Nyuci Film Setelah Setahun di Kamera



Menghabiskan 36 frame film ternyata bukan hal yang mudah buat gua. Terbukti roll film yang ada di kamera analog Ricoh GX-1 punya gua baru habis setelah setahun.

Iya benar, gua tahu umur roll film itu setelah dicuci. Frame awalnya menggambarkan situasi pameran foto analog yang digelar di SoupNfilm. Acara itu berlangsung sekitar satu tahun lalu.

Sebelum frame tentang pameran, sebenarnya ada foto yang menggambarkan sebuah vila. Tapi gua benar-benar lupa itu foto pas kapan, apa saat liburan keluarga atau waktu "hunting akbar" Kaphac 32. Gua ga ingat karena frame vila itu cuma ada dua. Kemungkinan besar si itu foto waktu hunting akbar Kaphac 32 soalnya ada tenda di sana.

Pameran foto di SoupNfilm.

Bicara soal nyuci film, kali ini gua pakai jasa lab dekat rumah. Namanya Hungry For Film. Lokasinya di Kelapa Gading, ga jauhlah dari rumah gua. Gua tahu tempat ini dari teman gua, Evi yang sekarang jadi pegiat kamera analog.

Harga nyuci dan scan di sana ga mahal tapi ga murah juga. Beda-beda tipislah dengan lab lainnya. Untuk develop dan scan film warna harganya Rp 45 ribu. Kalau film hitam putih (BW) untuk develop dan scan harganya Rp 50 ribu. Kalau cuma develop doang harganya dikorting Rp 15 ribu. Sementara kalau cuma scan doang mau warna atau BW harganya sama Rp 25 ribu. Ga mahal lah itu.

Foto saat pagi mendung dengan ISO dinaikan 1 stop.

Kalau bicara hasil, gua sendiri ga bisa bicara banyak karena bisa dibilang emang gua baru nyuci di dua lab berbeda. Pertama di Labrana dan kedua di Hungry For Film ini. Kalau keduanya dibandingkan menurut gua hasilnya ga beda jauh si.

Warnanya di siang hari cenderung merah. Sementara kalau situasi dengan cahaya yang kurang cenderung biru atau hijau. Kualitas gambarnya di dua lab itu sama aja.

Perlu diingat, hasil foto gua ga bisa jadi patokan kualitas labnya. Soalnya tahu sendirikan gua temasuk orang yang lama ngabisin frame dalam satu roll film. Jadi bisa aja kualitas filmnya udah menurun waktu di kamera.

Lama menghabiskan roll film

Dari awal punya kamera analog lagi, gua emang ga yang menggebu-gebu untuk selalu motret dengan kamera tersebut. Gua termasuk pemilih untuk objek foto. Sering mikir "ngapain ya gua foto ini?". 

Bukan karena sok profesional, tapi harga roll film itu Rp 50 ribu untuk Kodak Color Plus yang fresh (yang lebih mahal juga ada). Jadi ya gua cuma berusaha untuk bijak aja, ya gak.

Jalur LRT di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Kurang menggebunya gua untuk menyelesaikan 36 frame mungkin juga faktor kamera gua saat ini rangefinder bukan SLR kaya dulu. Terus hasil dari beberapa kali motret juga ga sebaik yang diharapkan.

Gua juga menganggap bermain kamera analog hanya sebuah wisata mesin waktu untuk mengenang kembali saat awal menganal fotografi. Dulu waktu belajar fotografi di Kaphac 32 gua pakai kamera analog untuk mengenal cara kerja kamera sampai ke proses develop filmnya.

Meski begitu, gua tetap bisa menemukan kesenangan lain dalam memotret dengan kamera analog saat ini. Salah satunya saat memotret orang yang gua kenal.

Ada hal sentimental saat gua melihat hasilnya. Mungkin karena potret itu dibuat beberapa waktu sebelum filmnya dicuci, makanya saat hasilnya jadi, gua bisa senyum-senyum sendiri karena kembali ingat ke persitiwa di foto tersebut.

Si Evi yang sekarang jadi pegiat kamera analog.

Satu yang belum kesampaian dalam dunia per-analog-an kali ini adalah nyuci roll film sendiri. Kaya waktu dulu di kampus, main air beraroma kimia. Hahaha...

Pengennya si tahun depan rencana itu jalan. Tapi pertama-tama kita ganti dulu kameranya ke SLR, biar nostalgianya lebih afdol.


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post