Tanggal 1 - 4 April 2019 lalu, gua melakukan perjalanan ke Papua Barat. Pelancongan ini merupakan undangan dari lembaga swadaya masyarakat, Econusa.
Gua gak sendirian dalam perjalanan tersebut, ada Nita dari Tempo, Coni dari Kompas TV, Adry dari Trans 7, Jery dari Jakarta Post, dan Timo dari Jubi. Serta perwakilan Econusa yang mendampingi sepanjang perjalanan: Gina.
Tujuan kami datang ke Papua Barat untuk meliput hutan bakau yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni. Wilayah tersebut memiliki hutan bakau terluas di Papua Barat.
Perjalanan diawali dengan penerbangan Jakarta-Sorong dengan menggunakan pesawat Airbus A330 milik BatikAir. Dari sorong penerbangan dilanjutkan ke Teluk Bintuni dengan menumpang pesawat caravan milik SusiAir.
Di Teluk Bintuni kami bertemu pejabat setempat. Berdiskusi soal hutan bakau yang akan dijadikan ekowisata wilayah tersebut. Selain itu gua juga bertemu dengan kelompok mamah-mamah yang mengolah kepiting menjadi Tortila. Serta mengolah udang menjadi kudapan stik.
Petualangan hari pertama kami berakhir di penginapan sederhana yang tidak jauh dari pelabuhan. Selain jumlah penginapan yang tidak banyak, penginapan ini dipilih agar cepat sampai pelabuhan. Karena kami harus menyebrang ke Distrik Babo untuk melanjutkan perjalanan.
Ya, hari kedua kami di Papua Barat dihabiskan di Distrik Babo yang masih bagian dari Kabupaten Teluk Bintuni. Kami berangkat dengan menumpang kapal motor milik Dinas Perhubungan Kebupaten Teluk Bintuni.
Selama kurang lebih 2 jam pelayaran, mata kami disuguhkan dengan pemandangan hutan bakau yang menghiasi tepi laut. Benar-benar luas sekali.
“Kita ini kan salah satu mangrove terbaik di dunia, nomor 2. Terbesar di Indonesia, terbesar di Asia Tenggara, nomor 2 di dunia setelah hutan Amazon,” kata Kepala Bagian Administrasi Perekonomian Kabupaten Bintuni Nicolaus Lettungun saat bertemu di kantornya pada hari pertama perjalanan kami.
Pelayaran gua berhenti di pelabuhan Jeti, Babo. Dari sini rombongan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil jip merah. Mobil itu mengantarkan kami berkeliling Babo.
Seperti di Teluk Bintuni, di Babo kami juga bertemu pengrajin bakau. Ada yang menjadi penangkap kepiting bakau. Ada pula yang mengolah kepiting menjadi abon dan cendera mata.
Kami juga menyempatkan diri berkeliling hutan bakau dengan menggunakan perahu kecil dari Pelabuhan Jeti Kecil. Perahu itu mengantar kami hingga sore menjelang.
Sore itu pelabuhan Jeti Kecil ramai oleh anak-anak yang unjuk kebolehan melompat ke laut. Kegiatan ini menjadi rutinitas bagi anak-anak Babo.
“Memang seperti ini tiap sore. Kalau hari sabtu atau minggu lebih ramai lagi,” ujar Ahmad warga Babo yang juga asik melompat.
Di Babo kami bermalam di salah satu rumah warga. Kami tidak tinggal lama di sana. Hanya semalam, karena pagi sekali kami sudah harus meninggalkan Babo, untuk terbang menuju Manokwari.
Jika berdasar jadwal yang diberikan Econusa, seharusnya di Manokwari kami hanya transit sebentar untuk melanjutkan penerbangan ke Jakarta. Namun, karena tiket ke Jakarta yang didapat untuk Kamis, 9 April, maka itu hari ketiga ini kami gunakan untuk jalan-jalan.
Ini adalah kali pertama gua ke Manokwari. Kesan pertama gua untuk ibu kota Papua Barat tersebut: banyak gereja. Gak salah si kalau kota ini dijuluki Kota Injil.
Jika di dua tempat sebelumnya kami selalu bertanya soal listrik, di Manokwari pertanyaan ini tidak ada. Maklum listrik di sini sudah stabil. Berbeda dengan tempat sebelumnya yang masih mencampur listrik PLN dengan genset.
Jalan-jalan kami di Manokwari kami isi dengan menyambangi Pulau Mansinam. Di sana kami menanjak bukit untuk melihat patung Yesus yang memiliki tinggi keseluruhan 30 meter. Selain itu kami juga bermain di Pantai Syornabo.
Setelah dari Mansinam kami menuju ke Pantai Pasir Putih yang ada di Manokwari. Pantai itu begitu ramai pengunjung. Maklum hari itu memang sedang libur Isra Mi’raj.
Di pantai tersebut Nita dan Gina menyempatkan diri untuk berenang. Sedangkan gua dan lainnya memilih menikmati pantai dari kursi kayu yang disediakan pengelola pantai.
Kami baru kembali ke hotel saat sore hampir habis. Namun, ini bukan akhir dari perjalanan kami. Meski badan lelah, kami tetap saja punya tenaga untuk keluyuran pada malam hari.
Tidak sepanjang malam memang. Karena kami keluar sekadar untuk beli oleh-oleh abon gulung di Billly Bakery. Serta makan malam dengan nuansa akuarium di samping toko rotinya.
Perjalanan kami baru berakhir keesokannya. Pagi buta kami tinggalkan hotel menuju Bandara Rendani, Manokwari. Kembali menuju kebisingan ibu kota.
Sampai jumpa Papua Barat!
Post a Comment
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.