Sambangi Sumbing: Ketika Semua Rencana Kembali ke Awal

Trek di Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Manusia bisa berencana, tapi pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan.

Kalimat bijak itu rasanya cukup menggambarkan bagaimana akhirnya gua berangkat ke Gunung Sumbing pada 22-23 Juli 2023. Soalnya di Juli itu ada banyak rencana yang ingin dijalanin. Mulai dari ke Merbabu dengan open trip, ke Merbabu jalan sendiri, ke Sumbing solo travel hingga ke Sumbing pakai open trip.

Rencana ke Merbabu sebelumnya dibuat bareng Evi. Waktu sudah ditentukan 14-16 Juli, tapi akhirnya dijadwal ulang karena dia dapat tawaran untuk berangkat secara mandiri bareng teman-temannya. Saat itu gua ragu, mau ikut bareng Evi dan kawan-kawannya yang berangkat 21 Juli dan pulang 25 Juli  atau jalan sendiri di tanggal yang sudah direncanakan awal?

Setelah mengecek jadwal dan bersepakat dengan rekan kerja gua yang baik hati, akhirnya gua bisa mendapatkan libur di tanggal keberangkatannya Evi. Jadilah gua putusin buat ikut rencana dia dan kawan-kawannya. Sejujurnya gua udah ambil cuti buat trip 14-16 Juli, jadi kalau waktunya diganti gua perlu kerja sama dengan teman gua buat bisa dapat libur lagi. Beruntung sih rekan kerja gua baik hati dan mau untuk bertukar libur.

Pemandangan Gunung Selamat dari Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Ketika semua udah oke, rupanya rencana Evi batal. Entah kenapa itu bukan kabar yang mengejutkan buat gua. Mungkin karena gua udah merasa rencana itu ga akan berjalan mulus. Makanya waktu ngabarin Evi gua mau ikut bareng dia, gua udah siapin rencana alternatif. Ada beberapa: mulai dari ke Merbabu atau Sumbing bareng Evi secara mandiri dengan sewa porter, ke Sumbing jalan sendiri dan sewa porter, hingga ke Sumbing ikut open trip.

Sayangnya, mood-nya si Evi udah buruk karena gagal berangkat ke Merbabu (lagi), jadilah gua mutusin ke Sumbing sendiri, tapi menggunakan open trip. Karena kalkulasi gua kalau solo hiking biayanya lebih besar. Selain itu, gua ga suka jalan sendirian.

Dari sinilah cerita itu dimulai.

Ke Sumbing sebenarnya bukan rencana baru yang jadi pelarian. Selepas dari Rinjani tahun lalu, Sumbing masuk ke daftar gunung yang pengen gua kunjungi tahun ini dalam rangka menyelesaikan 7 Summits of Java. Sejak awal juga sudah direncanakan untuk pakai open trip karena gua paham susah nyari teman sejadwal untuk berangkat ke gunung secara mandiri.

Briefing sebelum memulai pendakian. Foto: Fachrul Irwinsyah

Meskipun banyak rencana yang gagal dijalankan, nyatanya perjalanan ke Sumbing gua lalui dengan senang. Mungkin karena memang ini bukan pelarian kali ya, jadi ngelewatinnya ya tetap bahagia aja gitu.

Selain itu, mungkin juga ada faktor karena gua abis beli jam tangan baru. Hahaha...

Gua mulai memdaftarkan diri open trip ke Sumbing setelah memastikan Evi ga ngikut. Tepatnya tanggal 19 Juli 2023, cuma 2 hari sebelum keberangkatan.

Rombongan open trip yang gua ikutin berangkat Jumat malam, 21 Juli 2023, dari UKI Cawang. Tujuan Sumbing meluncur meninggalkan Jakarta sekitar pukul 21.30 WIB.

Perjalanan darat begitu lancar. Sekitar pukul 06.40 WIB rombongan sudah sampai di base camp Sumbing via Garung yang berlokasi di Desa Butuh, Kalikajar, Wonosobo, Jawa Tengah.

Masih ada waktu sekitar 3 jam untuk makan pagi, packing ulang, hingga bersih-bersih sebelum mulai mendaki. Ya, pendakian akan dimulai pukul 10.00 WIB sesuai arahan dari Mas Tarigan yang hari itu jadi koordinatornya.

Ojek Gunung Sumbing

Tiket ojek Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Melalui pengeras suara portable Mas Ben, guide dan porter kami, menyampaikan sedikit gambaran tentang trek yang bakal dilalui. Mulai dari waktu tempuh, medan yang dilalui sampai ketersediaan air, semua ia sampaikan ke para peserta yang sudah membentuk lingkaran besar di depan tempat pendaftaran pendakian. Setelah arahan itulah perjalanan dimulai.

Peserta pendakian ke Sumbing ada sekitar 30-an. Hampir semuanya memilih memulai perjalanan dengan menumpang ojek dari base camp ke Pos 1 Gunung Sumbing.

Ojek di Gunung Sumbing sudah tertata dengan rapi. Untuk berangkat penumpang akan diminta membeli karcis untuk naik ojek. Biayanya Rp 25 ribu sekali jalan.

Ojek Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Setelah karcis di tangan, calon pemumpang bisa menunggu ojek di shelter yang masih di area base camp. Nantinya tukang ojek akan hilir mudik dari Pos 1 ke base camp untuk mengangkut penumpang. Tukang ojek nantinya akan meminta karcis yang sudah dibeli sebelum mengantar pendaki.

Hari itu karena lagi ramai pendaki, jadi kami harus antre. Untung shelternya teduh, jadi meski antre berdiri tetap terasa adem.

Posisi naik ojek di Sumbing unik karena penumpang ditempatkan di bagian depan. Sementara tas yang dibawa penumpang akan dipakai oleh tukang ojeknya. Kondisi ini dilakukan untuk menghindari insiden terjungkal karena saat berangkat treknya nanjak dan motor akan melaju dengan cepat.

Ojek Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Naik ojek sangat membantu dalam menghemat energi dan waktu. Menjajal ojek ini juga jadi pengalaman yang seru karena sepanjang jalan kita bisa melihat pemandangan Gunung Sumbing yang indah dengan suasana adrenalin tinggi karena motor melaju kencang.

Bagi pendaki perempuan mungkin akan merasa sedikit risih karena posisi menumpang yang berada di depan. Tapi kayanya rasa risih ini bakal hilang seketika saat motor melaju deh, karena lebih banyak ngerinya sih. Ngeri jatuh, ngeri nabrak, dan ngeri tiba-tiba pas nanjak motornya mogok. Hahaha...

Oh, iya waktu tempuh naik ojek ini benar-benar sebentar. Dari rekaman video gua itu cuma sekitar 5 menit. Padahal kalau jalan kaki lumayan itu. Mana treknya batu krikil kecil gitu.

Ojek Gunung Sumbing setelah sampai di Pos 1. Foto: Fachrul Irwinsyah

Saat turun nanti ojek untuk sampai base camp bisa ditemuin mulai dari Pos 2. Tapi kalau naik dari Pos 2 harganya jadi Rp 75 ribu. Sedangkan kalau dari Pos 1 itu sama seperti berangkat biayanya: Rp 25 ribu. Di Pos 1 itu emang ada pangkalan ojeknya.

Gua sih pas pulang kemarin milih naik ojek dari Pos 1, karena kalau dari Pos 2 kayanya trek menuju Pos 1-nya seram buat dilewatin motor. Alasan lainnya duit cash gua cuma cukup buat naik ojek dari Pos 1.

Perbedaan lain ojek buat pulang ada di posisi duduk. Di perjalanan turun penumpang posisinya normal: di belakang tukang ojek. Sementara tasnya diletakkan di depan abang ojeknya.

Perlu kalian tahu semua ojek di Sumbing menggunakan motor bebek 2 tak yang sudah dimodifikasi menyerupai motor trail.

Mulai Mendaki

Trek dari Pos 1 Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Turun dari ojek ga langsung membuat gua ngegas buat menuju Pos 2. Gua sempat neduh dulu sebentar di sebuah saung sambil ngambil gambar ojek dan nunggu peserta yang lain.

Begitu sudah mulai banyak yang datang barulah kami mulai jalan. Sekitar pukul 11.00 WIB lah gua baru beranjak meninggalkan Pos 1.

Ga semua 30 orang jalan bareng ya. Jadi pada akhirnya terbagi secara alami ke dalam kelompok-kelompok kecil. Gua jalan bareng Odat dan Ulung. Mereka gua kenal saat di mobil mulai pas mau berangkat. Kebetulan keduanya juga jalan sendiri ikut open trip ini.

Trek menuju Pos 2 Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Selain dua orang itu, gua juga berbarengan jalan sama 3 cewe yang menamakan diri "3 dara" mereka bertiga juga baru kenal di open trip kali ini. Satu jalan sendiri, sedangkan yang dua berangkat bareng 1 cowo. Tapi 3 cewe ini baru saling kenal di perjalanan kali ini dan sepanjang jalan mereka selalu bertiga.

Trek ke Pos 2 terbilang enak. Ga langsung menanjak. Banyak bagian yang masih datar. Kalau pun ada tanjakan itu ga terlalu terjal.

Medannya berupa tanah padat. Jalurnya akan melewati beberapa jembatan kecil yang terbuat dari batang pohon. Sebenarnya ga mirip-mirip jembatan juga sih karena di bawahnya ga ada air yang mengalir dan ukurannya pendek. Mungkin karena musim panas jadi saluran airnya kering.

Trek bebatuan di Gunung Sumbing via Garung. Foto: Fachrul Irwinsyah

Setelah 1 jam perjalanan akhirnya tiba di Pos 2 Mbaon. Altimeter di jam gua nunjukin Pos 2 ini ada di ketinggian sekitar 2.102 mdpl.

Setelah istirahat sejenak, perjalanan dilanjut menuju Pengkolan 9. Jaraknya dekat, cuma butuh waktu 31 menit udah sampai. Medannya diawali dengan undakan seperti tangga dengan kanan kiri cemara. Vegetasi Pos 2 menuju Pengkolan 9 juga masih rapat.

Trek selepas Pos 2 Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pengkolan 9 lokasinya ditandai dengan bendera merah putih yang berkibar di tiang bambu. Di sana ada warung juga lengkap dengan bangku buatan dari batang pohon.

Pengkolan 9 berada di ketinggian 2.259 mdpl. Di sini gua sempat istirahat lama sambil nunggu Ulung yang tercecer di belakang. Kalau si Odat sih udah sampai Pengkolan 9 duluan. Maklum bocah baru lulus SMA, tenaganya masih banyak, sementara kalau Ulung dia bilang usianya udah uzur jadi lama. Hahaha...

Trek Gunung Sumbing via Garung. Foto: Fachrul Irwinsyah

Istirahat lama di Pengkolan 9 juga membuat kami bisa menyaksikan gagahnya Gunung Sindoro yang sempat lama tertutup kabut. Bendera Merah Putih dengan latar Gunung Sindoro, lengkap sudah buat jadi view foto dadakan. Baik yang baru sampai maupun udah istirahat lama langsung ngeluarin HP dan berfoto dengan pemandangan itu.

Gua baru meninggalkan Pengkolan 9 sekitar pukul 13.30 WIB. Belum jauh jalan udah ketemu lagi spot foto yang bagus, jadilah berhenti lagi untuk foto-foto.

Trek di Gunung Sumbing dengan vegetasi rapat. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di balik keindahan pemandangannya, medan selepas Pengkolan 9 ini yang paling parah. Tanjakannya banyak banget dan lumayan melelahkan. Ditambah lagi treknya terbuka jadi panas benar-benar terasa.

Gak cuma itu, karena lagi musim kemarau tanahnya penuh debu. Jadi setiap berpapasan dengan pendaki yang turun pastilah terjadi debu-debu berterbangan. Begitu juga jika jalan di dekat pendaki yang naik, bisa membuat pandangan kita tertutup debu.

Pemandangan selepas Pengkolan 9. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perjalanan dari Pengkolan 9 ini paling lama. Sekitar 1,5 jam baru sampai di pelang Pos 3 Sebogo. Sayangnya tempat camp gua masih naik lagi, jaraknya sekitar 30 menit. Kami camp di dekat shelter emergency.

Sekitar 15.30 WIB baru sampai di camp. Seperti biasa karena open trip jadi tenda sudah berdiri. Di titik terakhir ini, antara kami bertiga, Ulung yang sampai duluan. Waktu gua sama Odat lagi asik-asik foto di tengah perjalanan ke Pos 3, Ulung emang sempat pamit buat duluan karena mau dampingin Opah, pendaki lansia yang sempat bertemu kami di base camp.

Pos 3 Gunung Sumbing via Garung. Foto: Fachrul Irwinsyah

Saat itu Opah butuh obat yang ada di porternya. Kebetulan porternya udah jalan lebih dulu untuk siapin tenda dan lain-lain.

Rombongan Opah camp di dekat pelang Pos 3. Pas gua sampai situ Ulung udah ga ada. Dia bablas ke tempat camp kita, makanya bisa sampai duluan.

Trek Gunung Sumbing via Garung. Foto: Fachrul Irwinsyah

Lokasi camp Gunung Sumbing itu sempit. Sumbing ga punya sabana yang bisa menampung banyak tenda. Jadi kalau sudah penuh terpaksa harus naik lagi sampai dapat lahan yang kosong.

Area camp kami juga penuh debu. Jadi kalau mau keluar atau masuk tenda mesti pelan-pelan biar debunya ga terbang masuk ke tenda.

Sunset di camp area Gunung Sumbing via Garung dekat shelter emergency. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua, Ulung dan Odat sepakat untuk tidur satu tenda. Tenda itu kapasitasnya sebenarnya untuk 4 orang, tapi malam itu isinya cuma kami bertiga. Sepertinya pendaki yang lain udah pada dapat tenda, jadi ga perlu gabung ke kami.

Area camp kami mengarah ke Sindoro. Arah barat, tepat untuk menikmati sunset. Asli syahdu banget...

Momen sunset di Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Makan Kenyang, Tidur Nyenyak

Ayam semur jadi menu makan malam yang disiapkan pihak open trip. Gua menghabiskannya dengan lahap.

Entah kenapa, nafsu makan gua lagi bagus sepanjang hari itu. Semua makanan bisa gua habiskan dan rasanya enak. Mulai dari pagi pas di base camp, lalu makan siang di Pengkolan 9 pakai nasi bungkus yang dibawa dari base camp, hingga makan malam ini. Padahal ya biasanya ada aja rasa ga enak makan tiap kali naik gunung.

Pemandangan Gunung Sindoro saat sunset dilihat dari tempat gua camp. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perasaan ga enak makan gua itu baru kambuh pas makan di camp area waktu selesai summit. Makanan saat itu ga bisa gua habiskan, karena perut sudah mulai ga nyaman. Mungkin karena gua udah telat makan dari sejak turun summit, makanya jadi ga nafsu.

Malam itu usai makan dan ganti pakaian tidur gua beranjak ke luar tenda. Seperti biasa nyoba motret langit sambil menikmati hawa dinginnya Sumbing.

Edelwise yang tumbuh di sekitar tempat gua camp di Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Cuma gagal. Karena lahannya yang sempit jadi gua sulit buat set komposisinya. Belom lagi tanahnya yang penuh debu bikin gua ga nyaman buat ngeletakin kamera maupun nunggu kameranya selesai motret.

Alhasil, gua pun ga lama berada di luar. Gua memutuskan buat balik ke tenda dan dipeluk sleeping bag seperti yang dilakukan Ulung dan Odat.

Summit yang Panjang

Briefing sebelum summit Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

23 Juli 2023, sekitar pukul 03.00 WIB, tenda gua berisik dengan suara alarm. Tidak lama porter yang ikut bersama kami menyampari tenda, menyuruh kami bangun dan memberikan sepotong roti sebagai tambahan energi untuk summit.

Ya, pagi buta itu kami dibangunkan sesuai jadwal untuk summit. Setelah makan dan breafing gua dan rombongan mulai mendaki.

Kami berangkat menuju puncak Sumbing sekitar pukul 03.14 WIB. Medan ke puncak lebih beragam, mulai dari tanah berdebu, bebatuan, hingga tebing.

Trek summit Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Treknya juga ga selalu naik, ada juga turunan hingga yang perlu effort berpegangan pada tali.

Momen summit juga jadi jumlah jatuh gua terbanyak. Gua sempat terpeleset saat jalannya berpasir. Lalu hampir keseleo waktu melewati turunan, gara-garanya gua ga lihat ternyata jalannya ga rata, ada seperti lubang di sisi kanan jalan yang gua lewatin membuat kaki gua tergelincir. Beruntung kaki gua masih baik-baik aja.

Sampai di Pos 4 Gunung Sumbing via Garung. Foto: Fachrul Irwinsyah

Selain itu juga kaki gua beberapa kali terpentok dinding tebing waktu harus bergelantungan di tali.

Tapi meski harus melewati berbagai kesulitan itu, gua tetap fun... hahaha...

Sumbing memiliki tiga puncak, yakni Puncak ke Kawah, Puncak Sejati dan Puncak Rajawali. Posisi paling tinggi yaitu Puncak Rajawali dan rute ke sana paling banyak melewati tebing yang mesti bergantung pada tali. Tapi tetap tidak seseram Gunung Raung ya.

Pemandangan dari trek summit Gunung Sumbing via Garung. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebelum sampai Puncak ke Kawah, gua lebih dulu melewati dua pos yaitu Pos 4 Kijang Rancak dan Pos Batu Belah yang ada di ketinggian 3.178 mdpl. Gua sampai di Pos Batu Belah sekitar pukul 04.58 WIB.

Jalur yang kami lalui adalah jalur baru. Jalur ini ada di sisi kanan arah summit. Panah puncak dari bawah akan menunjukkan jalur itu.

Trek sebelum sampai Puncak ke Kawah Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Jalur baru tak seterjal jalur lama. Gua tahu miringnya jalur lama karena pas balik gua lewat jalur itu. Jadi tahu bedanya.

Gua sampai di Puncak ke Kawah sekitar pukul 05.29 WIB. Masih bisa nikmatin sunrise.

Pemandangan Puncak ke Kawah Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Lumayan lama berhenti di Puncak Kawah sebelum lanjut jalan ke Puncak Sejati yang jaraknya ga jauh. Hanya perlu jalan sebentar susurin punggungan lalu bertemu tebing yang harus dilewati dengan berpegngan pada tali. Selain itu adajuga bagian yang trek yang benar-benar harus jalan di pinggir tebing, yang membuat kita mesti berpeluk tebing.

Sepanjang summit ini gua terngiang potongan lirik lagu 33x milik Perunggu. Ga tahu dah kenapa. Mungkin gara-gara sering diputar di kantor dan momennya saat itu tepat.

Antara Puncak Sejati dan Rajawali Sumbing

Menikmati pemandangan dari Puncak Sejati Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua sampai di Puncak Sejati Gunung Sumbing pukul 06.22 WIB. Papan keterangan di lokasi ini sudah menunjukkan ketinggian 3.371 mdpl. Padahal tingginya ga sampai segitu.

Di jam tangan gua yang ada fitur altimeternya menujukkan ketinggian Puncak Sejati Itu 3.295 mdpl. Selisihnya 76 mdpl dari yang tertulis di pelangnya. Pelang dengan keterangan 3.371 mdpl sebenarnya menunjukkan puncak tertinggi Sumbing yaitu Puncak Rajawali.

Tebing yang harus dilewati untuk sampai ke Puncak Sejati Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Tapi ternyata di jam gua Puncak Rajawali Sumbing ga setinggi 3.371 mdpl. Tinggi puncak itu hanya 3.320 mdpl, selisih sekitar 51 mdpl dari yang tertera di pelang puncak. Meski begitu tetap aja ini lokasi tertinggi di Sumbing.

Gua sampai Puncak Rajawali pukul 07.00 WIB. Waktu tempuhnya dari Puncak Sejati sekitar 30 menit. Ada sedikit drama mewarnai perjalanan ke puncak itu.

Odat saat melewati tebing untuk menuju Puncak Sejati Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Jadi saat briefing sebelum summit kami sudah diingatkan tujuan utama adalah Puncak Sejati. Bila ada yang mau ke Puncak Rajawali dipersilakan tapi dibatasi waktu. Jika waktunya masih panjang dipersilakan selain itu juga melihat stamina kalau emang dirasa mampu silakan.

Saat tiba di Puncak Sejati, gua memutuskan untuk ke Puncak Rajawali. Selain gua ada 4 orang lainnya yakni Odat, Syarif, Dita, dan satu orang lainnya yang masih rombongan open trip kami.

Puncak Rajawali Gunung Sumbing dilihat dari Puncak Sejati. Foto: Fachrul Irwinsyah

Awalnya kami kira akan berangkat bareng Mas Ben sebagai guide, ternyata Mas Ben ga ikut.

Di antara rombongan berlima itu gua paling belakang, soalnya gua kerap berhenti terutama setelah lewat tebing. Gua sering nunggu pendaki lewat untuk motret pas mereka melewati tebing itu.

Menuruni tebing demi sampai Puncak Rajawali. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di tangah perjalanan gua mendengar teriakan yang meminta semua rombongan open trip kami untuk turun karena waktunya ga cukup. Batas waktu ini bukan karena faktor alam seperti Semeru, tapi takutnya waktu turun jadi kesiangan yang berdampak ke jadwal pulang.

Gua selisih beberapa menit dari rombongan yang di depan. Melihat mereka ga bergeming dengar pengumuman itu, gua pun melanjutkan perjalanan.

Naik dan turun tebing dengan tali jadi pemandangan yang sering ditemui di trek menuju Puncak Rajawali Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

"Tanggung sedikit lagi," kata rombongan depan gua.

Mendengar itu, gua  tancap gas. Kamera gua bungkus dulu. Pasang mode ngebut buat susul mereka. Setidaknya jangan sampai gua papasan dengan posisi mereka turun dan gua naik. Kalau ini terjadi maka dipastikan gua ga lanjut ke puncak.

Beginilah trek dari atau ke Puncak Rajawali Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Nasib baik masih bersama gua. Gua tiba ga lama setelah mereka sampai di Puncak Rajawali.

Ya, ini tanah tertinggi di Sumbing.

Ah... tarik napas dalam dulu, nikmati udaranya dulu. Rekam dulu momennya diingatan. Setelah itu baru kita permisi untuk foto di samping pelang bertuliskan "Puncak Rajawali 3371 mdpl" sambil menatap Sindoro yang sejak awal selalu mengawasi.

Foto bareng di Puncak Rajawali Gunung Sumbing, formasinya: gua (kanan), Dita (dua kanan), Syarif (kiri) dan Odat (dua kiri), yang tengah gua ga tahu namanya. Foto: Pendaki yang Baik

Sayang kami tidak bisa lama di sini. Ada komitmen yang harus kami jalani untuk tidak berlama-lama agar waktu pulang tidak mepet.

Setelah berfoto ria, kami berlima mutusin buat turun. Lagi-lagi pakai mode kencang, takut udah ditinggal rombongan.

Pemandangan saat turun dari Puncak Rajawali Gunung Sumbing. Foto: Fachrul Irwinsyah

Eh, ternyata masih ada yang belum turun. Gua dan Odat juga akhirnya ketemu lagi sama si Ulung yang waktu summit sering gua tanyain ke Odat. Abis sepanjang jalan Ulung kaga kelihatan. Sudah kami tunggu tetap tidak sampai juga.

Setelah puas berfoto kembali di Puncak Sejati, kami lalu turun menuju camp. Di momen turun ini Ulung paling dulu sampai camp area. Gua kedua dan Odat paling belakangan.

Foto bareng di Puncak Sejati dengan formasi Ulung (kiri), Odat (tengah, dan gua (kanan). Foto: Pendaki yang Baik

Jujur ya, perjalanan turun ini benar-benar terasa panas banget. Jalurnya benar-benar terbuka. Apalagi saat itu udah menjelang siang, jadi mataharinya pol-polan. Dengan berada di atas ketinggian 3.000 mdpl matahari terasa dekat sekali.

Selain cuaca, ada masalah lain yang gua dapati. Kaki kanan gua terasa sakit. Gua merasa ini efek dari yang hampir terkilir saat summit itu sama sering kepentok. Makanya jalan gua jadi lambat. Rasa sakit ini terasa sampai gua turun ke base camp.

Edelwise Gunung Sumbing dengan latar belakang Gunung Sindoro. Foto: Fachrul Irwinsyah 

Waktunya Pulang

Seperti yang gua bilang karena kaki gua terasa sakit, jadi jalan gua pelan. Gua yang awalnya jalan turun dari camp area bareng sama Ulung dan Odat, tercecer di paling belakang. Mereka berdua udah melangkah kencang ke Pengkolan 9.

Sampai di Pengkolan 9, gua cuma ketemu Ulung. Dia bilang Odat udah duluan. Dia juga tadinya mau duluan tapi akhirnya jadi bareng sama gua karena katanya kakinya juga sakit jadi bakal jalan pelan.

Perjalanan turun menuju camp yang kemudian dilanjutkan ke base camp. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sepanjang perjalanan sisa itu gua jalan sama Ulung. Kami benar-benar pelan. Sebenarnya ga pelan-pelan amat sih. Catatan waktunya ga jauh sih. Cuma tiap pos kita selalu berhenti aja. Menikmati saat-saat sebelum pulang.

Pada akhirnya suara deru mesin motor ojek terdengar di telinga setelah gua dan Ulung saling ejek soal jalur yang salah. Sebuah suara dari Pos 1 yang menandakan perjalanan gua di Sumbing telah selesai.

Terima kasih Sumbing untuk segala ceritanya.

Ketika semua kembali ke awal, ternyata tetap menyenangkan. Foto: Pendaki yang Baik

***

Nama Open Trip: Tiga Dewa Adventure

Biaya ke Sumbing via Garung, 22-23 Juli 2023, titik temu UKI Cawang: Rp 689.000

Fasilitas Open Trip: Mobil travel, makan pagi di base camp, makan siang nasi bungkus di jalur pendakian, makan malam di lokasi camp, welcome drink, sarapan sebelum summit, makan pagi di lokasi camp setelah summit, es buah.


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post