Menikmati Istimewa Jogja #2 (foto: Fachrul Irwinsyah). |
Mampir ke Wayang Ledjar
Tidur nyenyak mulai terusik ketika suara kelakar dan gosip dari tetangga begitu menggema di telinga gua. Mimpi-mimpi indah gua pun buyar seiring mata yang mulai terbuka. Hoam… ternyata hari sudah pagi.
Oke, apa agenda kita hari ini? selain mandi dan tentunya sarapan.
Bicara soal sarapan, ada kejadian unik atau lebih tepatnya aneh. Jadi begini, tempat penginapan gua itu berada di dalam rumah, tapi entah bagaimana ada tukang nasi yang datang menghampiri kamar kami. Nah loh! Kejadian ini ngingetin gua ama cerita tukang nasi uduk di Gunung Gede, Jawa Barat. Kalo di gunung masih wajar karena tempat terbuka, lah ini di dalam rumah. Gua jadi ngeri nih rumah bisa sembarangan orang masuk. Ya meskipun, buat orang-orang malas kaya gua dan teman-teman gua ini situasi seperti ini menguntungkan. Karena gua berarti gak perlu repot buat nyari makan. Hahaha…
Usai sarapan dan mandi, kami mendata kembali tempat-tempat yang kami akan datangi. Hasil rundingan memutuskan kami akan mengawali perjalaanan hari ini dengan mampir ke sebuah tempat pembuatan wayang. Informasi yang kami dapat dari pemilik penginapan, di dekat penginapan kami ada tempat pembuatan wayang, namanya Wayang Ledjar. Tempat tersebut milik Pak Ledjar yang namanya telah dikenal di masyarakat Jogja, bahkan sampai ke luar negeri. Menurutnya, Pak Ledjar orang yang ramah dan untuk saat ini ia sedang berada di Jogja, jadi kami bisa ngobrol langsung dengan beliau sekaligus motret.
Jadilah kami berangkat ke Wayang Ledjar. Benar kata si Ibu, tempatnya memang tak jauh, sekitar 5 menit jalan kaki kami sampai di sebuah kios kecil bercat hijau. Di balik sebuah kaca besar beberapa wayang tersusun begitu rapih. Wayang Ledjar, begitulah tulisan yang terdapat di kaca tersebut. Yah, kami sampai di tempat yang dimaksud si Ibu penginapan.
Kedatangan kami disambut oleh PakLedjar yang saat itu sedang membuat sebuah wayang. Karena tempatnya yang kecil gua memilih untuk tidak ikut masuk atau motret pembuatan wayang di sana. Gua cukup menanti di luar saja sambil nikmatin langit mendung kota Jogja saat itu.
Usai motret dan pamitan dengan Pak Ledjar, kami melipir ke sebuah angkringan yang terletak tak jauh dari Wayang Ledjar. Di sana Abay dan Keti cerita soal Wayang Ledjar yang baru aja mereka potret. Kata mereka, Pak Ledjar ternyata bukan hanya pemilik Wayang Ledjar, tapi beliau juga pembuat sekaligus dalang dari wayang yang terkenal dengan sebutan wayang kancil tersebut. Wayang Ledjar memang terkenal dengan wayang kancil, hal itu dikarenakan lakon yang sering mereka mainkan adalah kisah si kancil. Ada juga yang nyebut wayang hewan, karena tokoh-tokoh wayang jenis wayang kulit ini lebih banyak berbentuk hewan. Meski begitu Pak Ledjar juga pernah memainkan kisah-kisah sejarah perjuangan Indonesia. Beberapa tokoh penting negeri ini juga pernah ia buat dalam bentuk wayang, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta.
Abay dan Keti juga ngasih tahu, kalo kita beruntung datang sekarang. Karena beberapa bulan lagi Pak Ledjar akan pergi ke Belanda untuk mengadakan sebuah pagelaran. Pak Ledjar dan wayangnya memang sudah terkenal di luar negeri. Berbagai media luar pun sempat meliputnya. Abay bahkan menunjukan foto-foto klipingan koran yang meliput Pak Ledjar.
“Tuh ngerti gak lo tulisannya? Gua aja bingung bacanya,” ungkap abay sambil menunjukan foto-fotonya.
Lagi asyik mendengar cerita mereka dan liat foto-fotonya, tiba-tiba aja perut gua ngalamin korsleting. Sebuah panggilan darurat untuk kembali ke markas. Hahaha…
Dari Keraton, Pembuatan Batik sampai Pemandian Para Raja
Usai mejalankan panggilan alam, gua dikagetkan dengan kehadiran teman-teman gua yang semuanya sudah ada di penginapan. Dan ternyata mereka semua mengalami hal yang sama seperti yang terjadi dengan perut gua. Ah itu berarti ada yang salah dengan yang kami makan pagi tadi.
Setalah selasai dengan masalah perut kami, kami pun berbenah dan menyiapkan segala peralatan untuk melanjutkan perjalanan kami. Keluar dari “gubuk derita” kami melangkahkan kaki menuju 0 km sambil melihat kegiatan warga Jogja sepanjang jalan legendaris, Malioboro. Sebenarnya tujuan kami bukan hanya 0 km, tapi untuk datang ke Kraton.
Kami memilih untuk berjalan kaki agar bisa merekam setiap momen yang kami temui di sepanjang jalan kami. Meskipun sebenarnya ini demi hemat bajet juga sih.
Aktifitas ekonomi menjadi pemandangan sepanjang perjalanan kami. Maklum, Malioboro adalah kawasan yang banyak menjual pernik oleh-oleh dan juga terdapat beberapa pasar tradisional di sana. Kami juga tak jarang bertemu dengan beberapa turis asing yang sedang menikmati Jogja seperti halnya kami.
Cukup jauh kaki kami melangkah untuk bisa sampai di Kraton. Hingga membuat kami tiba dengan telat. Kami sampai ketika jam kunjungan Kraton telah habis. Meskipun sempat masuk ke dalam wilayah Kraton, tapi jujur gua belum merasa puas.
Karena tidak bisa berlama-lama di Kraton, Keti sebagai penuntu destinasi memilih untuk hijrah ke pembuatan batik. Kali ini kami tidak berjalan kaki. Keti menawarkan untuk menggunakan becak. Si abang becak nantinya akan mengantarkan kita ke tempat pembuatan batik dan tampat pemandian raja (gua lupa dah namanya). Sebuah tawaran yang menarikkan.
Kami menaiki dua becak, becak pertama diisi Keti dan Abay, sedang gua harus berbagi kursi dengan Aduy. Belum sampai kami di tempat pembuatan batik kami mendapatkan masalah. Becak yang ditumpangi Abay dan Keti mengalami bocor ban. Hal ini membuat kami harus berpindah. Tapi beruntung kami gak perlu nunggu lama untuk mendapatkan becak pengganti. Lalu kami pun tiba di tempat pembuatan batik.
Sebenarnya ini adalah sebuah toko penjualan batik. Tapi tampat ini menyediakan tampat khusus dimana pengunjung atau pembeli dapat melihat pembuatan batik yang di jual di took ini. dengan biaya tertentu pengunjung tidak hanya bisa melihat pembuatan batik, tapi juga dapat mencoba membuat batik. Nantinya pengunjung yang mau belajar membatik akan diberikan secarik kertas ukuran sapu tangan yang dapat mereka pola. Dari pola yang dibuat pengunjung itulah nantinya akan dilanjutkan ketahap pelilinan dan seterusnya hingga menjadi sebuah batik. Karya tersebut juga dapat dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Puas memotret pembuatan batik, kami melanjutkan perjalanan kami dengan becak yang barumenuju tempat pemandian para raja. Lagi-lagi kami kurang beruntung. Karena terlalu lama di tempat pembuatan batik, kami kesorean sampai di tempat pemandian para raja. Kami pun harus puas hanya bisa melihat dari balik pintu gerbang dan mendengar cerita dari keti yang pernah masuk ke dalam sana.
Tak mau perjalanan kami sia-sia, kami pun beralih menjumpai bangunan tua yang lokasinya tak jauh dari pemandian para raja. Bangunan tua itu adalah sebuah masjid berbentuk lingkaran yang kini tak lagi dipakai. Menurut seorang ‘turget’ dulunya bangunan ini dipakai untuk sholat. Bentk safnya melingkar mengikuti bentuk bangunannya. Dibawah tangga meuju lantai dua terdapat sebuah sumur yang dulunya dipakai untuk mengambil wudhu. Tapi sumur itu sudah lama ditutup demi kamanan pengunjung. Meskipun terlihat seperti bangunan yang tidak terawat dan terkesan seram, tapi bangunan ini merupakan tempat wisata. Hanya saja belum dikelola dengan baik menurut gua.
Matahari semakin menenggelamkan wujudnya. Warna oranya menjadi begitu dominan dilangit sore itu. Sebuah tanda bahwa hari sudah akan habis dan langin akan menggelap. Satu alasan pasti bagi kami untuk segera meninggalkan bangunan tua ini.
Perempuan-perempuan di Jalan Kami
Kami berjalan menuju jalan raya untuk kembali ke penginapan. Kami sempat kebingungan dimana lokasi kami saat itu. Maklum saja, kami memilih keluar dari pintu yang berbeda dari saat kami masuk tadi. Setalah coba mencari tahu dari GPS dan Google Map, kami sadar kalau lokasi kami cukup jauh dari penginapan. Hmm…
Tapi bukan kami namanya kalau memilih untuk naik becak atau angkutan lainnya. Dengan semangat ‘turis’ layaknya para bule, kami pun kembali dengan berjalan kaki. Tapi kali ini kami gak Cuma berempat. Entah mengapa ada dua cewek yang memilih ikut berjalan kaki bersama kami. Padahal kami sudah beritahu kalau jaraknya ke Malioboro itu jauh, lebih baik menggunakan becak.
Di tengah perjalanan ternyata dua cewek itu hilang! Mereka diculik? Tidak.. tidak… katanya mereka akan dijemput oleh temannya di suatu tempat. Meskipun, kata aduy mereka memilih untuk naik becak. Yah, siapa peduli. Hahaha…
Gua sampai kembali di 0 km. Harus diakui itu adalah perjalanan yang cukup jauh dan cukup membuat betis kaki ini mengencang.
Menjelang sore 0 km semakin rame. Ditambah lagi dengan adanya acara yang digelar oleh Bank BNI yang terletak di sebarang 0 km. semakin ramelah lokasi itu.
Bank BNI yang merayakan ultah-nya akan mengadakan arakan dengan menggunakan kereta kuda layaknya kerajaan. Kejadian unik terjadi ketika kami sedang memotret kereta kuda yang akan digunakan dalam acara tersebut.
Tepatnya terjadi oleh si keti. Doi yang iseng memotret seorang perempuan ternyata justru didekati oleh si perempuan tersebut. Perempuan asal kore ini bergaya bak model saat dibidik oleh keti. Melihat hal itu, keti pun mencoba membuka pembicaraan dalam bahasa Inggris. Sebuah pembuktiaan bagaimana jebolan pulau pare berbahasa asing.
Gua, Abay dan Aduy Cuma nyengir-nyengir dan berteriak “mampus... rasain lo” dalam hati melihat mereka berdua berbicara. Sialnya bagi keti bule yang satu ini berasal dari Korea dan ia pun tidak begitu fasih dalam berbahasa inggris. Makin senang gua meledeknya. Hahaha…
Kami sempat berjalan bersama si bule menyusuri jalan Malioboro. Sebelum akhirnya hujan membuat langkah kami terhenti dan berpisah setelah meneduh sebentar di pinggir jalan.
Sebelum berpisah si bule sempat bercerita, kalo ia pergi sendiri atau solo traveler. Ia sengaja mengambil cuti panjang dari pekerjaannya hanya untuk berjalan-jalan mengunjungi beberapa negara. Indonesia menjadi bagian dalam list perjalanannya dan jogja bukanlah kota terakhir yang ia kunjungi di Indonesia. Karena ia juga berniat akan mengunjungi beberapa kota lainnya di Indonesia.
Mendengar ceritanya yang sudah mengunjungi beberpa tempat di Indonesia membuat gua semakin ingin berkeliling Indonesia. Sedikit iri dengan mereka para ekspatriat yang sudah lebih dulu bisa berkeliling Indonesia dan menikmati keindahannya. Bahkan sampai mengambil cuti panjang hanya untuk bisa merasakan negeri ibu pertiwi ini.
Hujan mulai berhenti seiring dengan langkah si bule yang semakin menjauh. Kami pun tak bisa terus berteduh di depan toko itu. Kaki kami kembali melangkah menuju penginapan kami. Belum sampai kami di penginapan, tiba-tiba hujan kembali deras.
Sebenarnya lokasi kami sudah hampir dekat dengan penginapan. Tapi karena hujannya sangat deras dan peralatan elektronik kami tidak terbungkus dengan plastik, kami pun memilih untuk berteduh. Selagi menikmati turunnya air langit yang mengalir membasahi tembok, atap dan semua yang tak terteduh, kami mencoba menghubungi tim mobil.
Mereka mengkonfirmasi akan menjemput kami nanti malam sekalian mencari makan malam. Titik pertemuan pun ditentukan di angkringan yang malam lalu jadi tempat kami makan. Semua oke dan kami siap untuk pertemuan itu.
Hujan seakan masih enggan berhenti. Ia semakin lama justru semakin kencang seperti suara perut kami yang belum terisi dari siang tadi. Kami pun melipir sedikit ke tukang nasi goring di dekat tempat kami berteduh. Di sana kami makan sekaligus menyiapkan rencana untuk cabut nanti malam.
Deras hujan mulai berhenti berganti dengan rintiknya yang begitu lembut. Seiring sore yang berganti dengan malam. Awan hitam pun pergi meninggalkan langit yang kini gelap. Sebuah kondisi yang membuat kami bergegas menuju penginapan untuk berbenah dan bertemu dengan Tim Mobil.
Bertemu dengan Tim Mobil
Setelah berbenah dan mengurus administrasi, kami pun melangkah meninggalkan penginapan. Dengan tas yang terisi penuh, kami kembali melangkah menyusuri ramai malam Malioboro. Menuju angkringan dimana kami akan bertemu dengan mereka, Tim Mobil.
Kami memilih angkringan yang sama dengan malam sebelumnya. Tapi dengan tempat duduk yang berbeda. Kali ini kami memilih untuk duduk di bawah tenda dekat si penjual. Antisipasi kalau tiba-tiba hujan kembali datang seperti sore tadi.
Kami mendapat kabar tim mobil sudah sampai di lokasi kami, hanya saja masih bingung dengan angkringan tempat kami berada. Maklum, sepanjang jalan ini isinya ya angkringan semua. Setelah berkordinasi dengan Aduy akhirnya mereka tiba.
Seorang cowok berkepala botak, seorang perempuan berbadan gendut, dan si gadis bertubuh mungil berjalan bersama mendekati kami. Yap itulah mereka! Cahyo, Ika dan Rara. Trio yang selama ini sering gua sebut Tim Mobil.
Setelah berbagi cerita tentang hari yang kami lalui dan berbagi makanan yang kami pesan malam itu, kami pun berpindah tempat menuju rumah mbah-nya Ika. Kali ini kami tidak lagi berjalan kaki, kami akan menumpang Inova milik Cahyo. Bersama mereka Ika, Cahyo dan Rara juga roda empat ini, kami akan menyusuri Jogja lebih jauh. Lebih dari jarak yang bisa ditempuh oleh kaki ini.
Post a Comment
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.