Halte Transjakarta Bundaran HI dirusak massa. |
Kamis, 8 Oktober 2020, hari puncak demontrasi menolak omnibus law UU Cipta Kerja itu pun tiba. Buruh, mahasiswa, dan kelompok lainnya turun ke jalan. Tujuan mereka hanya satu menyuarakan agar Undang-undang sapu jagat setebal 900-an halaman yang disahkan oleh DPR RI tiga hari sebelumnya dibatalkan.
Aksi unjuk rasa terjadi di sejumlah daerah. Di Jakarta massa bergerak sejak pagi. Ada yang menuju ke DPR RI, ada pula yang ke Istana Merdeka. Namun hingga sore dua gedung milik negara itu tidak bisa terlihat oleh para demonstran.
Yang ingin bersuara di depan Istana Merdeka tertahan di simpang Harmoni dan kawasan Patung Arjuna Wijaya atau yang dikenal dengan sebutan patung kuda. Pun begitu untuk mereka yang menuju gedung DPR RI, tertahan di bawah jalan layang Ladogi. Semuanya berhadapan dengan polisi yang telah berbaris rapi membawa tamengnya.
Upaya agar bisa sampai tujuan pun menemui jalan buntu. Kerusuhan pecah.
Halte Transjakarta Tosari dirusak massa. |
Massa di Harmoni bentrok. Hal sama terjadi dengan massa yang berada di kawasan patung kuda. Di DPR juga sempat dikabarkan terjadi friksi antara massa dengan aparat yang berjaga, namun tidak separah di Harmoni dengan kawasan patung kuda.
Batu, botol air minum dan gas air mata berterbangan di antara kerumunan massa. Amarah membuat massa melampiaskannya dengan merusak sejumlah fasilitas umum di sana. Massa bahkan membakar sejumlah fasilitas umum seperti pos polisi dan halte Transjakarta.
Gedung Kementerian ESDM yang berada di Jalan MH Thamrin bahkan menjadi sasaran amukan massa. Sejumlah kaca di gedung tersebut pecah.
Kerusuhan berlangsung hingga hari menjelang malam. Massa di Harmoni jadi yang paling lama dibubarkan.
Halte Transjakarta di Pasar Senen dan gedung bioskop di sampingnya terbakar. |
Kerusuhan yang berujung rusaknya fasilitas umum itu membuat warga mengutuk keras aksi tersebut. Tapi apa massa saat itu sepenuhnya salah?
Ga ada pembenaran untuk aksi perusakan fasilitas umum. Tindakan itu tetap melanggar hukum, pelakunya harus ditindak. Tapi bicara siapa yang salah, gua tetap tidak akan menyalahkan para pelaku atas tindakan mereka, melainkan anggota DPR.
Buat gua DPR adalah sumber dari semua kerusuhan yang terjadi. Biang keladi.
Pekerja membersihkan bagian halte Transjakarta Tosari yang dirusak massa. |
Alasan gua sederhana, mereka menciptakan kesempatan untuk massa turun ke jalan, yaitu dengan mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja. Padahal orang-orang yang disebut wakil rakyat itu tahu bahwa gelombang penolakan besar. Aksi massa pada 2019 cukup menggambarkan itu.
Gua juga yakin mereka paham bahwa unjuk rasa pasti akan berujung pada bentrokan. Karena tahun lalu pun seperti itu.
Kalaupun mereka berpikir positif tidak akan ada bentrokan, tapi setidaknya tetap saja akan ada unjuk rasa yang besar atas keputusan yang mereka buat. Unjuk rasa itu tentu akan membuat kerumunan massa yang sangat dihindarkan di tengah pandemi corona. Apa mereka memikirkan itu?
Sekali lagi buat gua kerusuhan yang terjadi pada 8 Oktober adalah kesalahan dari DPR. Kalau saja mereka tidak bertindak bodoh dengan mengesahkan omnibus law tentu unjuk rasa tidak terjadi. Fasilitas umum tidak akan ada yang dirusak.
Halte Transjakarta Tosari dirusak massa. |
Banyak yang menyebut mereka perusak fasilitas umum memang kelompok yang ingin buat onar saja dengan memanfaatkan momen protes omnibus law. Mungkin benar. Tapi tetap saja momen itu tercipta karena siapa? DPR.
Seandainya DPR tidak nafsu mengesahkan omnibus law apa mereka punya kesempatan melakukan itu?
Jadi kalau bicara siapa yang salah atas kerusuhan yang terjadi pada 8 Oktober 2020, jawabannya: DPR.
Mereka bertanggung jawab atas semua kerusakan yang ada di hari itu. Untuk amarah, untuk perihnya mata, untuk luka di tubuh dan hati.
Saya sebenarnya turut prihatin dengan terjadinya pecah anarkis
ReplyDeleteDan saya sendiri juga tak begitu paham dengan isi UU tersebut
Semoga saja ada jalan terbaik
Amin...
DeletePost a Comment
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.