Gunung Lawu dan Ceritanya (Part 1)

Mery, Evi, Gua ke Gunung Lawu, 20-21 Mei 2023. Foto: Fahmi

Gak pernah nyangka kalau gua akhirnya naik ke Gunung Lawu. Soalnya ini gunung yang selalu gua tolak atau istilah zaman sekarang mah dapat red flag.

Dari dulu gak pernah tertarik sama gunung yang satu itu karena lebih banyak cerita mistisnya dibanding kesenangannya. Setiap kali ada yang punya rencana buat naik ke Lawu selalu gua pandang aneh. Dengan segala cerita mistisnya kok masih ada yang mau ke sana.

Tapi semua berubah saat gua mencari tujuan naik gunung di akhir tahun lalu. Setelah berselancar di internet, gua akhirnya menemukan alasan untuk ke Lawu, yakni merupakan bagian dari 7 gunung tertinggi di Jawa alias Seven Summit of Java.

Candi Kethek yang terdapat di jalur pendakian Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Puncak Lawu berada di ketinggian 3.265 mdpl. Ini membuatnya berada di urutan keenam gunung tertinggi di Jawa.

Adapun gunung lainnya di daftar 7 Summit of Java ialah Semeru, Slamet, Sumbing, Arjuno, Raung, dan Welirang. Dari nama-nama itu baru Semeru yang pernah gua datangin.

Rencana ke Lawu Dibuat

Bulan Mei gua pilih untuk memulai rencana pendakian ke Lawu. Niat awalnya mau akhir bulan, tapi apa daya kantor menempatkan libur Sabtu-Minggu gua di minggu ketiga. Jadilah tanggal 19-21 Mei gua berangkat ke Lawu.

Salah satu tempat ritual yang terdapat di jalur pendakian Gunung Lawu. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di pendakian kali ini gua masih menggunakan jasa open trip. Awalnya daftar buat sendiri, tapi setelah dipikir-pikir jalan sendiri itu ga enak biarpun di open trip pasti banyak orang, jadi gua mutusin nawarin si Evi.

Sebenarnya gua agak trauma ngajakin Evi naik gunung. Sebab terakhir gua ajak ke Rinjani dia ayo tapi akhirnya cancel. Kali ini pun waktu diajak ke Lawu dia langsung ayo kaya yang udah-udah, tapi hati gua masih was-was takut di akhir-akhir ga jadi berangkat tuh anak. Untungnya pikiran negatif gua itu ga terjadi karena Evi positif berangkat.

Gua, Evi dan Mery saat berada di jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua ga cuma berdua sama Evi, tapi juga ada Mery. Dia teman kantornya Evi yang kebetulan tertarik buat naik gunung. Jadilah kami bertiga naik ke Lawu.

Kami bertiga juga sempat sepedahan bareng sebagai pemanasan. Biarpun cuma sekali.

Perjalanan ke Lawu Dimulai

Jumat, 19 Mei 2023, selepas Magrib gua meluncur ke apartemen Mery di wilayah Sunter. Di sana juga ada Evi yang numpang mandi dan siap-siap. Mereka berdua memang berencana berangkat dari apartemen itu selepas pulang kerja.

Perjalanan menuju base camp Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Hari itu Mery dan Evi ga ambil cuti. Karena tempat kerja mereka masih di daerah Sunter, jadilah apartemen Mery yang dipakai untuk titik keberangkatan. Gua menjemput mereka dengan taksi online untuk kemudian menuju RS UKI Cawang yang jadi titik kumpul open trip kami.

Kami akan naik ke Lawu melalui jalur Candi Cetho. Base camp pendakian itu ada di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Kami bersama rombongan open trip berangkat ke sana menggunakan ELF sekitar pukul 20.30 WIB.

Jumlah peserta yang banyak, membuat pihak open trip menggunakan dua ELF. Mobil yang gua tumpangin sebenarnya melaju begitu cepat tapi karena harus menunggu mobil lainnya jadi kami tiba di base camp kesiangan. Mestinya sih, bisa sampai jam 6 atau 7 pagi, tapi ya itu karena harus tunggu mobil kedua maka baru sampai sekitar pukul 08.30 WIB.

Sejumlah warga sekitar base camp pendakian Gunung Lawu bersiap untuk sembahyang di hari raya Sarasvati. Foto: Fachrul Irwinsyah

Seperti biasa, di base camp gua packing ulang sekaligus nyiapin barang-barangnya Evi dan Mery yang bakal dibawa porter. Kalau barang gua mah ya gua bawa sendiri.

Kami juga menyempatkan makan pagi karena itu merupakan fasilitas dari open trip ini.

Diawali dengan doa, sekitar pukul 10.30 WIB kami meninggalkan base camp. Di awal perjalanan ini kami jalan berdampingan dengan warga yang hendak ke Candi Cetho untuk ibadah hari raya Saraswati.

Lokasi Candi Cetho ada di ujung jalan. Warga yang hendak ibadah jalan terus, sementara kami belok ke kiri untuk menuju jalur pendakian.

Jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sejak awal pendakian sudah dihadapi dengan tanjakan. Tapi meskipun begitu medannya tidak parah karena beberapa kali masih ada jalan yang landai. Treknya juga ada yang udah dibeton, berbentuk tangga hingga yang tanah alami. Beberapa lokasi jalannya becek karena ada pipa air yang bocor.

Trek menuju Pos 1 terbilang menyenangkan. Sepanjang trek ini juga ada sejumlah peninggalan di masa lalu. Mulai dari Candi Kethek, Patirtan Sapta Rsi, punden berundak yang dipuncaknya ada tempat untuk menaruh dupa, hingga patung di kanan kiri tangga. Mungkin kalau gua sensitif hawanya akan terasa mistis, tapi karena gua bukan orang kaya gitu jadi ya biasa aja.

Patirtan Sapta Rsi yang ada di jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di tengah jalan menuju Pos 1 juga ada warung yang jual minuman sampai makanan. Jadi buat yang ga sempat makan pas ninggalin base camp bisa makan di warung itu.

Trek awal Gunung Lawu yang sudah langsung menanjak. Foto: Fachrul Irwinsyah 

Jarak base camp ke Pos 1 sekitar 764 meter. Dari artikel yang gua baca mestinya perjalanan ke pos bernama Mbah Branti itu bisa ditempuh dalam waktu 42 menit. Tapi karena jalannya pelan-pelan, gua, Mery, dan Evi baru sampai di pos dengan ketinggian 1.702 mdpl itu pukul 11.30 WIB alias sekitar 1 jam perjalanan.

Di Pos 1 ada pendopo untuk pendaki beristirahat. Di sini juga ada lahan yang cukup untuk mendirikan tenda.

Pos 1 jalur pencakian Gunung Lawi via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Selain itu juga ada sebuah tempat kecil untuk menaruh dupa dan bunga bagi para peritual. Selain untuk para pendaki biasa, jalur pendakian Gunung Lawu juga terkenal dengan pendaki ritual yang naik ke Lawu untuk ziarah di Hargo Dalem yang diyakini sebagai tempat moksanya raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V.

Mereka pendaki ritual biasanya akan membawa dupa untuk diletakkan di setiap pos sepanjang jalur pendakian. Makanya di setiap pos selalu ada tempat dupa.

Trek awal pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Iwinsyah

Kami ga berhenti lama di Pos 1. Setelah energi dirasa telah kembali perjalanan dilanjutkan menuju Pos 2 sekitar pukul 11.35 WIB.

Meski medannya sudah mulai menanjak, tapi ga membuat gua kewalahan untuk menuju pos bernama Brak Seng itu. Evi dan Mery juga terlihat ga keteteran buat ngelibas treknya yang banyak melewati akar pohon.

Trek awal pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Setelah menempuh perjalanan selama 60 menit akhirnya kami sampai di Pos 2 sekitar pukul 12.33 WIB. Ini waktu tempuh normal yang pernah gua baca di salah satu artikel di internet. So proud...

Tak banyak hal yang kami lakukan di pos dengan ketinggian 1.906 mdpl itu. Kami hanya ambil nafas dan sedikit meregangkan otot. Wajah-wajah kelelahan mulai terlihat di sini karena sudah mulai melewati banyak tanjakan.

Ekspresi Evi dan Mery saat tiba di Pos 2 Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua sempat menawarkan untuk makan nasi bungkus yang dibekali pihak open trip untuk makan siang. Tapi Evi dan Mery memutuskan makan di pos berikutnya.

Jadilah setelah dirasa cukup istirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan menuju Pos 3 sekitar pukul 12.50 WIB. Pos bernama Cemoro Dowo ini jaraknya hanya 723 meter dari Pos 2, tapi medannya semakin terjal. Waktu tempuh normalnya 90 menit. Tapi siapa sangka kami bisa lebih cepat dari waktu normal itu.

Jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Ya, kami sampai di Pos 3 Cemoro Dowo yang berada di ketinggian 2.551 mdpl sekitar pukul 14.13 WIB atau 83 menit. Selisihnya dikit sih ama waktu normal, tapi tetap aja gua bangga. Hahaha...

Di Pos 3 terdapat mata air yang kami pakai untuk mengisi ulang botol minum. Di pos ini juga akhirnya kami makan siang, sesuai dengan rencana awal.

Wajah lelah saat sampai di Pos 3 Gunung Lawu via Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pos 3 terbilang nyaman. Sejak awal sampai, gua melihat pos ini seperti taman karena ada bunga yang tumbuh di sana. Selain itu juga terdapat dua bangku panjang yang dibuat dari batang pohon. Di pos ini juga terdapat warung, tapi waktu kami tiba sedang tutup. Buat yang ingin camping di pos ini jug sangat bisa karena tanah lapangnya cukup luas.

Di Pos 3 kami bertemu dengan Mas Fahmi, porternya Evi dan Mery. Sempat bercakap-cakap ringan dan ngebahas medan yang bakal kami temui selanjutnya.

Mas Fahmi berbincang dengan Mery. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pukul 14.55 WIB kami meninggalkan Pos 3. Setelah ini tak ada lagi ketenangan.

Ya, perjalanan sepanjang 824 meter ke Pos 4 penuh dengan tanjakan terjal. Medannya lebih sulit dari yang ditemuin sebelumnya. Selalu ada tanjakan setelah tanjakan.

Jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

"Gigi satu terus, kaki gua udah gemeteran," kata Evi soal medan Pos 3 ke Pos 4.

"Luar biasa," timpal Mery.

Sepanjang perjalanan kami selalu bertiga. Formasinya, Mery paling depan, lalu Evi dan gua di belakang. Seperti yang gua bilang Mery sama Evi sebenarnya pakai porter. Barang bawaan mereka yang besar-besar dibawa porter. Selama pendakian Mery hanya bawa tas kecil, sedangkan Evi ngegendong cerier 35 L miliknya yang isinya cuma jas hujan dan makanan. Oh, iya Evi juga ngegendong tas samping berisi kamera anolagnya yang berat itu.

Wajah-wajah lelah mulai terlihat. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di antara kami bertiga Evi paling kewalahan saat menuju Pos 4. Ga keitung berapa kali kami berhenti di setiap tanjakan. Benar-benar selangkah demi selangkah. Bahkan ada momen di mana dia seperti udah ga ada tenaga untuk melangkah, sampai pengen ngesot.

Di tengah jalan ini juga Evi mulai mengeluhkan perutnya yang sakit. Mendengar itu gua benar-benar khawatir. Gua takut Evi kena maag kaya gua dulu pas ke Rinjani. Gua coba ngeredain dengan kasih dia obat maag herbal, tapi ga berhasil. Perutnya masih ngalamin sakit sampai kami tiba di Pos 4.

Evi melewati 'halang rintang' di jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Jika Evi kewalahan gimana dengan Mery? Mery paling kencang. Dia melangkah kaya ga ada beban. Nah, menariknya setiap kali berhenti pose badannya selalu bagus. Photoganic banget dah.

Kalau gua? Yah, ga usah ditanyalah ya. Gua peling belakang. Hahaha...

Istirahat dulu sebelum lanjut lagi. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami tiba di Pos 4 Penggik sekitar pukul 16.45 WIB. Setibanya di pos yang berada di ketinggian 2.550 mdpl itu kami langsung mencari tempat duduk dan menyelonjorkan kaki. Ga lupa gua lepas keril yang gua pakai.

Biarpun waktu tempuhnya sangat jauh dari normal yang seharusnya cuma 90 menit, tapi gua benar-benar menikmati perjalanannya. Apalagi sampai di Pos 4 bisa nikmatin matahari sore. Sinar matahari yang jatuh di antara pohon pinus seakan kembali menyegarkan gua.

Pos 4 Gunung Lawu via Candi Cetho. Terdapat tempat untuk menaruh dupa seperti di pos lainnya. Foto: Fachrul Irwinsyah

Matahari dan langit yang biru benar-benar menenangkan gua dari rasa khawatir akan hujan selama perjalanan. Sebab sejak tiba di base camp cuacanya berkabut dan cenderung mendung. Tapi ternyata Tuhan Maha Baik kasih cerah ke kami hari itu.

Pukul 17.08 WIB kami meninggalkan Pos 4. Doa kami sebagai sesama yang belum pernah naik ke Lawu ialah tidak bertemu lagi tanjakan, tapi apalah daya. Medan terjal masih kami dapatkan.

Tidur di jalur pendakian salah satu cara untuk isi kembali tenaga. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pos 4 ke Pos 5 menjadi perjalanan dengan jarak yang paling jauh yakni 1.541 meter. Normalnya ditempuh 65 menit, tapi karena kami sudah mulai kelelahan ya pastinya udah kelewat jauh dari waktu normal.

Kami melewati pergantian hari di tengah jalan. Evi juga akhirnya memutuskan untuk menerima bantuan tasnya dibawain porter.

Wajah lelah tapi sok kuat. Foto: Fachrul Irwinsyah

Oh iya, sepanjang perjalanan malam kami ditemani dua orang porter Mas Fahmi yang meruapkan porter Evi dan Mery serta satu lagi gua lupa namanya. Selain itu juga ada Mas Abim yang udah bareng kita diperjalanan menuju Pos 4.

Jalan yang panjang dan energi yang udah hampir habis, membuat gua kelaparan. Hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan buka bekal roti di tengah jalan. Sebenarnya lokasi kami berhenti sudah sangat dekat dengan tempat camp di Pos 5. Tapi apa daya lebih baik isi tenaga dulu baru lanjut jalan kan.

Jalur selepas Pos 4 Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kami baru tiba di Pos 5 Bulak Peperangan sekitar pukul 19.30 WIB. Sebelum sampai sana kami mengalami kejadian lucu. Salah satu peserta open trip, Nabila, ternyata 'mampir' ke tenda pendaki lain karena kehilangan rombongan. Temannya yang depan ke lewat jauh, sedangkan yang belakang tertinggal jauh. Jadilah dia sementara waktu nebeng sama rombongan lain sampai akhirnya ketemu kami.

Sepanjang jalan sisa itu perjalanan dipenuhin candaan yang meledek Nabila. Hahaha...

Melewati terowongan di jalur pendaakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Bertabur Bintang di Bulak Peperangan

Akhirnya setelah hampir 9 jam berjalan, gua sampai juga di tempat kami bermalam. Sebelum masuk tenda gua lebih dulu dikasih minuman hangat dan sepiring sate lengkap sama lontong untuk makan malam.

Selesai makan gua merebahkan diri di dalam tenda yang sleting pintu depannya ga bisa ditutup itu. Mergangkan otot-otot yang tegang sambil berkenalan dengan tiga pendaki yang lebih dulu menghuni tenda itu.

Evi dan Mery saat istirahat di jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua setenda sama peserta open trip lainnya, cuma kami beda provider. Hanya saja untuk tenda kedua provider itu saling berbagi. Agak aneh sih, tapi ya udahlah ya, yang penting gua bisa tidur. Untungnya juga orangnya asyik-asyik.

Sebagai yang suka insomnia dan ga kuat dingin, tentu aja gua ga langsung tidur begitu masuk tenda. Gua cuma ngeluarin peralatan tidur dan ganti baju. Setelah itu keluar tenda. Ngapain lagi kalau bukan motret bintang.

Suasana tenda di Bulak Peperangan saat malam. Foto: Fachrul Irwinsyah

Kebetulan langit malam itu di Bulak Peperangan sedang bersih. Bintang bertaburan di atas tenda kami. Jadi rasa-rasanya sayang kalau dilewatkan begitu saja.

Cukup lama gua memotret. Atur sana-sini untuk dapat gambar yang gua mau. Berkali-kali gagal sampai akhirnya dapat gambar yang gua rasa cukup oke. Meskipun dalam hati masih berasa ada yang kurang, tapi ya udahlah cukup mari balik lagi ke tenda. Udah mulai dingin juga soalnya. Hahaha...

Bagaimana cerita kami ke puncak Gunung Lawu, Hargo Dumilah, dan perjalanan pulangnya? Baca di Part 2

***

Nama Open Trip: Tiga Dewa Adventure

Biaya ke Lawu via Candi Cetho, 20-21 Mei 2023, titik temu UKI Cawang: Rp 750.000

Biaya Porter Pribadi 2 hari: Rp 750.000

Fasilitas Open Trip: Mobil travel, makan pagi di base camp, makan siang nasi bungkus di jalur pendakian, makan malam di lokasi camp, welcome drink, sarapan sebelum summit, makan pagi di lokasi camp setelah summit, es buah.


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post