Gunung Lawu dan Ceritanya (Part 2)

Pemandangan di Puncak Gunung Lawu. Segitiga hitam di foto adalah bayangan Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari basecamp hingga Pos 5 Bulak Peperangan kami akhirnya istirahat di tenda. Namun waaktu tidur kami tak banyak karena harus bersiap untuk mendaki kembali kali ini tujuannya puncak Gunung Lawu.

Waktunya Menuju Puncak

Malam terlalu malam, pagi terlalu pagi, tapi kami tak bisa tidur lagi. Dini hari itu sekitar pukul 03.00 WIB kami sudah harus bersiap untuk ke puncak Gunung Lawu alias summit.

Sebelum memulai kembali pendakian pihak open trip lebih dulu memberikan roti panggang sebagai penambah energi kami saat muncak nanti.

Perjalanan ke puncak Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Minggu, 21 Mei 2023, sekitar pukul 03.30 WIB di sebuah tanah lapang di Pos 5 Bulak Peperangan, tak jauh dari tempat tenda kami berdiri, kami berkumpul membuat lingkaran tak sempurna. Sedikit briefing dan berdoa sebelum memulai kembali pendakian itu.

Dalam lingkaran itu gua terus mencari Evi dan Mery karena tenda kami berbeda jadi gua ga tahu apa mereka sudah bangun dan siap buat summit? Beruntung sebelum briefing kelar mereka sudah keluar dari tenda dan bergabung bersama.

Perjalanan awal kami menyusuri sabana Bulak Peperangan hingga melewati area yang bisa jadi telaga saat musim hujan datang. Sepanjang jalan ini kami ditemani Mas Fahmi dan guide lainnya. Tapi Mas Fahmi yang paling nempel sama kami.

Para pendaki istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Perjalanan malam menguntungkan secara mental karena ga perlu melihat medan di treknya yang mungkin bisa bikin down. Tapi sebenarnya medan ke puncak ga seberat saat melewati Pos 3.

Sebelum sampai puncak kami lebih dulu melewati 3 pos, yakni Gupak Menjangan yang ada di ketinggian 2.952 mdpl, Pasar Dieng di ketinggian 3.104 mdpl, dan Hargo Dalem di ketinggian 3.142 mdpl.

Oh iya, Gupak Menjangan merupakan area yang cocok untuk mendirikan tenda. Di sini terdapat tanah lapang datar yang teduh karena sekelilingnya banyak pohon pinus.

Pasar Dieng yang juga dikenal dengan nama Pasar Setan. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari sepanjang rute ke puncak yang paling harus diperhatikan ialah saat masuk ke area Pasar Dieng atau disebut juga Pasar Setan. Area ini sejak awal sudah diwanti-wanti oleh pihak open trip termasuk Mas Fahmi karena itu merupakan titik pendaki tersesat.

Sejak awal kami sudah diingatkan soal Pasar Dieng ini. Kuncinya saat melewati "gapura" kita harus belok kiri bukan jalan lurus. Gapura yang dimaksud ga seperti yang pada umunya ada tulisan besar di atas jalan dan melintang dari kiri ke kanan. Tapi hanya berupa gundukan bathu di sisi kanan dan kiri. Jika diperhatikan saat melewati gundukan itu kita seperti melewatj sebuah gerbang. Di sisi kanan gundukan ada tulisan penanda lokasi yakni "Pasar Dieng" kalau jalan malam tulisan ini sepertinya kurang terlihat.

Mas Fahmi bilang, kebanyakan pendaki yang tersesat memilih jalur lurus saat melewati "gapura". Hal ini terjadi karena jalur setelah "gapura" itu ada jalur bebatuan yang mengarah lurus, padahal jalur yang benar ke kiri. Selain itu posisi puncak dari "gapura" juga terlihat berada lurus ke depan sehingga bisa mengecoh pendaki.

Area yang disebut gapura sebelum masuk ke Pasar Dieng. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kondisi di Pasar Dieng berupa bebatuan. Menurut gua sih ga cocok buat lokasi bermalam. Selain itu juga lokasi ini terkenal cerita mistis: suara seperti kegiatan jual beli layaknya di pasar. Cerita mistis itu juga yang membuat lokasi ini disebut Pasar Setan.

Kami tak berhenti lama di Pasar Dieng, setelah mendengarkan penjelasan dari Mas Fahmi pendakian ke puncak dimulai lagi.

Langit sudah mulai terang saat kami mendekati Hargo Dalem. Sunrise terlihat begitu indah.

Pagi di jalur pendakian ke puncak Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Hargo Dalem ditandai dengan banyaknya warung makan. Di sini juga ada petilasan yang diyakini sebagai tempat Moksanya Brawijaya V.

Saat berangkat kami hanya lewat saja di Hargo Dalem, tapi sudah ada rencana untuk makan di salah satu warung di sana. Kalau yang paling terkenal sih warungnya Mbok Yem yang merupakan warung pertama ada di lokasi itu.

Evi, gua, Mery di puncak Gunung Lawu, Hargo Dumilah, 3265 mdpl. Foto: Mas Fahmi

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam akhirnya kami melihat tugu putih bertuliskan Puncak Lawu (Hargo Dumilah) 3265 DPL. Akhirnya kami sampai di puncak.

Ah... wajah-wajah lelah itu akhirnya merekah jadi bahagia. Kami sampai juga di titik ini.

Kaya yang sudah-sudah begitu di puncak maka kami habiskan untuk berfoto. Kami juga sempat ke ujung area Hargo Dumilah itu.

Ujung puncak Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami berada di Hargo Dumilah hingga sekitar pukul 07.00 WIB. Setelah puas berfoto ria kami akhirnya memutuskan untuk kembali turun.

Oh iya saat summit hingga turun tidak hanya Mas Fahmi yang menemani kami, tapi juga anjingnya yang bernama Gogo atau Gugu. Dia lincah benar di trek, suka lari-larian dan buat si Evi kaget, gua juga sih. Hahaha...

Anjing Mas Fahmi yang ikut ke puncak Gunung Lawu bersama kami. Foto: Fachrul Irwinsyah

Trek turun sama seperti ke puncak. Bedanya kali ini Mas Fahmi banyak bercerita tentang Gunung Lawu. Pertama yang dia samapikan adalah Edelwise merah yang kami temui di trek usai meninggalkan Hargo Dumilah. Kata Mas Fahmi, di Lawu tidak hanya ada Edelwise yang kuning dan merah, tapi juga ada yang biru. Namun untuk warna satu itu ga bisa kita temui di jalur pendakian Candi Cetho.

Selain itu Mas Fahmi juga bercerita soal Pasar Dieng yang punya nama lain Pasar Setan. Ia sempat menceritakan kisah Alvi yang hilang pada 2018 di Lawu dan hingga saat ini belum ditemukan.

Pemandangan dari area Pasar Dieng. Foto: Fachrul Irwinsyah

Mas Fahmi juga menjelaskan mengapa Pasar Dieng menjadi titik krusial bagi pendaki Gunung Lawu. Selain itu juga terkait gundukan batu yang disebut gapura.

Melewati Pasar Dieng kami ditunjukkan Mas Fahmi pendopo keraton yang ada di Lawu. Lokasinya ga jauh dari Hargo Dalem. Bentuknya seperti bangunan rumah yang terbuat dari kayu. Bangunan itu ala kadarnya terlihat tidak terurus. Pintu depannya dikunci.

Pendopo keraton di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kata Mas Fahmi pendopo itu baru dibuka saat malam satu suro. Ketika itu pihak keraton akan naik ke Gunung Lawu untuk melaksanakan ritual. Di zaman dulu momen itu akan sangat ramai, Sultan datang bersama keluarganya dengan membawa kuda ke Lawu. Tapi sekarang tidak seperti itu, hanya perwakilan dari keraton saja yang datang dan melaksanakan ritual.

Di malam satu suro Lawu juga akan ramai dengan pendaki ritual yang naik hanya untuk melaksanakan ritual sesuai keyakinannya. Saat itu juga akan banyak acara adat yang digelar warga desa di Candi Cetho.

Pemandangan di jalur ke Puncak Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Mas Fahmi kemudian mengajak kami untuk makan soto di sebuah warung di Hargo Dalem. Di sini banyak pilihan warung untuk makan, yang paling terkenal milik Mbok Yem.

Pagi itu kami ga makan di Warung Mbok Yem, tapi di warung lain yang direkomendasikan Mas Fahmi. Tapi gua sempatkan mampir ke Warung Mbok Yem, sayangnya gua malah dapat pengalaman buruk: soft case kamera gua diambil monyet depan warung Mbok Yem. Kok bisa?

Monyet yang begal soft case kamera gua. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sejujurnya gua benar-benar ga tahu kalau di sana ada monyet yang dirantai, tanpa ba-bi-bu monyet itu langsung merampas soft case yang seingat gua lagi gua pegang di tangan kiri itu. Lama gua berpikir untuk mengambil kembali soft case tersebut, tapi ternyata si monyet punya cara lain untuk gua mengiklaskan barang tersebut, dia merobek habis soft case gua. Sontak pendaki yang ada di sana langsung menyuruh gua untuk mengiklaskan.

Ah... untung udah hari terakhir. Ga apalah kameranya sementara ga dibungkus dulu.

Menikmati Sabana

Sabana di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kondisi turun terasa menyenangkan karena kini sabana yang luas selepas Pasar Dieng dan Gupak Menjangan terlihat jelas. Area tenda di Bulak Peperangan juga akhirnya bisa terlihat.

Sekilas melewati sabana itu mengingatkan gua dengan suasana di Semeru. Langit yang biru dan tanah lapang yang dipenuhi rumput hijau, rasanya ah...

Mery dan Evi melewati sabana di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Tapi kami ga bisa berlama-lama menikmatinya. Karena hari akan semakin siang. Kami perlu segera ke tenda untuk bersiap pulang.

Sebelum sampai tenda Evi menanyakan tugu perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ada di Bulak Peperangan. Rupanya tugu itu hanya seperti patok biasa tidak ada bentuk khusus. Di samping patok itu ada tempat untuk dupa bagi mereka yang ingin melajukan ritual. Lokasi patok itu tidak jauh dari tenda kami.

Patok pembatas Jawa Tengah dan Jawa Timur (batu di samping tempat dupa) yang ada di Pos 5. Foto: Fachrul Irwinsyah

Seperti biasa saat tiba di tenda kami langsung disambut dengan es buah ditambah makan pagi. Menu hari itu nasi dan opor ayam.

Sembari makan gua beberes barang-barang yang sempat dikeluarkan dari tas. Packing ulang dalam tenda yang disorot matahari lumayan membuat berkeringat.

Beres packing, Evi memanggil. Saatnya pulang.

Sabana di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Turun dan Pulang

Namanya turun gunung tentu tak seberat saat mendaki. Jalanan terjal yang menanjak kini menjadi turunan yang mudah untuk dilewati.

Suasana pendakian di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua bahkan ga sadar kalau kami sudah melewati tanjakan-tanjakan terjal yang sempat menyulitkan saat datang ke Lawu.

Meski turun itu mudah, tapi tetap perlu hati-hati. Evi bahkan sempat merasakan kakinya sakit sehingga perlu jalan pelan-pelan. Mery kakinya lecet dan di tengah jalan perlu mengganti kaos kaki agar ga semakin parah lecetnya.

Sabana di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Meski begitu tetap waktu tempuh kami saat turun tak selambat saat naik. Iyalah mesti. Hahaha...

Tapi walau cepat kami sempat merasa jalan turun ini jauh banget. Ga sampai-sampai. Saking lelahnya gua sampai mampir dulu di warung selepas Pos 1 buat beli Nutrisari. Setelah itu lanjut jalan lagi sampai ketemu Candi Kethek. Udah selesai? Belum.

Edelwise merah yang ada di Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari Candi Kethek kami masih harus melewati jalan semen yang menurun terjal. Bahkan ada yang nanjak. Gua sempat kesal karena ketemu tanjakan, masalahnya setelah berjam-jam turun gitu, kenapa ada tanjakan. Ah...

Oh iya untuk melewati jalanan semen itu gua sempat jadi "kepiting", jalannya miring biar ga gelinding ke bawah. Soalnya kaki gua udah ga kuat nahan lagi.

Foto bertiga di awal pendakian. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sekitar pukul 15.30 WIB gua, Evi dan Mery akhirnya sampai di basecamp. Artinya perjalanan turun itu hampir separuh waktu naik. Lelah tapi menyenangkan.

Oh iya, ada satu cerita saat kami dalam perjalanan turun. Kami bertemu seorang ibu yang naik ke Lawu bersama dua putrinya. Mereka yang tengah istirahat dalam perjalanan ke basecamp bertanya ke kami apakah ini pendakian pertama? Gua jawab bagi Mery ini yang pertama, tapi buat Evi ini yang kedua karena dia pernah ke Prau sebelumnya.

Foto di ujung puncak Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Ibu itu membalas kagum karena memilih Lawu sebagai pengalaman pertama mendaki gunung. Kalau dipikir ulang ya emang luar biasa sih mendaki ke Lawu. Di antara banyaknya pilihan gunung di Jawa untuk didaki, tapi malah pilih ke Lawu yang merupakan gunung tertinggi keenam di Jawa. Padahal masih ada Merbabu, Prau, Gede, Sindoro, Andong, dan gunung lainnya yang mungkin lebih mudah. Meskipun buat gua setiap gunung tetap punya kesulitannya sendiri. Selalu ada kisahnya.

Ya, semoga perjalanan kali ini jadi kisah menarik bagi hidup kalian: Evi dan Mery. Menambah rasa bangga pada diri sendiri.

Terima kasih Lawu untuk segala ceritanya.

Perjalanan ini akhirnya mencapai ujung. Setiap langkahnya menyisakan cerita.

Bagaimana cerita perjalanan kami mulai dari rumah, basecamp hingga sampai di Pos 5 gunung Lawu? Baca di Part 1

***

Nama Open Trip: Tiga Dewa Adventure

Biaya ke Lawu via Candi Cetho, 20-21 Mei 2023, titik temu UKI Cawang: Rp 750.000

Biaya Porter Pribadi 2 hari: Rp 750.000

Fasilitas Open Trip: Mobil travel, makan pagi di base camp, makan siang nasi bungkus di jalur pendakian, makan malam di lokasi camp, welcome drink, sarapan sebelum summit, makan pagi di lokasi camp setelah summit, es buah.


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post