Tiga Puluh Menit Menentukan

Ilustrasi. 30 menit yang menentukan. (foto: Fachrul Irwinsyah)
Pada awalnya gua mau kasih judul 30 menit yang menegangkan, tapi setelah diingat lagi gimana suasana pas sidang kemarin, kata menegangkan kayanya kurang tepat. Karena hampir sepanjang sidang gua merasa santai, justru rasa tegang hadir sebelum pengumuman penguji sidang. Tapi pas gua tau siapa pengujinya, semua rasa tegang itu hilang. Dari tiga dosen penguji skripsi gua, dua orang penguji bukanlah dosen yang ribet. Mereka juga dikenal dosen yang selow dengan mahasiswanya alias bukan dosen "killer".

Gua juga diuntungkan dengan urutan kedua peserta sidang. Dengan begitu gua bisa belajar dari peserta yang pertama. Dari peserta pertama gua bisa tahu seperti apa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh setiap penguji. Maklumlah, sidang skripsi ini baru pertama kali gua jalani. Sepanjang gua kuliah di kampus tercinta belum pernah sekali pun gua melihat teman gua atau siapapun yang sidang skripsi. Gua hanya tahu situasi sidang dari cerita teman-teman gua dan foto-foto yang terpajang di media sosial.

Benar kata mereka, sidang skripsi di kampus tercinta jauh dari unsur seram. Selama lo buat skripsi itu sendiri alias ga plagiat, itu berarti lo aman. Dan hari itu, Jumat, 15 Agustus 2014 gua membuktikannya.

Berangkat dengan kemeja, celana panjang bahan, sepatu pantopel layaknya orang kerja dikantoran gua menuju kampus tercinta. Setelan yang sangat langka buat gua. Satu tujuan gua saat sampai di kampus adalah ruang 3B3, karena di sanalah skripsi gua berjudul “Makna Foto Berita Timnas Indonesia U19 di Kualifikasi Piala AFC U19 pada Headline Surat Kabar Bola” akan diuji.

Setelah sekitar satu jam menunggu di ruangan yang setiap menitnya menjadi semakin tegang itu, akhirnya para penguji gua datang. Mereka bertiga dengan satu notulen siap untuk menguji dan memutuskan berhak atau tidaknya 7 orang mahasiswa dan mahasiswi di ruangan tersebut menggunakan gelar S.Ikom di belakang nama mereka.

Giliran gua tiba, seusai 45 menit peserta pertama diuji. Belum sempat duduk, sebuah celetukan keluar dari ketua sidang yang sekaligus dosen pembimbing gua, “jangan sok ganteng lo”. Seisi ruangan pun tertawa, dan gua Cuma bisa tersenyum nyinyir. Yah itulah, kalimat yang membuat gua santai bersidang. Gua tahu doi karakternya memang begitu. Santai, doyan becanda, dan terbilang dekat dengan mahasiswa. Karena itu juga, gua gak mau ngulang skripsi gua. Belum tentu kan nanti gua dapat ama dia lagi. Kalo dipindahin ke dosen yang nyebelin kan jadi makin males gua.

Sebagai ketua sidang, dosen pembimbing gua punya kesempatan pertama untuk bertanya. Seperti yang udah diceritain teman-teman gua, ia lebih melihat skripsi dari latar belakangnya. Berbagai pertanyaan tentang latar belakang penilitian pun ia ajukan. Gua jawab semua yang gua tahu, sampai akhirnya ia bertanya pada satu halaman.

“coba lo liat halaman 69”, tanyanya. Selagi gua sibuk mencari halaman yang dimaksud, ia bertanya, “kalo mendengar 69 (baca: enam sembilan) apa yang ada dipikiran lo?”.

Anjir, pertanyaan menjebak nih! (gua ngomong dalam hati). Angka 69 buat yang sering nonton atau baca cerita dewasa mungkin sudah familiar, tapi apa mungkin itu yang dimaksud? Gua pun mencoba mencari jawaban lain. Gua ingat ada satu pebalap moto gp yang menggunkan nomor 69 yaitu Nicky Hayden, dan akhirnya gua jawab dengan seperti itu. “itu nomornya Nicky Hayden, Pak. Pebalap moto GP”.

Ternyata dosen gua belum puas dengan jawaban gua, “selain itu?” tanya dosen gua lagi. Merasa terdesak akhirnya gua pun menjawab, “itu kaya yang ada di kamasutra”. Anjir kesebut juga tuh yang ada dipikiran gua pertama kali.

“Wah, apaan tuh. Itu ada di kamasutra yang nomor berapa? Lo punya?”, ucap dosen gua setelah mendengar jawaban gua. Gua pikir pertanyaan tentang 69 udah selesai, ternyata dia masih bertanya, “selain itu”. Anjir gua benar-benar gak tau lagi mau jawab apa. Gua pun menyerah, “gak tau lagi, pak.”

Setelah gua nyerah, penguji gua berbisik ke penguji yang lain katanya gua kurang nasionalis, akhirnya gua ingat sesuatu yang berkaitan dengan angka 69. “Ulang tahun Indonesia, Pak”, jawab gua disela bisikan mereka. Gua baru ingat kalo dua hari lagi Indonesia bakal ulang tahun ke-69. Gua tahu usia itu dari desain logo yang dilombain KDRI yang sempat gua lihat di twitter.

“Nah, itu baru benar. Lo malah bawa-bawa kamasutra.” Ungkap dosen gua mengiyakan jawaban gua.
Tanya jawab dengan dosen yang sering menaruh kacamata di ujung hidung itu pun berlanjut. Ia menyarankan jumlah eksemplar penjualan media yang gua teliti yang ada di halaman 69, sebaiknya dicantumkan di latar belakang juga. Karena itu berarti media gua memiliki pembaca yang banyak dan berpengaruh ke orang lain. Itu juga menguatkan alasan gua memilih media tersebut.

Selesai dengan penguji pertama, mata gua beralih ke sebelah kiri. Penguji gua kedua ini ialah seorang dosen senior. Gua bilang senior karena memang usianya sudah tua, bahkan lebih tua dari penguji pertama. Gua sempat merasakan diajar sama dia, tapi gua lupa nama mata kuliahnya apa. Dari situ gua tahu kalo dia merupakan dosen yang ‘kolot’. Ada beberapa aturannya yang kurang s’rek sama gua, salah satunya adalah soal pakaian atau penampilan. Dosen yang perawakannya mirip magneto dalam film X-Man ini pernah menegur mahasiswa karena menggunakan gelang yang terbuat dari benang. Parahnya, hal tersebut berpengaruh ke nilai. Parah!

Pengalaman itulah menjadi alasan gua memilih menggunakan kemeja lengan panjang untuk menutupi gelang yang sering gua pakai. Yah daripada nanti jadi pembicaraan dan berpengaruh ke nilai gua.

Dosen yang satu ini lebih banyak bertanya soal akademik. Maksudnya pengertian dari istilah-istilah yang ada di skripsi gua. Missal, apa itu makna konotatif dan denotatif. Pertanyaan yang menurut gua adalah pertanyaan hafalan. Maklum sejak pertama mengenal kualitatif dan metode semiotika istilah seperti itu sudah sangat sering gua dengan dan paham. Jadi mudah buat menjawabnya. Meskipun, ada beberapa pertanyaan juga yang gak bisa gua jawab. Untungnya lagi gak banyak istilah dalam penelitian kualitatif semiotika ini dan menurut gua gak serumit pertanyaan buat yang ngambil kuantitatif. Yaiyalah, secara gua gak memahami penelitian itu.

Gua dapat beberapa catatan dari penguji kedua gua itu, yaitu perihal saran dan daftar pustaka. Saran menurutnya ada yang gak perlu dicantumkan dan sebaiknya dihapus. Lalu untuk daftar pustaka, ia melihat ada beberapa kutipan yang gua pakai tapi gak ada di daftar pustaka. Ia menyarankan untuk menghapusnya. Tapi gua bilang gua akan mengecek kembali, karena seingat gua semua kutipan yang bukunya gak gua temukan, sudah gua hapus sebelum penggandaan.

Selanjutnya dan yang terakhir adalah dosen yang paling hatam dengan dunia komunikasi. Dua mata kuliah berkaitan dengan ilmu komunikasi dia yang mengajar. Dosen yang menjelaskan bahwa ilmu komunikasi adalah usaha manusia menyampaikan isi pernyataan ke manusia lainnya. Untuk anak yang sekampus ama gua pasti tahu siapa dia.

Uniknya dosen penguji gua yang satu ini terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan diluar dari materi skripsi. Pertanyaan seperti apa itu ilmu komunikasi, jenis media, dan pertanyaan lainnya yang diajarin saat semester 1 atau 2 ditanyakan kembali. Kalo kita gak bisa jawab rasanya tuh seperti orang yang bodoh bangat dan seakan belum layak buat lulus. Gua bahkan menyempatkan diri searching untuk bisa menjawab pertanyaan “dasar” itu.

Tapi senangnya gua sama penguji satu ini ialah, gak ada revisian. Satu-satunya yang dia koreksi adalah foto sampel gua yang gak berwarna. Padahal dalam meneliti foto ada yang namanya estetisme yang salah satu pembahasannya ialah soal warna dalam foto. Cuma draft skripsi yang di gua doang yang ada warnanya, maklum yang di gua itu asli. Selebihnya gak ada. Kita malah sempat ngebahas soal prestasi Timnas U19 yang kalah telak di Brunei Darussalam.

Seusai sidang gua masih harus menunggu peserta terakhir selesai untuk mendengar hasil sidangnya. Gua memilih untuk menunggu di luar. Karena jujur aja ada di dalam ruang sidang itu gak menyenangkan buat gua. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang bisa berpengaruh sama penilaian lebih baik gua keluar.

Pengumuman

Waktu yang paling dinanti pun tiba. Lima mahasiswi dan dua mahasiswa berbaris di depan sebuah meja berhias kain hijau. Ada yang menunduk, ada pula yang mengepalkan tangannya seraya berdoa. Dari sela jendela matahari genit mengintip seakan ingin ikut mendengarkan.

Semua telinga tertuju pada ucapan seorang lelaki berkacamata, “yah, kalian bertujuh dinyatakan lulus.”
Sorak gembira dan ucapan syukur pun mengalir dari seisi ruang. Mengekor ucapan lelaki yang menutup pernyataannya dengan ketukan palu.

Sesaat kami tak peduli dengan nilai dari hasil skripsi kami. Saat itu juga kami tak peduli seberapa banyak revisi yang harus kami kerjakan selanjutnya. Karena saat itu kata “lulus” menjadi penghapus lelah kami selama berbulan-bulan mengerjakan karya yang ilmiah ini.

Selama berbulan-bulan itu juga entah sudah berapa rupiah yang harus kami keluarkan. Entah berapa keringat yang mengucur. Entah berapa banyak malam yang majadi saksi mata yang terjaga dan suara ketukan jari-jari kami. Entah berapa banyak pula umpatan yang kami keluarkan saat harus merevisi skripsi kami, atau untuk rasa kesal karena dimarahi saat bimbingan.

Empat tahun kuliah, ditentukan pada satu semester, dalam sidang berdurasi 30 menit untuk menyamatkan sebuah gelar di belakang nama kami. Menjadi sarjana.

“Sore itu, bersama senja yang mulai tenggelam kami tinggalkan predikat agung sebagai mahasiswa dan siap untuk menyambut hari yang baru.”

Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post