Gunung Semeru yang Dirindu

Pemandangan puncak Gunung Semeru dari Kalimati. Foto: Fachrul Irwinsyah

Semeru menjadi salah satu gunung yang paling berkesan buat gua. Bukan karena semata karena merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa, tapi perjalanan kali pertama gua ke sana meninggalkan kenangan yang istimewa.

Gua ke sana pada Juli 2012. Gua lupa bagaimana awalnya perjalanan itu, yang jelas gua diajak teman kuliah gua, Ican dan seniornya di UKM pencinta alam, Bang Binsar untuk ikut naik ke Gunung Semeru.

Kalau tidak salah saat itu pas liburan semester. Jadi punya waktu panjang buat jalan ke Semeru. Soalnya untuk naik ke Semeru setidaknya membutuhkan waktu 5 hari, dengan asumsi 2 hari untuk perjalanan pulang dan pergi sisanya untuk mendaki.

Selain gua, Ican dan Bang Binsar, dalam rombongan kami juga ada Cinta, mehasiswi satu kampus gua tapi lebih muda satu tahun.

Gua janjian bertemu mereka di Stasiun Pasar Senen, Kamis, 11 Juli 2012. Sebab mereka bertiga berangkat bareng dari Selatan Jakarta. Gua yang dari Utara, memilih untuk langsung ke Stasiun Pasar Senen ketimbang harus ke Selatan dulu.

Lutung salah satu binatang yang ada di Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dari Stasiun Pasar Senen, kalau tidak salah, kami naik kereta Matarmaja ke Malang. Gua lupa berangkat siang atau sore, yang jelas kami tiba di Stasiun Kota Malang Baru pagi hari. Dari sana kami lanjutkan perjalanan dengan naik angkot ke Pasar Tumpang.

Di Pasar Tumpang kami sempat berkeliaran untuk mencari tambahan logistik pendakian. Selain itu juga cari makan siang.

Perjalanan dari Pasar Tumpang lebih seru karena dilalui dengan jeep terbuka. Di jeep itu tidak hanya kami berempat, tapi ada pendaki lain. Selama perjalanan adrenalin terpacu karena jalan menanjak, berliku, dan sempit. Gak jarang mobil begitu mepet dengan pinggir jurang.

Beruntung pemandangan Bromo Tengger Semeru bagus. Jadi ketakutan yang timbul bisa terlupakan.

Jeep yang gua tumpangi mengantar hingga ke Base Camp Ranupani. Di sini kami daftar pendakian dan makan siang dengan lauk yang kami beli di pasar sebelumnya.

Cinta saat mulai mendaki dari Ranupani. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pendakian baru kami mulai sore hari. Setelah perut kenyang dan istrirahat sejenak.

Jangan tanya detail pendakiannya. Karena ini sudah berlalu hampir 10 tahun jadi gua udah lupa.

Sepanjang ingatan gua kami sempat berhenti lama di Pos 2 untuk menunggu magrib, pergantian waktu dari sore ke malam. Setelah itu perjalanan di lanjutkan kembali.

Karena hari yang sudah gelap, trek pendakian gak bisa terlihat dengan jelas. Kami hanya mengikuti saja jalur yang ada dengan diterangi headlamp.

Yang paling gua inget adalah trek setelah Pos 3. Soalnya itu tanjakan paling terjal sepanjang dari Ranupani. Beberapa kali kami berhenti di tengah trek itu karena udah kelelahan. Sampai harus melangkah sedikit demi sedikit.

Masalah saat itu bukan hanya trek yang nanjak. Tapi juga kondisi badan yang sudah lelah. Terus juga udara yang dingin dan perut yang mulai lapar.

Lokasi tenda kami berada di pohon tepi Ranu Kumbolo, tidak jauh dari Pos 4. Foto: Fachrul Irwinsyah

Syukurnya setelah tanjakan itu treknya langsung menurun alias bonus. Puncak dari tanjakan tadi adalah Pos 4, pos terakhir sebelum Ranu Kumbolo. Dari Pos itu sebenarnya kita bisa lihat danau dengan bentuk simbol Love itu seandainya tiba saat masih terang.

Setelah turun dari dari Pos 4 kami langsung melipir ke tepi danau. Malam itu kami memilih untuk mendirikan tenda di Ranu Kumbolo, namun pilihan lokasi kami berada di sisi danau seberang Tanjakan Cinta. Tidak jauh dari Pos 4.

Selain karena sudah butuh istirahat. Kami memilih di sana juga karena suasananya tidak ramai.

Suasana pagi di depan tenda kami. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di tengah dingin malam itu gua mendirikan tenda dan kawan-kawannya. Kami buat sedemikian rupa agar nyaman melepas lelah malam itu. Karena esok perjalanan masih berlanjut.

Oh iya, sepanjang perjalanan di gunung, Ican adalah kokinya. Semua makanan dia yang siapin dengan dibantu Cinta dan Bang Binsar. Kalau gua sih bagian makannya aja.

Perjalanan kami lanjutkan saat pagi datang. Setelah foto-foto dan makan serta packing, kami mulai berjalan lagi.

Bukit di sekitar Ranu Kumbolo. Foto: Fachrul Irwinsyah

Jalan landai tepi Ranu Kumbolo terasa begitu singkat, karena setelah itu langsung dihadapkan oleh Tanjakan Cinta. Tapi jangan sedih dulu, karena setelah itu ada pemandangan indah dari Oro-oro Ombo.

Dari pucak Tanjakan Cinta juga langsung turunan. Sementara di Oro-oro Ombo jalannya landai. Jadi bisa sedikit melepas lelah setelah menghadapi keterjalan Tanjakan Cinta.

Tanjakan Cinta. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sebelum mendaki di Tanjakan Cinta gua juga ketemu sama rombongannya Bang Coki, senior gua di kampus dan satu UKM pencinta alam bareng Ican. Dia berangkat ke Semeru sama Imam (teman kampus gua yang juga satu UKM pencinta alam bareng Ican) dan Indah (teman kampus gua dan satu UKM foto bareng gua di kampus). Rombongan ini sebelum ke Semeru, mereka lebih dulu ke Rinjani.

Seingat gua, rombongan kami tidak jalan bersama dengan Coki. Tapi kami kembali ketemu di Kalimati.

Trek dari Oro-oro Ombo ke Kalimati terus menanjak. Sebelum sampai Kalimati kita melewati Cemoro Kandang yang merupakan hutan dalam gugusan Gunung Kepolo. Gunung itu kelihatan dari Oro-oro Ombo.

Pemandangan Oro-oro Ombo dari puncak Tanjakan Cinta. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua dan rombongan sampai di Kalimati siang mendekati sore. Kami langsung mencari tempat ternyaman untuk mendirikan tenda. Di Kalimati kami kembali bersua dengan rombongan Coki.

Di Kalimati ada mata air yang jaraknya sekitar 1 kilometer. Namanya Sumber Mani. Lumayan jalan ke sananya. Jadi kalau bisa sekali ambil sekalian buat persediaan selama di Kalimati, biar ga bolak-balik.

Perbukitan di Oro-oro Ombo. Foto: Fachrul Irwinsyah

Malam di Kalimati banyak gua habiskan di tenda Coki ketimbang tenda gua sendiri, karena lebih ramai. Selain ada Iman dan Indah di sana juga ada dua anak Mapala Arcopodo yang baru di kenal di Semeru.

Pemandangan Gunung Kepolo dari puncak Tanjakan Cinta. Foto: Fachrul Irwinsyah

Di sana kami juga mendiskusikan persiapan untuk ke puncak. Lokasi Kalimati ke puncak Semeru lumayan jauh. Ditambah lagi kondisi trek yang menanjak terutama setelah melewati batas vegetasi yang medannya pasir dan kerikil. Makanya perlu dipersiapkan dengan baik.

Suasana pendakian ke puncak Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Dalam obrolan malam itu disepakati akan jalan ke puncak dini hari. Gua lupa detail waktunya. Kalau ga salah sih sekitar jam 2 kami sudah jalan.

Kami berangkat dengan mengenakan jaket, headlamp, celana panjang buat trek, dan sepatu. Salah satu dari kami juga membawa tas ransel kecil untuk makanan dan minum.

Pendaki mengeluarkan kerikil yang masuk ke sepatu saat menempuh puncak Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Awalnya gua pikir hanya rombongan kami saja yang akan muncak. Dalam bayangan gua akan seperti jerit malam. Tapi gua salah. Hampir semua penghuni tenda di Kalimati hari itu semua berangkat ke puncak. Jadilah jalur tidak sepi.

Sepanjang jalan dari tenda ke puncak kami melewati kawasan Arcopodo. Di sana ada beberapa prasasti dari mereka yang meninggal dalam pendakian. Gak jarang akan ada kelompok yang berhenti untuk sejenak mengirim doa bagi yang telah pergi.

Pemandangan dari jalur puncak Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Banyaknya pendaki yang menuju puncak akan terlihat saat kita sudah lewat batas vegetasi. Dari sana akan kelihatan betapa panjangnya barisan manusia dengan cahaya di kepalanya. Mereka seperti semut yang jalan begitu rapi.

Bicara soal medan menuju puncak, ini benar-benar luar biasa. Treknya pasir berpadu krikil kecil. Kondisi itu membuat langkah kita kerap merosot. Kira-kira tiap lima langkah sekali bakal merosot jadi seakan baru naik dua langkah. Belum lagi kalau ga pakai gaiter sepatu rasanya penuh ama kerikil kecil.

Medan ke puncak Gunung Semeru, difoto saat turun. Foto: Fachrul Irwinsyah

Belum selesai sampai di situ, cuaca yang dingin dan angin saat ada di ketinggian membuat badan semakin lemah. Selama jalan kita juga harus menjaga jarak dengan pendaki di depan sebab jika tidak kita bisa kena longsoran dari tanah yang mereka pijak, selain itu juga debu dari hasil langkah mereka.

Sepanjang mendaki kita juga harus selalu waspada. Sebab banyak batu-batu berukuran sedang hingga besar yang rawan longsor. Kalau tidak waspada kita bisa terluka karena batu tersebut. Saling mengingatkan antar pendaki menjadi kunci agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Mental benar-benar diuji karena treknya terbuka. Ini membuat kita tahu sudah sampai mana perjalanan kita. Kalau gak kuat-kuat banget bisa nyerah dan mutusin buat berhenti di situ lalu kembali ke bawah.

Gua aja tiap lima langkah berhenti dulu ambil buat napas dan nguatin tekad lagi. Biar ada semangat buat sampai ke puncak.

Indah saat istirahat di jalur puncak Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Oh iya, pemandangan di trek ke puncak itu indah banget. Langit bertabur bintang serasa deket banget. Kalau hari sudah mendekati pagi kita bisa lihat lautan awan dengan semburat kuning matahari yang baru terbit.

Kesan gua ke puncak, gak sekuat Indah. Soalnya Indah ini agak gila juga. Dia naik ke Semeru pakai sepatu kets Converse Chuck Taylor. Itu sepatu sampai jebol gara-gara dihajar dua gunung: Rinjani dan Semeru.

Sepatu Converse Indah yang dipakai ke Gunung Rinjani dan Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Mahameru

Pagi itu di ketinggian 3676 mdpl. Di tanah tertinggi Pulau Jawa, gua memandangi lautan awan yang dihiasi semburat kuning dari matahari yang baru muncul.

Matahari pagi di Mahameru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Badan yang tipis ini berusaha kuat menahan dingin dan lelah setelah mendaki.

Syukur terucap. Sekali lagi masih bisa menyaksikan keindahan alam yang diciptakan Tuhan.

Aktivitas vulkanik Gunung Semeru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Mahameru, begitulah nama dari tempat gua berdiri pagi itu, tidak hanya menyuguhkan pemandangan yang indah tapi juga memberikan pengalaman yang penuh warna.

Pemandangan di Mahameru. Foto: Fachrul Irwinsyah

Tempat yang populer dengan kisah Soe Hok Gie dan kemudian semakin populer lagi karena film 5 cm. Saat gua ke sana di puncak masih ada prasasti untuk mengenang Soe Hok Gie, tapi sekarang sudah diturunkan dan dipindahkan ke base camp Green Ranger di Cibodas.

Gua (kanan) foto bareng (ki-ka) Imam, Adit (anak Mapala Arcopodo), Bang Coki, Cinta, dan Ican di Mahameru.

Keindahan dari Mahameru tidak bisa dinikmati terlalu lama. Pendaki yang sampai sana harus segera turun sebelum pukul 09.00 WIB untuk menghindari awan panas dari aktivitas Gunung Semeru. Selain itu juga kalau kesiangan pasti panas banget karena matahari makin dekat, jadi mending turun setelah puas foto-foto.

Perlu diingat pendakian ke Mahameru tidak dianjurkan. Batas pendakian yang disarankan hanya sampai Kalimati. Hal ini untuk menghindari kejadian buruk dari aktivitas vulkanik Gunung Semeru. Ingat Gunung Semeru merupakan gunung berapi aktif.

Kisah Sedih di Kalimati

Dalam perjalanan ke Kalimati gua sempat terpencar dengan yang lain karena perlu buang hajat. Jadilah gua menyisari hutan sendirian.

Gua dan Indah foto di Kalimati. Foto: Imam

Berjalan sendirian adalah hal yang paling ga gua suka kalau di gunung. Karena gua tipe yang suka bengong dan berpikir ngaco. Bayangan akan kesasar selalu aja muncul kalau sendirian. Untungnya pikiran positif gua masih coba melawan dan gua pun akhirnya sampai di lokasi kami bermalam.

Di Kalimati kami berpisah dengan Bang Binsar dan Cinta. Mereka berdua memilih turun ke Ranu Kumbolo dan bermalam di sana. Sedangkan gua dan Ican memilih untuk bermalam di Kalimati bersama Bang Coki, Imam, dan Indah. Jadilah untuk semalam gua menumpang di tenda kelompok Bang Coki.

Gua (kanan) bareng (ki-ka) Imam, Ican, Bang Coki, Indah, Ruli (anak Mapala Arcopodo), dan Dimas di Kalimati sebelum turun ke Ranu Kumbolo.

Cerita di Kalimati gak sampai di situ. Gua dikejutkan dengan kisah perpisahan dua anak Mapala Arcopodo. Jadi salah satu dari mereka rupanya ada yang memilih untuk pulang setelah dari puncak. Parahnya hal itu diputuskan sebelum temannya kembali ke tenda. Si anak yang pulang ini meninggalkan tenda dan barang pribadi rekannya itu, serta secarik kertas yang berisi salam perpisahan.

Jadilah malam itu dia yang ditinggalkan bergabung bersama kami. Melewati satu malam dengan kisah penuh kesal kepada kawannya itu. Dan topik itu menjadi tertawaan bagi kami.

Berfoto di Oro-oro Ombo. Foto: Indah

Siang itu di Kalimati gua juga ketemu sama Dimas, teman kuliah gua sekaligus kawan seangkatan Ican di UKM pencinta alam. Dia datang ke Semeru bersama teman-teman rumahnya.

Hari itu Dimas datang ke tenda kami untuk meminta makan. Minimal nasi, sebab di kelompoknya ga ada yang bisa masak nasi. Dimas bilang kalau beberapa hari ini makannya ga enak karena ga ada yang bisa masak.

Gua (kanan) saat melewati Oro-oro Ombo menuju Ranu Kumbolo. Foto: Indah

Di Kalimati gua puas-puasin foto di antara bunga Edelwise. Serta mencoba mengabadikan Mahameru. Sebab cuma dari sini doang Mahameru dan jalur pendakiannya kelihatan jelas.

Kembali ke Ranu Kumbolo

Siang itu, 16 Juli 2012, kami memutuskan untuk turun dari Kalimati. Ini jadi momen perpisahan gua dengan rombongan Bang Coki. Sebab gua dan Ican akan bermalam lagi di Ranu Kumbolo, sedangkan Bang Coki, Indah dan Imam akan langsung gas ke Ranupani untuk pulang.

Sebelum melangkah turun, gua memberikan salam perpisahan sekaligus janji untuk kembali lagi lain waktu, "See You Semeru".

Pemandangan Ranu Kumbolo. Foto: Fachrul Irwinsyah

Gua dan Ican tiba di Ranu Kumbolo, kalau tidak salah, sore. Tak banyak kegiatan yang kami lakukan di Ranu Kumbolo kala itu.

Ican dari malam sibuk buat mancing ikan. Tapi ternyata umpannya baru kemakan ikan pas pagi. Itu pun ikannya kecil.

Tanjakan Cinta dari Ranuk Kumbolo. Foto: Fachrul Irwinsyah

Sedangkan gua, mencoba cari spot foto yang bagus. Mengabadikan Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta, hingga Oro-oro Ombo.

Hari itu benar-benar memuaskan. Makanya kalau ada yang ngajakin ke Semeru lagi gua pasti ayo banget. Tapi sampai Ranu Kumbolo atau Kalimati aja. Menyenangkan menghabiskan waktu di sana.

Pulang ke Jakarta

Kesenangan di Ranu Kumbolo berakhir pada 17 Juli 2012. Kami turun ke Ranupani untuk kemudian pulang ke Jakarta.

Tapi kami tidak ke Jakarta hari itu juga. Kalau tidak salah ingat kami tiba di Ranupani sore. Kemudian entah bagaimana kami mendapat kenalan mahasiswa asal Timur yang kuliah di Malang. Dia lantas menawarkan kami untuk bermalam di kontrakannya. Kebetulan tiket kereta yang kami miliki memang bukan untuk hari itu, tapi keesokan harinya.

Ican saat jalan turun ke Ranupani. Foto: Fachrul Irwinsyah

Jadilah kami terima tawarannya dengan sedikit rasa cemas. Takut kalau nanti pas mau pulang ditahan-tahan dan akhirnya ga bisa pulang. Cerita kaya gini sering banget ditemuin kalau mampir ke markasnya anak-anak Mapala.

Tapi pengalaman itu ga kami dapatkan. Mereka benar-benar menjamu kami dengan baik hingga saat kami harus berangkat ke Stasiun Malang Baru untuk kembali ke Jakarta.

Gua dan rombongan pulang ke Jakarta pada 18 Juli 2012 dengan membawa segudang cerita, serta rasa rindu untuk segera kembali menikmati indahnya Semeru.

Gua (kaus hitam paling depan) bersama Ican, Cinta dan Bang Binsar saat foto bersama dengan mahasiswa di Malang yang memberikan tempat singgah semalam.

Kini gua bisa memahami kenapa sepupu-sepupu gua (baca: Nenek Ranger) selalu membagikan kisah mereka saat naik ke Gunung Semeru. Selain karena itu pendakian dengan formasi lengkap, Gunung Semeru juga selalu menjanjikan cerita yang menarik. Kisahnya selalu menyenangkan untuk didengar meski sudah berlalu bertahun-tahun.

Seperti cerita perjalanan gua ini, meski sudah hampir 10 tahun, tapi rupanya gua masih bisa mengingatnya. See You Semeru!


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post