Citrapata, Lembaran Kehidupan Baru Kaphac 32

Suasana pameran foto Citrapata di ruang V-2 IISIP Jakarta.

Dua ekor ulat menggeliat di antara benang-benang kepompong. Keterangan tanggal, waktu serta tempat tampil di sisi kanan dan kirinya. Pada bagian atas tersemat tulisan dengan ukuran paling besar: Citrapata.

Penggambaran di atas adalah undangan yang dikirim oleh pengurus Kapahac 32 melalui aplikasi pesan. Lebih tepatnya undangan pameran Calon Anggota (Caang) Kaphac 32 angkatan XX. Judul pamerannya tentu saja yang tertulis paling besar di undangan: Citrapata. Sedangkan lokasinya tetap di dalam kampus tercinta IISIP Jakarta, hanya saja kali ini menggunakan Ruang V-2. Ruangan yang (seingat dan sepengetahuan gua) baru pertama digunakan untuk pameran Kaphac 32.

Kesan pertama tentu saja “wah!”. Mereka berhasil menyulap ruangan yang tiap Jumat dijadikan tempat Salat Jumat itu menjadi “galeri” sementara. Demi menghasilkan hal tersebut mereka rela merogoh kocek lebih dalam untuk menyewa papan partisi beserta lampunya. Di papan berkarpet hitam itulah karya mereka terpajang.

Diterangi remang lampu partisi, 88 foto lengkap dengan caption dan 12 narasi menghiasi bagian tengah Ruang V-2. Foto-foto itu merupakan rangkaian dari cerita yang disajikan oleh setiap Caang. Total ada 12 cerita di sana, sama dengan jumlah fotografernya.

Abay melihat foto dalam Pameran foto Citrapata di ruang V-2 IISIP Jakarta.

Ceritanya beragam. Ada yang mengangkat tentang kehidupan di Rusun Tanah Pasir. Rangkaian foto aktivitas di rusun mati yang difoto Siti Handayani tersebut bersanding dengan foto milik Irma Risqiana Mufti. Irma mengangkat kisah hidup anak perempuan bernama Rani yang harus membagi waktu antara sekolah dengan pekerjaannya sebagai pemulung. Di dinding belakangnya cerita “Bemo Pintar Pak Kinong” karya Dhika Agus, bertetangga dengan karya Yuli Dwi Haryati “Perjuangan Mama Ara yang Pantang Menyerah”. Masih dari dunia pendidikan, di dinding seberang Anjar Mahardhika menghadirkan kisah Rivan yang menuntut ilmu di tengah gangguan pervasif yang ia miliki.

Selain pendidikan, ada juga yang mengangkat dunia hiburan dalam pameran kali ini. Mereka adalah Feronika yang menunjukan eksistensi piringan hitam, Bagus Satrio dengan hiburan biliar di bawah jalan tol, dan Fauziah Mutiara yang kisahkan Wayang Orang Bharata. Masih di dinding yang sama, 4 orang pameris lainnya memajang proses pembuatan pernik budaya.  Mereka adalah Thereis Love, Yudi Julianto, Feri Ardiansyah dan Muhammad Alfian.

Thereis menceritakan proses pembuatan lilin yang biasa digunakan di klenteng. Cerita bernuansa imlek juga dihadirkan oleh Yudi dengan foto-foto pembuatan barongsai dalam pameran ini. Sedangkan Alfian menunjukan budaya khas Jakarta, Batik Betawi. Terakhir, Feri melalui fotonya (yang menjadi poster undangan) memperlihatkan bagaimana “kejamnya” manusia yang memutus metamorfosis ulat, dan mengubahnya menjadi kain indah bernama: sutra.

Foto ulat sutra yang dijadikan poster dan undangan dalam pameran foto Citrapata di ruang V-2 IISIP Jakarta.

***
Eksistensi adalah salah satu alasan seorang seniman menggelar sebuah pameran. Melalui itu ia bisa menunjukan kualitas dirinya. Hal yang sama dilakukan oleh Caang Kaphac 32. Melalui pamerannya tersebut mereka menunjukan hasil pendidikan dasar fotografi yang mereka dapatkan sejak awal bergabung dengan klub foto tersebut.

Sekadar mengingatkan di Kaphac para calon anggota akan mendapatkan pendidikan dasar fotografi selama 6 sampai 9 bulan. Lamanya pendidikan memang tentatif, menyesuaikan daya tagkap dan kecakapan dari calon anggota. Selama pendidikan mereka akan diberikan teknik dasar fotografi seperti pegenalan kamera, pencahayaan dan komposisi, yang seluruhnya terjabar dalam “23 teknik dasar” ala Kaphac 32.

Setelah memahami teknik dasar fotografi, barulah para calon anggota menyiapkan sebuah pameran. Saat itu masing-masing caang akan mempresentasikan ide mereka. Dalam tahap ini diskusi tak lagi membahas teknik dasar, melainkan visualisasi dari ide mereka tersebut. Ibarat perkuliahan, pameran ini menjadi semacam ujian skripsi. Karya mereka tak lagi menjadi konsumsi pribadi ataupun hanya dalam lingkup Kaphac 32, tapi juga mencuri atensi dan apresiasi publik. Entah baik ataupun buruk.
Ana melihat foto dalam pameran foto Citrapata di ruang V-2 IISIP Jakarta.

Proses pembuatan pameran juga menjadi ujian sikap untuk para Caang. Di sana akan terlihat bagaimana mereka berkoordinasi baik ke sesama angkatan, ke angkatan yang berbeda ataupun pihak di luar Kaphac 32? Bagaimana mereka mengatur ego untuk mencapai tujuan yang sama? Bagaimana mereka membagi uang mereka agar acara tetap berjalan? Dan bagaimana mereka membagi waktu supaya tak kehilangan banyak hal?

Pertanyaan-pertanyaan di atas bermuara pada satu kata: organisasi. Yap, dalam pameran yang berlangsung selama seminggu itu ada peng-organisasi-an. Semua yang terjadi dalam proses itu akan menjadi bekal mereka saat menjadi pengurus Kaphac 32. Hal ini penting, karena merekalah yang selanjutnya menuliskan perjalanan klub yang sudah berdiri dari tahun 1996 ini. Layaknya Citrapata yang dalam prolog pameran mereka diartikan sebagai “lembaran kehidupan”, mereka telah memberikan lembaran kehidupan baru, dan semoga dalam lembaran-lembaran itu tersemat karya-karya indah mereka bersama Kaphac 32.

Divisi Pendidikan Kaphac 32 Alfian (tengah) foto bersama 12 Caang XX Kaphac 32 saat penutupan pameran foto Citrapata. 


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post