dalam daftar 7 Summits Indonesia. Gua mendaki ke gunung dengan tinggi 3.805 mdpl itu pada 17-18 Agustus 2023. Sayangnya, pendakian ke "atap Sumatera" itu tidak berjalan mulus.

Sejak awal gua sudah dihantui oleh nyeri lutut yang terasa sejak turun dari Gunung Sumbing, 3 minggu sebelum pendakian ke Kerinci. Cidera itu sempat tidak terasa setelah 1,5 minggu pendakian. Tapi kemudian kambuh lagi saat gua lari di GBK pas 2 minggu setelah dari Sumbing.

Sakitnya sungguh menyebalkan. Kaki gua jadi sulit untuk ditekuk. Tiap kali ditekuk bagian sisi kanan dan kiri lutut gua terasa sangat sakit. Bahkan setelah lari itu gua seperti ga bisa melangkah.

Nyerinya hilang setelah 2 hari. Gua juga sempat ke dokter untuk dapat pengobatan. Sembuh? Iya. Tapi saat gua bilang ke dokter kalau minggu depannya mau naik gunung lagi, dokter itu menanggapi dengan santai, "ya ga apa-apa. Paling nanti sakit lagi. Soalnya kan ini belum sembuh betul terus udah dipakai dengan beban lagi." Kira-kira begitu kata dokter yang bikin gua waspada sepanjang pendakian ke Kerinci.

Dalam hati gua cuma bisa berharap, kalau emang kambuh, semoga kambuhnya pas jalan turun aja. Biar gua tetap punya semangat untuk naik sampai puncak. Tapi tetap harapan terbesarnya semoga ga terasa sakit hingga pendakian selesai.

Pesawat yang akhirnya gua naiki untuk ke Padang. Foto: Fachrul Irwinsyah 

Bukan hanya soal cidera lutut, rasa was-was juga muncul dari finansial gua. Gila, baru kali ini gua pergi ke luar kota dengan kondisi keuangan yang mepet. Bahkan hampir minus.

Iya, minus bisa terjadi kalau aja duit refund ganti maskapai cair setelah gua dari Kerinci. Untungnya itu ga terjadi. Tiket.com sebagai aplikasi tempat gua beli tiket pesawat memproses dengan cepat refund yang gua ajukan, cuma butuh 3 hari.

Gua terpaksa refund tiket keberangkatan Jakarta-Padang karena Batik Air tiba-tiba ganti jadwal dari yang seharusnya berangkat di Soetta pagi, jadi berangkat dari Halim Perdana Kusuma siang. Gila! Tanpa pikir panjang gua langsung ajukan refund dan beli tiket Pelita Air yang jadwal keberangkatannya cuma selisih 30 menit dari tiket awal gua.

Karena ini bukan reschedule jadi gua harus bayar penuh tiket pesawatnya. Padahal itu uang "pegangan" buat selama trip ke Kerinci. Makanya gua harap-harap cemas nunggu uang refund kembali.

Untungnya proses refund selesai 14 Agustus 2023, H-2 sebelum gua berangkat ke Padang. Akhirnya ga jadi gembel di kota orang.

Berangkat ke Padang

Sebelum masuk tas. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perjalanan ke Kerinci kali ini masih menggunakan jasa open trip. Total ada 9 orang pesertanya, 7 di antaranya terbang dari Cengkareng, sedangkan sisanya bertemu di base camp.

Untuk menuju Gunung Kerinci di Desa Kersik Tuo, Jambi, gua terbang lebih dulu ke Bandara Minangkabau Padang. Gua berangkat pada 16 Agustus 2023, satu pesawat bersama 4 peserta trip lainnya yaitu Ari, Ceca, Yeko, dan Maria. Nama terakhir pernah ikut trip bareng gua ke Rinjani tahun lalu.

Sedangkan 2 peserta trip dari Jakarta lainnya yaitu Iis dan Nafisah berangkat dengan penerbangan yang berbeda. Kemudian dua peserta yang akan bertemu di base camp ialah Ihsan dan Rojak.

Tiba di Bandara Minangkabau Padang. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua tiba di Bandara Minangkabau sekitar pukul 08.00 WIB. Saat ambil bagasi, masalah muncul. Tas carrier gua yang baru keluar dari bagasi basah. Gawat.

Saat itu gua masih berpikir positif mungkin itu air dari luar yang kebetulan masuk ke cover bag gua jadi bagian depan tas gua ikut basah. "Ah, sudahlah nanti juga kering. Kayanya juga ga sampai ke dalam," ujar gua dalam hati berusaha tenang.

Dari bandara kami sempat mampir ke rumah makan untuk sarapan. Karena ini masih di Padang maka tujuan utamanya mau coba masakan Padang yang asli. Alhasil sebuah rumah makan di pinggir jalan bermenu makanan Padang jadi sasaran kami.

Salah satu menu yang gua pesan saaat itu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Buat orang yang makan apa aja asal enak kaya gua, ya ga begitu paham banget perbedaannya sama masakan Padang di Jakarta. Tapi yang jelas makanan yang kami makan pagi itu asli enak, terus harganya murah dibanding harga masakan Padang di Jakarta.

Perjalanan bandara ke base camp memakan waktu 8 jam. Semuanya ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan mobil MPV yang merupakan fasilitas dari open trip. Jalurnya lewat jalan lintas provinsi. Sebagian besar jalannya mulus, hanya ada beberapa bagian yang rusak. Terus pemandangannya cukup menyenangkan.

Satu hal yang paling asyik melintasi jalan ini, selama di Sumatera Barat kita bisa lihat rumah-rumah gadang yang masih berbahan kayu. Asli gua takjub dengan cara mereka mempertahankan bangunan itu.

Salah satu rekan trip gua, Yeko, punya keluarga di sini. Kami sempat mampir saat jalan pulang. Di rumah keluarganya itu ada rumah gadang. Kata keluarganya umur rumah itu udah lebih dari 100 tahun. Kira-kira setua itulah rumah gadang yang kami lihat sepanjang perjalanan.

Base camp Tumen tempat gua bermalam. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua dan rombongan tiba di base camp Tumen sekitar pukul 17.00 WIB. Di sini kami akan bermalam sebelum besok pagi mulai pendakian.

Base camp Tumen sudah berada di wilayah Kersik Tuo. Jaraknya hanya 2,5 kilometer dari pos pendaftaran Gunung Kerinci atau R10.

Sesampainya di base camp gua langsung bongkar tas gua karena ternyata masih ada yang basah. Setelah dibongkar ternyata bagian dalamnya ada yang ikut basah. Gawat (lagi). Gua langsung periksa kantong pakaian, syukurnya air ga sampai masuk ke sana.

Jadi sumber masalahnya ternyata nata de coco yang gua bawa. Kebetulan saat berangkat gua taruh dalam carrier dan kemasannya bocor. Kesalahan gua, makanan berair itu ga di simpan dalam pelastik anti air sehingga saat jebol airnya rembes ke mana-mana. Jadilah tas gua basah-basah lengket gitu. Untung pakaian gua tetap aman.

Foto bersama di Tugu Macan. Ada gua (topi hitam), Ari (kemeja), Syarif (jaket hitam), Ceca (kerudung hitam), Maria (kaos hitam) dan Yeko (kostum badut). Foto: Yeko

Di base camp gua juga sempat ketemu sama Syarif, kenalan gua waktu ikut trip ke Gunung Sumbing. Dia baru aja turun dari Kerinci. Kita memang selisih jalan.

Syarif dan dua temannya naik ke Kerinci beberapa hari sebelum gua. Mereka berangkat secara mandiri.

Dalam bincang-bincang sore itu, Syarif cerita soal trek Kerinci yang luar biasa. Dia bilang, cukup sekali aja ke Kerinci. Mendengar itu gua mencium bau petualangan yang tidak biasa di sana.

Apakah gua akan sepakat sama Syarif untuk cukup sekali ke Kerinci?

Pendakian Dimulai

Naik mobil bak dari base camp hingga ujung aspal. Foto: Pendaki yang Baik

17 Agustus 2023, sekitar pukul 08.00 WIB gua bersiap meninggalkan base camp menuju R10 untuk mendaftar pendakian. Tidak lupa sebelum cabut kami lebih dulu sarapan dan mandi.

Isi tas sedikit berkurang dibanding saat datang karena beberapa barang ditinggal di base camp. Sebab setelah selesai pendakian nanti gua masih akan kembali ke base camp Tumen.

Ketika di Jakarta tengah sibuk bersiap untuk Upacara Kemerdekaan RI, gua justru penuh tegang menanti jalur pendakian yang akan ditempuh.

Menggunakan mobil bak terbuka, gua dan rombongan menuju R10 untuk mendaftar pendakian. Semua prosesnya diurus sama guide kami, Berin. Setiap rombongan diwajibkan meninggalkan 1 KTP yang bisa diambil kembali saat turun. Untuk "tebus" KTP itu pendaki akan diminta menunjukkan sampah yang dibawa turun.

Jalan usai tiba di ujung aspal. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari R10 perjalanan masih dilanjutkan dengan mobil bak terbuka hingga jalan yang disebut "ujung aspal". Ini titik terakhir mobil bisa mengantar pendaki. Sebenarnya mobil masih bisa jalan hingga ke depan Pintu Rimba, tapi itu hanya untuk mobil 4WD atau double kabin, kalau losbak seperti yang kami tumpangi tidak akan kuat. Makanya perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki hingga Pintu Rimba.

Pintu Rimba seperti gerbang dimulainya pendakian. Sebelum menyusuri lebih jauh jalur pendakian Kerinci, gua dan yang lain dulu berfoto di Pintu Rimba. Kami berfoto dengan berbagai gaya di beberapa sudut.

Gapura sebelum Pintu Rimba. Foto: Fachrul Irwinsyah

Puas berfoto, kami mulai mendaki dengan diawali berdoa.

Seperti hasil briefing di base camp malam sebelumnya, kami akan melewati 3 pos dan 3 shelter. Di Shelter 3 kami akan bermalam.

Dari peta pendakian yang dijelaskan Bang Fandi (guide yang awalnya akan mendampingi kami, namun akhirnya berganti dengan Berin karena ada jadwal yang bentrok), waktu tempuh dari Pintu Rimba ke Shelter 1 sekitar 2,5 jam dengan catatan setiap pos istirah 5 menit. Sedangkan dari Shelter 1 ke Shelter 3 waktu tempuhnya 4 jam dengan catatan tanpa istirahat.

Foto bareng sebelum pendakian ke Gunung Kerinci. Foto: Bang Fandi

Tapi tentu teori tidak selalu berjalan segaris dengan praktiknya. Apa yang disampaikan Bang Fandi, tidak berlaku, setidaknya, bagi gua. Catatan waktu gua mengatakan yang sesuai dengan prediksi Bang Fandi hanya perjalanan awal, dari Pintu Rimba ke Pos 1 Bangku Panjang. Bagaimana sisanya? Semua molor.

Perjalanan dari Pintu Rimba ke Pos 1 hanya memakan waktu 24 menit. Gua dan rombongan sampai di Pos 1 sekitar pukul 09.26 WIB. 

Baru mulai pendakian sudah bertemu jalan berlumpur. Foto: Fachrul Irwinsyah

Terbilang cepat, mungkin karena tenaga kami masih banyak. Semangatnya masih menggebu. Udah gitu, treknya juga terbilang landai. Selama 24 menit itu kami hanya naik 79 mdpl: Pintu Rimba ada di ketinggian 1810 mdpl dan Pos 1 memiliki ketinggian 1889 mdpl.

Tapi biar kata landai, perjalanan dari Pintu Rimba ke Pos 1 itu membuat gua merasa berada di dunia lain. Hutan di jalur pendakian Gunung Kerinci ini benar-benar lebat. Kanan-kiri penuh dengan pohon-pohon tinggi yang pasti usianya sudah sangat senior.

Trek Gunung Kerinci yang benar-benar seperti menyusuri hutan. Foto: Fachrul Irwinsyah

Vegetasinya benar-benar rapat. Jalurnya kerap kali hanya bisa dilalui satu baris pendaki, artinya kalau berpapasan dengan pendaki dari arah berlawanan maka salah satu harus mengalah agar bisa lewat.

Sepanjang jalan gua merasa seperti berada di hutan antah-berantah. Benar-benar terasa seperti petualangan. Udah gitu beberapa lokasi tanahnya lembek, kondisi itu membuat tanah tersebut menjadi seperti kubangan berlumpur ketika terkena hujan. Kebetulan pas kami naik Kerinci lagi sering diguyur hujan ditambah kondisinya yang tertutup rapat pohon membuat kubungan itu tidak cepat kering meski sedang terik. Jadilah beberapa kali kaki kami terperangkap di kubangan itu.

Ketemu trek berlumpur lagi. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sepatu-sepatu mulus kami berubah sangat dekil. Satu-satunya yang paling aman ialah Yeko karena dia pakai sepatu boot yang biasa dipakai pas banjir. Sepatu seperti Yeko ini yang sering dipakai porter di Kerinci, alasannya karena banyak melewati lumpur maka model sepatu kaya gitulah yang paling nyaman.

Beberapa kali gua juga ketemu pendaki yang turun dengan alas kaki yang rusak. Ada yang akhirnya turun pakai sendal bahkan nyeker gara-gara sepatu mereka jebol.

Trek Gunung Kerinci yang benar-benar hutan. Foto: Fachrul Irwinsyah

Melewati lumpur bukan perkara mudah, karena sepatu seperti menempel di tanah yang membuat benda itu jadi berat. Kalau solnya ga kuat dia bakal terlepas pas kita angkat. Ditambah lagi dengan beban tas yang membuat kaki kita terperangkap lebih dalam ketika melewati kubangan.

Pos 1 Bangku Panjang. Foto: Fachrul Irwinsyah

Matahari yang sulit masuk ke dalam hutan di jalur pendakian Kerinci membuat beberapa bagian penuh dengan lumut. Pokoknya suasan di Kerinci benar-benar berbeda dengan kebanyakan gunung di Jawa. Kerinci benar-benar menyajikan sebuah suasana petualangan yang menakjubkan.

Vegetasi rapat di Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kubangan lumpur, pohon besar, lumut menjadi pemandangan selama menuju Pos 1 hingga Pos 3 Pondok Panorama.

Trek dari Pos 1 ke Pos 2 Batu Lumut juga masih landai karena kami hanya naik sedikit. Pos 2 berada di ketinggian 2010 mdpl. Waktu tempuh gua sekitar 24 menit. Gua sampai di pos ini pukul 09.55 WIB. Pencapaian yang ga buruk masih sama seperti yang dibriefing.

Istirahat di Pos 2. Foto: Fachrul Irwinsyah

Trek yang mulai naik, terasa selepas dari Pos 2. Menuju Pos 3 Pondok Panorama tanjakan mulai kerap ditemukan. Wajar karena Pos 3 berada di ketinggian 2225 mdpl, artinya naik 215 mdpl dari Pos 2. Jaraknya lebih jauh dari pos sebelumnya, tapi estimasi waktunya ga beda jauh artinya banyak tanjakan.

Perjalanan ke Pos 3 yang mulai mendaki. Foto: Fachrul Irwinsyah

Estimasi waktu Pos 2 ke Pos 3 adalah 30 menit, tapi gua baru sampai Pos 3 setelah berjalan 43 menit. Telat dari estimasi tapi ga jauh-jauh amatlah.

Istirahat di Pos 3. Foto: Fachrul Irwinsyah

Mendekati Pos 3 gua sempat bertemu sekelompok orang tua pecinta burung dari Filipina. Mereka datang ke Kerinci untuk memotret burung-burung di sana. Jangan tanya soal kameranya. Lensanya besar-besar khas fotografer alam liar.

Bangunan di Pos 3. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami istirahat cukup lama di Pos 3. Kalau di pos-pos sebelumnya hanya sekitar 5 menit, di Pos 3 kami istirahat sampai 15 menit. Isi tenaga yang habis terkuras karena mulai naik dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan perjalanan yang semakin naik.

Ragam trek Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pukul 11.00 WIB kami melanjutkan perjalanan ke Shelter 1. Perjalanan ini menjadi penanda mulai terkikisnya stamina gua. Waktu tempuh yang diperkirakan hanya 45 menit, ternyata gua tempuh selama 1 jam 20 menit. Ya, gua baru sampai di Shelter 1 sekitar pukul 12.20 WIB.

Menyusuri hutan Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Selain karena treknya yang panjang, langkah gua juga melambat karena nyeri lutut yang paling gua khawatirkan alhirnya mulai terasa. Ini terasa di pertengahan jalan menuju Shelter 1. Sejak itu pikiran gua dipenuhi dengan kekhawatiran. 

Nyeri itu terasa di lutut kanan. Gua pun memilih untuk jalan pelan. Ga sekencang sebelumnya, apalagi berusaha mengejar yang di depan seperti di pos sebelum-sebelumnya. Sepanjang jalan itu gua juga jadi ingat pesan teman gua sebelum berangkat, "baek baek lo nanti. Pelan pelan aja."

Foto bareng di awal pendakian Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Mendekati Shelter 1, ada percabangan. Keduanya sama-sama mengarah ke Shelter 1, cuma jakur di sisi kiri lebih terjal dibanding yang kanan. Dan entah kenapa gua memilih jalur kiri itu. Di sisi ini juga ada jalur ke mata air, tapi jalur ke mata air ini masih jauh ke bawah lagi dan pas gua lihat jalannya terjal.

Sampai di Shelter 1 gua terkejut. Ternyata tempat ini ramai pendaki, beda dengan pos-pos sebelumnya. Di sana juga ada 2 perempuan yang jadi primadona, tapi entah dia siapa gua ga kenal. Gua kira artis atau influencer yang sedang naik ke Kerinci, tapi gua tanya rombongan gua ga ada yang kenal juga.

Mas Rojak istirahat di Pos 3. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari pada cape mikirin mereka siapa lebih baik makan. Ya, sesuai rencana di Shelter 1 kami akan makan siang nasi bungkus yang sudah dibagikan di Pintu Rimba.

Menu makan siang kali itu ialah nasi+rendang dengan kerupuk yang enak. Hari itu seperti pada gunung-gunung lainnya (kecuali Sumbing) makan siang gua ga abis. Bukan karena rasa makanannya, tapi karena emang lambungnya aja lagi manja. Hahaha...

Trek yang menanjak setelah dari Shelter 1. Foto: Fachrul Irwinsyah

Hampir 1 jam kayanya kami berhenti di Shelter 1. Setelah beres makan dan berleha-leha, sekitar pukul 13.00 WIB gua kembali melanjutkan perjalanan bersama yang lain.

Mulai dari sini trek yang kami lewati berubah. Lebih berat. Tanjakan tinggi langsung kami temui ketika meninggalkan Shelter 1. Bahkan tanjakan ini sudah terlihat dari Shelter 1.

Suasana trek Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Berin maupun porter kami juga sudah mengingatkan trek terberat ada setelah Shelter 1. Tanjakan-tanjakan tinggi akan sering kami temui. Selain itu jalan-jalannya juga banyak yang sempit. Ada banyak jalur-jalur "tikus" yang hanya muat untuk dilewati 1 pendaki.

Lebar jalannya hanya muat untuk 1 kaki sementara dinding tanahnya tinggi, lebar di bagian atas tapi menyempit ke bawah. Jadi kalau lewat situ udah pasti badan kita akan berhimpitan sama dinding tanah. Kondisi itu harus dilewati dengan posisi mendaki.

Gua sih ga bisa bayangin gimana kalau ada pendaki dengan ukuran tubuh lebar. Sepanjang pendakian sih gua ga nemuin pendaki berbadan lebar ya. Tapi pasti seru sih perjuangannya kalau ada yang badannya lebar.

Pakai jas hujan karena hujan mulai turun. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perjalanan menuju Shelter 2 ini begitu melelahkan. Jalannya benar-benar panjang. Udah gitu di tengah perjalanan juga sempat diterpa hujan yang lumayan bisa bikin baju kuyub, makanya gua sempat berhenti buat neduh dan pakai jas hujan. Kondisi ini membuat gua yang jalannya udah lambat jadi makin tercecer sama yang lain.

Setengah perjalanan ke Shelter 2 gua lewatin hanya berdua sama Yeko. Oh iya, Yeko yang sempat pakai kostum badut itu juga akhirnya melepas propertinya karena hujan.

Trek Gunung Kerinci jadi lebih licin karena hujan. Foto: Fachrul Irwinsyah

Beban bukan hanya karena hujan dan jalan yang panjang tapi rasa sakit kaki gua yang juga mulai berasa lebih lagi. Makanya gua ga mau maksain buat cepat-cepat jaga-jaga takutnya malah jadi keram atau nyerinya makin perih. Nanti yang ada ga sampai tempat camp di Shelter 3.

Sebelum sampai ke Shelter 2, kami lubih dulu melewati Shelter 2 bayangan. Di sini gua dan Yeko bertemu sama Berin yang lagi neduh di flysheet orang. Gua ga mau lama-lama berhenti di sana, dan memutuskan untuk langsung jalan lagi menuju Shelter 2 biar ga makin kemalaman.

Ragam trek Gunung Kerinci yang luar biasa. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua lupa jam berapa kami sampai di Shelter 2, karena seingat gua di lokasi dengan ketinggian 3100 mdpl itu kami cuma berhenti sebentar. Cuma ambil nafas sedikit dan minum seteguk kayanya. Abis itu lanjut lagi.

Kalau berdasarkan briefing, Shelter 1 ke Shelter 2 itu waktu tempuhnya 3 jam. Tapi karena gua jalannya pelan jadi kayanya lebih dari itu dah.

Jalan-jalan sempit kaya gini kerap ditemui di Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perjalanan paling ajaib adalah menuju Shelter 3 ini. Suasananya makin sepi. Tanah-tanah berlumut makin banyak ditemui.

Treknya makin banyak yang menanjak, bahkan ada yang sampai harus naik ke tebing dengan dibantu tali webing. Medan kaya gini setidaknya ada 3 kali. Gua beruntung melewati medan itu berdua sama Yeko karena ada beberapa bagian yang sulit buat dilewatin sendiri. Perlu ada yang tarik dari atas atau dorong dari bawah. Soalnya beberapa bagian ga ada ruang buat pijakan. Apalagi saat itu abis hujan jadi dinding tanahnya licin begitu juga dengan tali webing yang udah berlumpur.

Di hari kami mendaki, medan tebing itu memakan korban. Seorang pendaki terjatuh di bagian terakhir yang sudah dekat dengan Shelter 3. Kaki korban katanya patah, jadilah rombongannya harus buat tenda darurat di tanah kosong kecil yang ada di jalur menuju Shelter 3.

Tebing dan lorong yang harus dilewati untuk sampai ke Shelter 3 Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua sama Yeko berkali-kali ditipu sama jalur Shelter 3 ini. Vegetasi yang udah pendek-pendek membuat gua yakin setelah 1 ada belokan lagi kami sampai di Shelter 3, tapi ternyata kami terlalu percaya diri. Rupanya Shelter 3 masih jauh. Gua sampai ngerasa kesal sendiri dan pengen misuh.

Bahkan ketika gua udah mendengar suara-suara pendaki pun, yang artinya sudah dekat, ternyata itu jaraknya masih jauh. Gua sampai berkali-kali bilang, "buset belum sampai juga."

Hingga akhirnya setelah melewati beberapa bunga Cantigi, gua bisa melihat tenda-tenda berdiri tegak lengkap dengan lampu yang sudah menyalah. Iya gua dan Yeko sampai di Shelter 3 ketika hari sudah mau gelap.

Kondisi saat melewati lorong-lorong kecil di Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami sampai di Shelter 3 yang memiliki ketinggian 3350 mdpl pukul 18.39 WIB. Di Kerinci jam segitu belum gelap banget. Mata masih bisa melihat sekeliling tanpa harus dibantu senter. Oh iya saat masih melewati hutan gua sempat nawarin Yeko buat siapin headlamp tapi dia menolak karena menurutnya saat itu masih terang. Dan benar saja begitu vegetasinya terbuka emang masih terang padahal waktu itu sekitar pukul 17.30 WIB.

Ketika sampai Shelter 3 perasaan gua itu senang banget. Akhirnya gua bisa mengistirahatkan kaki gua yang mulai berasa sakit. Pengen rebahan rasanya dan ganti baju. Tapi saat gua baru menarik nafas panjang untuk melepas semua lelah, Yeko ngomong, "tenda kita masih di atas."

"Astaga," satu kata yang merangkum semua kelelahan yang ternyata belum habis.

Tenda tempat gua tidur di Shelter 3. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebenarnya jaraknya ga jauh-jauh amat. Cuma karena sudah ekspektasi selesai atau setidaknya hanya perlu jalan mendatar untuk ke tenda, tapi berubah jadi harus menanjak lagi bikin gua agak menarik nafas panjang. Ternyata belum selesai.

4 menit kami jalan lagi, akhirnya tiba juga di tenda. Pihak Open Trip nyiapin 3 tenda berkapasitas 2 orang untuk laki-laki. Gua ama Yeko memilih satu tenda bareng.

Ah... akhirnya beneran rebahan.

Angin dan Kabut

Di awal malam cuaca begitu tenang. Hujan yang sempat mengguyur gua dalam perjalanan ke Shelter 3, juga udah berhenti. Bahkan sebelum gua sampai di Shelter 3.

Tapi semua berubah ketika malam semakin larut. Hujan mulai turun. Ga cuma itu angin juga menerpa tenda kami dengan kencangnya.

Terpaan angin yang kencang itu membuat tenda seakan lagi digoyang-goyang sama orang. Angin kencang itu juga membuat pasak pintu depan tenda gua copot. Jadilah pintu itu melambai-lambai, menerpa bagian utama tenda yang membuat suasana jadi makin was-was.

Kondisi ini membuat gua beberapa kali terbangun dari tidur karena berisik. Juga ada sedikit kaya adrenalin rush gitu membayangkan seperti apa kencangnya angin di luar.

Pemandangan dari trek summit Gunung Kerinci ketika cuaca masih cerah. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua sebenarnya sempat keluar buat kencing, dan anginnya emang kencang. Air kencing gua sampai tertiup, untung ga kena tenda.

Ga cuma angin kencang sih tapi juga udaranya dingin banget. Serunya malam itu dari luar tenda gua bisa lihat kerlap kerlip lampu dari rumah warga di sekitar Gunung Kerinci. Tapi karena dinginnya parah, jadi ga lama-lama juga nikmatin pemandangan itu.

Sekitar pukul 04.00 WIB seluruh rombongan dibangunkan untuk sarapan dan bersiap ke puncak Kerinci. Pagi itu kami makan bubur kacang ijo dan roti kecil sebagai asupan tenaga untuk summit.

Mulai summit Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Shelter 3 adalah batas vegetasi, jadi selama perjalanan ke puncak tidak ada lagi pohon. Trek ke puncak ini didominasi bebatuan. Dinding-dinding tebingnya berwarna merah, mengingatkan gua sama kondisi Rinjani. Cuma di momen summit ini doang gua berasa kaya naik gunung, sebelum-sebelumnya mah lebih seperti menyusuri hutan.

Trek puncaknya Kerinci sebenarnya ga sesulit Rinjani atau Semeru yang selain batu juga ada pasirnya yang membuat langkah kerap merosot. Tapi pagi itu langkah menuju ke Puncak Kerinci terasa berat karena cuaca yang tidak mendukung.

Cuaca masih bagus matahari masih terlihat. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kalau ga salah selepas Batu Gantung cuaca yang semula tenang berubah drastis. Angin begitu kencang menerpa. Belum lagi kabut yang tebal menutup pemandangan indah matahari terbit yang sempat kami lihat.

Entah cuaca pagi itu bisa disebut badai atau tidak, yang jelas ada momen di mana anginnya kencang sekali seperti mendorong tubuh gua. Gua dan yang lain sampai harus sembunyi dulu di "jalur air" agar tidak terhempas angin.

Sembunyi dari terpaan angin sambil istirahat sebelum lanjut jalan lagi ke puncak Kerinci.

Setelah dirasa angin mereda barulah pendakian dilanjutkan kembali. Tapi itu ga berarti anginnya udah benar-benar reda. Karena sebenarnya masih cukup kencang juga. Tapi kami memutuskan untuk terus gas.

Cuaca mulai berkabut dan angin kencang. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebelum sampai puncak ada 2 titik yang bisa dibilang seperti check point, yaitu Batu Gantung yang menandakan ada di ketinggian 3450 mdpl dan Tugu Yudha yang berada di ketingggian 3610 mdpl.

Tugu Yudha bukan seperti bangunan tugu yang tinggi kaya umumnya. Itu cuma nama doang yang diambil dari nama pendaki yang hilang di sana. Lokasi Tugu Yudha terdapat prasasti dari pendaki itu. Selain prasasti Yudha juga ada 2 prasasti lainnya dari pendaki yang nasibnya sama.

Trek summit Gunung Kerinci yang berbatu. Foto: Fachul Irwinsyah

Kalau udah sampai Tugu Yudha berarti udah dekat dengan puncak. Setidaknya estimasi waktunya 45 menit, itu yang disebut pas briefing di base camp.

Sebelum sampai Tugu Yudha gua sempat terpikir untuk udahan. Balik kanan dan kembali ke tenda. Alasannya kaki gua terasa sakit lagi, takut kalau diterusin nanti malah ga bisa turun.

Trek summit Gunung Kerinci difoto saat mau turun. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebenarnya gua udah olesin pereda nyeri pas sampai tenda malam sebelumnya. Begitu juga pas mau muncak, tapi sepertinya itu ga terlalu berpengaruh.

Ga cuma soal kaki yang sakit, semangat gua juga sempat turun karena cuaca yang buruk. Melihat langit yang putih, kabut, dan angin yang kencang, gua berpikir apa yang mau didapat di puncak sana? Pemandangan yang indah udah pasti ga ada. Itu membuat gua sempat terdiam memikirkan ulang semua yang udah dilalui.

Trek ke puncak Gunung Kerinci yang tertutup kabut. Foto: Fachrul Irwinsyah

Akhirnya gua memutuskan untuk lanjut. Mencoba melangkah sejauh-jauhnya, sampai di batasnya. Entah di titik mana. Yang pasti paksa aja dulu buat melangkah, setidaknya sampai guide yang nemenin gua bilang, "cuacanya udah buruk banget, ga mungkin buat naik lagi. Kita balik ke tenda."

Sayangnya kalimat itu tidak pernah gua dengar sampai kaki gua yang dengkulnya nyeri ini menginjak tanah tertinggi di Sumatera pukul 07.38 WIB. Yah, gua tiba di Puncak Indrapura. Titik tertinggi Gunung Kerinci.

Sampai di puncak Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua ternyata masih bisa. Ini adalah summit yang benar-benar luar biasa.

Pemadangan dari ketinggian 3805 mdpl pagi itu memang ga bagus, semua bagiannya tertutup kabut, hanya putih yang terlihat. Tapi cerita bisa sampai di titik itu ga akan pernah gua lupa.

Suasana saat di puncak Gunung Kerinci.

Setelah teriak kegirangan saat tiba pertama kali, gua gak lama terdiam. Seakan masih ga percaya bisa sampai di gunung tertinggi kedua dalam 7 Summit Indonesia. Ah...

Karena cuaca angin yang kencang dan kabut yang tebal, gua ga bisa terlalu jauh untuk berkeliaran di puncak Kerinci. Kami juga sepakat untuk tidak berlama-lama di sini karena anginnya benar-benar ga bersahabat, bikin suhu jadi dingin juga.

Tetap foto bareng di puncak Gunung Kerinci walau pemandangannya cuma putih. Foto: Pendaki yang Baik

Setelah puas berfoto-foto kami memutuskan untuk turun. Dan saat itu yang gua takutin benar-benar terjadi.

Sakit di lutut gua seperti saat lari di GBK sebelum ke Kerinci. Kondisi ini membuat kaki gua ga bisa ditekuk.

Bang Macan menunggu gua yang turun pelan-pelan. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua tercecer paling belakang. Hanya ditemani seorang guide, Bang Macan. Dia yang nemenin gua dari atas sampai kembali ke tenda.

Jalan gua sangat pelan. Bahkan ga sanggup buat kejar teman-teman gua yang ada di depan. Padahal dari posisi gua kelihatan banget mereka. Tapi pengen melangkah lebih cepat rasanya nyeri banget. Gua pun memilih menikmati langkah yang sedikit ini.

Pemandangan dari jalur summit Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dengan jalan perlahan, gua menjadi yang terakhir sampai di Shelter 3 tempat kami camp. Di sana sudah ada teman-teman gua yang lain, mereka sedang makan pagi menuju siang. Gua juga langsung disuguhin makanan ketika tiba.

Tapi bukan soal perut yang gua pikirkan siang itu. Melainkan masalah nyeri di kaki ini. Karena gua udah membayangkan bagajmana perihnya saat turun nanti yang jaraknya lebih panjang dari puncak ke Shelter 3.

Pulang Larut Malam

Setelah makan dan packing perjalanan turun pun dimulai. Gua jadi peserta open trip yang paling belakang turun. Awalnya di rombongan gua ada Ari dan Ihsan, tapi ga lama gua tertinggal dari mereka. Jadilah gua sendirian setidaknya sampai ke Shelter 2.

Jujur gua merasa sedikit khawatir saat jalan sendirian meninggalkan Shelter 3 dengan lutut yang nyeri ini. Karena gua tahu ada beberapa bagian di trek yang mengharuskan turun dengan tali webing. Beruntung semua bisa gua lewatin dengan aman. Tentu semuanya berjalan secara perlahan. Gua ga berani buat buru-buru apalagi lompat seperti kebanyakan porter yang turun.

Suasana trek di Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sepanjang jalan banyak banget pendaki yang mendahului gua karena jalan gua yang pelan. Sampai-sampai Berin dan Dewel (guide dan porter tim) menyusul gua. Padahal pas gua turun mereka itu masih beres-beres tenda. Jadi lambat banget kan gua jalannya.

Pertemuan gua, Berin, dan Dewel itu kalau ga salah pas udah dekat Shelter 2. Dewel kemudian ditugasin buat nemenin gua, sementara Berin menyusul peserta yang lain. Asli gua ngerasa ga enak saat, kaya kok jadi beban ya buat yang lain.

Jadilah sejak saat itu gua jalan bareng Dewel. Di tengah jalan menuju Shelter 1 gua sempat bertemu Bang Fandi. Saat itu ia menyarankan agar tas gua dibawain Dewel supaya jalannya jadi lebih cepat. Tapi waktu itu gua belum mau karena merasa masih bisa bawa sendiri untuk setidaknya sampai Shelter 1.

Keputusan itu berakhir ketika lutut kiri gua mulai merasa nyeri seperti lutut kanan. Saat itu gua putuskan minta tolong dewel membawakan tas gua. Pertimbangan gua adalah perjalanan ke Shelter 1 baru setengah, belum lagi ke Pintu Rimba yang masih sangat jauh. Jadi daripada gua maksain bawa barang sendiri yang akhirnya memperparah kondisi kaki gua, gua pun memutuskan meminta tolong.

Lutut gua ini nyeri ketika ditekuk. Sakitnya makin terasa ketika jalan turun, apalagi kalau harus menekuk kaki, itu benar-benar berasa. Anehnya kalau naik, nyerinya ga begitu terasa.

Dewel saaat mengatur tas gua untuk dibawa bareng tas dia. Gua lupa foto dia dari depan karena saat itu gua udah ga kepikiran buat motret. Foto: Fachrul Irwinsyah

Karena ini perjalanan turun jadi ga ada tanjakan. Masalahnya lagi trek turun Kerinci itu banyak yang mengharuskan gua menekuk kaki makanya sakitnya samakin terasa. Salah satu cara gua mengakali agar nyerinya ga berasa ialah dengan lebih banyak bertumpu di kaki kiri, sementara yang kanan kadang gua seret atau setidaknya tidak diangkat terlalu tinggi.

Karena terlalu sering bertumpu pada kaki kiri ini jugalah yang membuat lutut kiri gua mulai merasakan nyeri, sama seperti yang kanan. Hanya saja tidak separah kaki kanan. Itu gua alami saat masih menuju Shelter 1.

Gua tiba di Shelter 1 itu sekitar pukul 17.00 WIB. Artinya gua jalan dari Shelter 3 ke Shelter 1 sekitar 5 jam karena seingat gua, cabut dari Shelter 3 itu sekitar pukul 12.00 WIB.

Trek jalur kerinci yang harus gua lewati kembali saat turun dengan kondisi kaki sakit dan gelap. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sepanjang jalan bersama Dewel gua sering banget nanya yang lain udah sampai mana. Karena gua tahu mereka pasti udah jauh banget. Yah, gua udah ga mungkin kejar mereka. Jadi nikmatin ajalah perjalanan yang pelan ini.

Dalam pikiran gua jalan ke Pos 1 akan cepat, setidaknya separuh dari saat naik. Kalau pas naik Pintu Rimba ke Shelter 1 itu butuh waktu 3,5 jam, artinya kalau turun setidaknya bisa 1,5 jam atau paling lama 2,5 jam lah. Tapi ternyata gua salah.

Langkah gua yang pelan membuat waktu tempuh antar pos itu 1,5 jam. Jadi tinggal kali 4 pos dah selama itulah perjalanan gua untuk sampai Pintu Rimba.

Selepas Shelter 1 hari perlahan mulai gelap. Hingga sampai di Pos 1 malam benar-benar datang. Hutan Kerinci benar-benar gelap.

Trek berlumpur, akar dan batang pohon yang melintang harus gua lewati dengan bantuan cahaya hanya dari headlamp. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua istirahat lumayan lama di sini. Nyiapin headlamp, buang air kecil hingga makan cokelat. Jujur sepanjang perjalanan dari Shelter 1 perut gua udah mulai laper.

Di Pos 1 gua ketemu sama pendaki lain, namanya Pardi dia asal Bogor. Dia turun sendirian sampai akhirnya ketemu gua dan Dewel yang lagi istirahat di Pos 1. Sejak saat itu Pardi ikut jalan bareng kami hingga Pintu Rimba.

Perjalanan menuju Pintu Rimba tidak semudah bayangan gua. Meski jalannya udah banyak yang datar, tapi banyak kubangan lumpur yang membuat kaki kita kalau injak itu kaki lengket dan berat untuk diangkat. Bisa bayangin tuh gimana makin sakitnya kaki gua harus diangkat pas nginjak lumpur yang agak dalam. Kondisi jalan berlumpur ini juga yang jadi bahan ejekan dan misuh sepanjang jalan menuju Pintu Rimba.

Sepanjang jalan menuju Pintu Rimba kami juga beberapa kalk bertemu tim SAR yang naik untuk melakukan evakuasi pendaki yang mengalami patah kaki di Shelter 3. Yang pasti korban bukan rombongan gua.

Bayangan akan evakuasi juga sedikit menakuti gua. Gua aman Dewel memanh beberapa kali bicarakan kondisi pendaki yang cedera itu, tapi dalam hati gua ada sedikit rasa khawatir bagaimana kalau di sisa perjalanan ini kaki gua udah ga sanggup dan gua perlu dievakuasi?

Suasana hutan Kerinci, difoto saat naik. Foto: Fachrul Irwinsyah

Untungnya sih ga sampai seperti itu. Tapi tetap saja sepanjang jalan gua berkontemplasi, kondisi kaya gini ga boleh keulang lagi. Apalagi jika perginya secara mandiri, gua bisa jadi nyusahin teman-teman gua yang lain. Aseli gua ga mau kaya gitu.

Perjalanan panjang yang penuh lumpur, keringat, tanah, dan rasa nyeri akhirnya selesai. Pukul 23.00 WIB gua sampai di Pintu Rimba.

Rasanya pengen nangis. Pengen buru-buru rebah, dan pengen menyapa yang lain yang udah lebih dulu sampai. Dan yang paling penting pengen makan, LAPER!

Pintu Rimba difoto saat akan mendaki. Gua sampai tengah malam di tempat ini saat turun. Foto: Fachrul Irwinsyah 

Kebetulan saat menuju Pintu Rimba Dewel sempat menelepon Berin, dan gua titip makanan ke dia. Karena gua yakin sampai di Pintu Rimba udah kelewat malam dan ga ada tempat makan yang buka. Saat itu Berin juga menawarkan untuk pindah base camp karena ada kelompok lain yang juga bermalam di base camp Tumen, jadi khawatir gua ga nyaman di sana karena penuh.

Cewe-cewe dari kelompok gua memilih pindah ke hotel untuk mempercepat antrean toilet. Ihsan dan Rojak juga memilih pindah ke homestay. Sedangkan Ari dan Yeko memilih tetap di base camp Tumen. Karena masih ada yang gua kenal jadi gua memutuskan untuk tetap di base camp Tumen.

Suasana ketika gua sampai Pintu Rimba tengah malam.

Setelah Pendakian

Dalam paket open trip yang gua ikuti ada perjalanan tambahan ke Danau 7 sehari setelah pendakian. Sejak awal dikasih tahu perjalanan itu sifatnya opsional, jika memang lebih dari setengah peserta mau ke sana, maka akan diantar ke tempat tersebut. Kalau tidak sampai setengah maka akan diarahkan ke destinasi lain yang setidaknya tidak perlu mendaki.

Alternatif destinasi itu ialah ngopi di kebun kopi. Nama tempatnya HT Arabica Coffee. Jadi konsep kedai kopi ini berada di kebun kopi tempat asal kopi yang kita pesan. Di antara pohon-pohon kapi itu ada sawung-sawung dari bambu untuk tempat kita nongkrong sambil menyeruput kopi.

Foto bareng di tempat ngopi. Jaket ungu paling kanan itu Berin. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kopi yang disediakan semua diproses sendiri oleh pemilik kedai. Mulai dari proses tanam, memetik biji kopinya, roasting, hingga disajikan. Kita juga bisa beli biji kopinya doang atau yang sudah dalam bentuk bubuk.

Di kedai kopi itu kami tidak hanya menikmati kopi, tapi juga sekaligus makan siang yang sudah kami beli lebih dulu. Maklum kedai kopi ini hanya menyediakan varian minuman kopi.

Pulang dari kedai kopi ini kami mampir ke tempat oleh-oleh. Gua sih ga banyak beli oleh-oleh ya, maklum uangnya udah mepet.

Perkebunan kopi tempat kami ngopi. Foto: Fachrul Irwinsyah

Selain di Jambi kami juga sempat mampir ke tempat oleh-oleh di Padang waktu mau ke Bandara. Lagi-lagi gua ga beli banyak. Hahaha...

Bandara Minangkabau pada 20 Agustus 2023 siang jadi saksi perpisahan antara gua, Ari dan Maria. Mereka terbang lebih dulu ke Jakarta. 

Pamer gelang sebelik sumpah yng dibeli dari Bang Fauzan. Gelang ini dibuat sendiri oleh Bang Fauzan. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sementara Iis dan Nafisah sudah lebih dulu berpisah dengan kami. Mereka menggunakan penerbangan pagi.

Gua, Ceca, dan Yeko kebetulan satu penerbangan. Jadi kami baru berpisah di Bandara Soetta. Tepatnya berpisah sama Ceca sih, karena gua nebeng mobil Yeko buat balik ke ke rumah. Lumayanlah irit ongkos. Hahaha...

***

Jadi apa gua akan kembali lagi ke Kerinci setelah semua ini? Jawabannya iya.

Foto di batu gantung trek summit Gunung Kerinci. Foto: Fachrul Irwinsyah

Ga tahu kenapa gua rasa perlu kembali lagi ke gunung ini suatu saat nanti. Tentu dengan pertimbangan cuaca yang lebih baik dan kondisi fisik yang lebih oke. Ga cuma itu tapi juga perhitungan waktu yang lebih panjang. Kayanya 2 hari 1 malam terlalu cepat untuk menikmati hutan Kerinci. Gua rasa minimal 3 hari 2 malam lah kalau mau naik ke Kerinci lagi.

Kerinci mungkin jadi pendakian gua paling payah, paling tertatih-tatih. Tapi jadi perjalanan paling penuh kisah. Rasa lelahnya, rasa sakitnya, rasa kecewanya, rasa bahagianya, dan rasa sedihnya akan selalu gua ingat.

Kerinci mengajarkan gua untuk berusaha sekeras mungkin mencapai yang diinginkan. Walau jalannya ga mulus, tapi coba aja terus hingga mencapai batas. Karena jika akhirnya tak seperti yang diinginkan setidaknya kita bisa menikmati prosesnya dan bersyukur untuk semua yang sudah diperjuangkan.

***

Nama Open Trip: Shelter Garut

Biaya ke Gunung Kerinci, titik temu Bandara Minangkabau Padang: Rp 1.700.000

Fasilitas Open Trip: Mobil travel, makan pagi di base camp, makan siang nasi bungkus di jalur pendakian, makan malam di lokasi camp, welcome drink, sarapan sebelum summit, makan pagi di lokasi camp setelah summit, buah, pudding, base camp untuk bermalam, tiket masuk Danau Gunung 7, tiket masuk pendakian, porter tim

Jasa 'Ojek Tas' dari Shelter 2 ke Pintu Rimba: Rp 200.000

Tiket Pesawat Pelita Air Jakarta-Padang: Rp 1.173.000

Tiket Pesawat Pelita Air Padang-Jakarta: Rp 899.000


2 Comments

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

  1. Wah mantap cerita nya mas,ralat dikit itu foto Saya di pos 3 mas bukan shelter 1,saya pernah juga ngalamin nyeri lutut waktu di raung,tapi mungkin gak separah mas Fahrul,waktu itu persiapan saya aja yg kurang dan nggak nyangka juga trek Raung berat menurut ku,setelah camp 5 bener nggak di kasih ampun,banyak teman teman saya yg bertanya yakin klu saya langsung smbung ke Lawu,dengan percaya diri saya memang langsung nyambung ke Lawu,dan lagi lagi saya nggak nyangka ternya Lawu via singolango lebih sulit dari jalur yg pernah saya lewati yaitu candi Cetho,Sawa waktu turun saya lebih banyak menyeret kaki kanan yg mulai berasa nyeri,tapi Alhamdulillah masih nggak separah mas Fahrul,saya sampe bc jam 6 sore,sementara teman yg 5 orang lagi sampe bc jam 9 malam kebetulan kita rombongan 8 orang,oh iya kemaren waktu turun kerinci saya besok pagi nya langsung pulang ke Jambi,jadi nggak sempat pamitan,next klu mas Fahrul ada rencana ke kerinci lagi kabar kabari saya,siapa tau saya bisa ikut lagi .

    ReplyDelete

Post a Comment

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post