Sepedahan ke Tempat Tersembunyi Bareng Signature Live

Paulpolos - SLCC
Gua dan Reki di acara SLCC. Dok. Signature Live

Sabtu, 19 Februari 2022, jadi hari yang menyenangkan dalam momen bersepeda gua. Sebab rute yang ditempuh benar-benar tidak terduga.

Hari itu gua ikut dalam acara Signature Live Cycling Club (SLCC): Unexpected Ride. Sebuah kegiatan bersepeda bersama dengan rute yang tidak terduga.

Di edisi yang gua ikuti, kegiatan tersebut bekerja sama dengan Other Side Experience, jasa tur sepeda berbayar menyusuri kehidupan urban di Jakarta. Biasanya yang mengikuti tur mereka adalah ekspatriat.

Sama seperti rutenya yang tidak terduga, keikutsertaan gua di acara bersepeda itu juga benar-benar tidak terduga. Jadi saat itu SLCC mengumumkan kegiatan sepedahan akhir pekan mereka dan bagi yang ingin ikut syaratnya harus komentar di postingan mereka. Jadilah gua komentar dan siapa sangka gua kepilih.

Selain gua, panitia juga meminta agar mengajak satu teman. Pilihan gua jatuh ke Reki, kolega satu kantor.

Gua dan Reki lalu bergabung untuk sepedahan bareng SLCC, Om Diskopantera, komunitas Troy Jakarta, dan Other Side Experience. Perjalanan kami dimulai dari 7 Speed Coffee Panglima Polim, Jakarta Selatan, sekitar pukul 07.30 WIB.

Setelah sarapan singkat, pengarahan singkat dan berdoa, pergowesan pun dimulai. Dian Hasan dari Other Side Experience menjadi pemandunya.

Paulpolos - SLCC
Rutenya masuk-masuk gang kecil. Dok. Signature Live

Rute yang gua tempuh adalah rute yang biasa ditawarkan Dian Hasan bersama Other Side Experience dalam jasa tur sepeda mereka. Dalam daftar tur mereka, rute ini bernama Other Side Senopati.

Ya, kami mengelilingi perkampungan di Senopati. Rumah padat penduduk di belakang gedung-gedung pencakar langit.

Sebelum jalan, Dian Hasan bilang kalau ada perbedaan antara tur yang biasa dia berikan dengan yang kali ini. Titik hentinya dikurangi dan dia juga hanya sedikit memberikan penjelasan tentang tempat-tempat yang disinggahi.

Namanya perkampungan padat penduduk, jadilah kami banyak melewati gang-gang kecil untuk sampai di titik singgah. Dian Hasan sudah mewanti-wanti agar kami ramah dengan penduduk setempat saat bersepeda. Sapaan seperti "permisi", "selamat pagi", "assalamualaikum" dan sebagainya merupakan mantra ampuh untuk bisa diterima oleh penduduk setempat.

Titik singgah pertama kami adalah perkampungan di pinggir kali. Di sana rumah penduduk berjajar meninggi dengan bentuk bangunan yang seadanya. Beberapa mungkin disewakan sebagai indekos atau kontrakan.

Paulpolos - SLCC
Dian Hasan menjelaskan tentang tempat singgah pertama. Dok. Fachrul Irwinsyah

Pemandangan itu begitu kontras dengan penampakan gedung tinggi di belakangnya: tertata rapi dan pancarkan kemewahan.

Dari sana rombongan memutar arah. Kali ini Dian Hasan mengajak gua ke peternakan sapi perah di Kampung Kebalen. Lokasi masih tidak jauh dari titik pertama. Gang demi gang gua telusuri untuk bisa sampai di titik singgah kedua ini.

Sesampainya di lokasi peternakan sapi, Dian Hasan kembali memberikan penjelasan. Dengan Bahasa Indonesia bercampur Inggris, ia mengatakan dulunya banyak peternak sapi di lokasi itu. Namun seiring berjalan waktu jumlah mereka makin berkurang.

Paulpolos - SLCC
Rute sepedahan pagi itu.

"Sekarang cuma tinggal satu pemain atau peternak sapi, Pak Haji Faturahman yang baju ijo. Luar biasa udah turun temurun udah generasi ketiga," kata Dian Hasan mengungkapkan pemilik peternakan tersebut.

Kalau melihat kondisinya tempat itu sebenarnya kurang layak jadi peternakan sapi. Sebab sapi-sapi tersebut hanya bisa berada dalam kandang. Tidak ada lahan terbuka agar sapi bisa bergerak bebas. Kalau pun ada lahan kosong di depan kandang sapi tersebut, tanahnya tertutup oleh puing. Tidak ada rumput di sekitar tempat tersebut.

Namun, upaya Pak Faturahman untuk terus jadi peternak sapi perah tetap perlu diapresiasi. Setidaknya tetangga rumahnya bisa dapat susu murni dengan harga lebih murah.

Paulpolos - SLCC
Peternakan sapi perah milik Pak Faturahman. Dok. Fachrul Irwinsyah

Susu dari sapi Faturahman memang hanya dijual ke masyarakat sekitar. Ia menjualnya setiap pagi dan tidak pernah sisa.

Pagi itu gua tidak hanya disuguhkan cerita. Tapi juga susu sapi yang sudah diolah oleh keluarga Pak Faturahman. Masih hangat. Rasanya: ENAK!

Paulpolos - SLCC
Pak Faturahman dan peternakan sapi perahnya. Dok. Fachrul Irwinsyah

Setelah berpamitan dengan Pak Faturahman, rombongan kembali mengayuh sepeda. Kali ini Dian Hasan mengajak untuk berkunjung ke Four Season.

Eits, tunggu dulu! Dian Hasan bukan membawa gua untuk berkunjung ke hotel mewah itu. Yang ingin dia tunjukan adalah perkampungan yang terletak tepat di seberang Four Seasons. Dua tempat itu hanya dipisahkan oleh kali.

Paulpolos - SLCC
Menuju Four Seasons. Dok. Signature Live

Di tempat itu Dian Hasan menujukkan ke rombongan, bagaimana dua tempat yang berbeda strata bisa saling melengkapi. Perkampungan itu kerap menjadi tempat bagi para pekerja di Four Seasons untuk belanja makanan, cemilan atau rokok, dengan harga yang pastinya lebih murah dibanding dengan beli di tempat mereka kerja.

Untuk membeli makanan mereka tidak perlu menyeberang kali. Cukup menuliskan pesanan di ember yang ada di tepi kali. Ember itu terhubung dengan warung di perkampungan lewat seutas tali yang melintasi kali.

Puas nyobain belanja dengan cara itu, Dian Hasan mengajak rombongan ke jembatan yang ia sebut "Jakarta's mini Sydney Harbour Bridge". Lokasinya ga jauh dari Four Seasons. Di sana kami berfoto bersama.

Paulpolos - SLCC
Foto bareng dulu, ada Om Diskopantera juga. Dok. Signature Live

Tujuan terakhir kami ialah Museum Dirgantara. Melihat pesawat dan kendaraan perang lainnya yang bersejarah.

Di sana gerimis sempat turun. Untung saja tidak sampai deras.

Terakhir kami kembali ke 7 Speed Coffee Panglima Polim untuk makan siang dan menutup pergowesan hari itu.

Paulpolos - SLCC
Foto lagi sebelum hujan. Dok. Signature Live

Rute Singkat yang Menyenangkan

Jika mengukur jarak, rute ini gak jauh-jauh amat. Aplikasi GPS kuat mencatat jaraknya 15,9 kilometer. Perjalanan gua dari rumah ke 7 Speed Coffee bahkan lebih jauh, yaitu 23,4 kilometer.

Banyaknya titik berhenti juga membuat perjalanan tidak terasa capek. Ditambah lagi ini rute yang belum pernah gua lewatin, jadi benar-benar menyenangkan. Sama satu lagi: GRATIS!

Paulpolos - SLCC
Sampai jumpa di persepedahan berikutnya. Dok. Fachrul Irwinsyah

Oh iya, usai makan siang, gua langsung pisah jalan sama Reki. Urusan berangkat sama pulang kita memang gak sejalan. Reki ke Pasar Minggu, sedangkan gua ke Tanjung Priok. Jadilah kami harus berpisah sejak keluar dari halaman 7 Speed Coffee.

Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post