Wekas, Jalan Terjal ke Puncak Merbabu #2

Merbabu via Wekas
Pemandangan di Gunung Merbabu. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Pagi Berkabut

Kata orang udara tidak terasa dingin kalau malam hujan, tapi ternyata meski malam ditimpa hujan deras, pagi tetap saja terasa dingin buat gua yang berbadan tipis ini. Di tengah udara yang dingin, kami sibuk menyiapkan barang yang akan kami bawa ke puncak.

Pagi itu hujan memang tidak datang, hanya kabut tipis yang turun menutupi camping ground Pos 2 tempat tenda kami berdiri. Hal itu membuat gua memutuskan untuk ikut ke puncak. Barang yang gua bawa pun sangat minimalis. Sebuah tas kamera selempang yang berisi kamera DSLR dengan 2 lensa, 2 buah HP (satu punya Indah) dan dompet. Gua sengaja membawa HP dan dompet karena tidak ada yang akan tinggal di tenda. Kami akan summit ber-14 alias semuanya.

Merbabu via Wekas
Salahsatu pemandangan di Gunung merbabu saat kabut datang dan menutupi langit. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Di awal memang ada usulan untuk ada yang tinggal di tenda. Tapi akhirnya diputuskan semua ikut mendaki ke puncak dan tenda kami titipkan kepada pendaki yang camp di sekitar tenda kami. Sambil berdoa agar saat kami kembali tenda dan barang-barang di dalamnya masih utuh.

Perbekalan telah masuk ke dalam tas yang dibawa Haphap, Iqbal dan Acob. Bekal yang kami bawa adalah makanan ringan, buah, dan bahan makanan yang bisa di masak di puncak untuk mengisi perut nanti. Juga terpenting: air. Karena perjalanan ke puncak lebih panjang dibanding ke Pos 2.

Soal air kami tak perlu khawatir karena Pos 2 memiliki pancuran air yang bisa kami manfaatkan. Keberadaan air ini jugalah yang menjadi alasan kami bermalam di Pos ini dan memilih Wekas sebagai jalur pendakian kami.

Mendaki ke Puncak

Dalam dingin udara pagi, kami berdiri membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar. Sambil menahan tubuh yang bergetar karena dingin dan sesekali memainkan nafas yang berbentuk seperti asap saat keluar dari mulut, gua hikmat mendengarkan Iqbal yang memimpin doa untuk pendakian hari itu. Wejangannya menjadi pengantar langkah kami ke puncak Merbabu dan tos menjadi penanda kami berangkat.

“Bang titip (tenda) ya bang,” ujar salahsatu dari kami ke pendaki lain sebelum meninggalkan tenda pagi itu.

Merbabu via Wekas
Trek awal pendakian ke puncak Merbabu. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Kami berjalan memasuki hutan ditemani kabut yang belum mau pergi dari pendakian kami. Trek pertama berupa jalan tanah setapak dan bebatuan dengan pepohonan yang rapat mengapit jalan. Di kanan-kiri banyak ranting-ranting pohon yang tumbang. Landai terasa pada awal perjalanan, namun tak lama kontur tanah mulai menanjak hingga akhirnya kami tiba di Pos Watu Kumpul.

Butuh waktu 1 jam bagi gua untuk sampai di pos yang memiliki ketinggian 2753 mdpl tersebut. Di pos ini kita bisa melihat bunga edelwise. Kami beruntung karena kabut menghilang saat kami tiba di pos ini, sehingga bisa melihat pemandangan bukit hijau berlatar langit yang biru. Kondisi yang pas untuk berfotoria, dan menjadi alasan kenapa kami berhenti cukup lama di pos ini.

Merbabu via Wekas
Pemandangan di Pos Watu Kumpul saat kabut belum datang. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Sekitar pukul 9 kami kembali melanjutkan perjalanan kami. Selama 30 menit mendaki kami tiba di pertigaan yang menjadi batas kabupaten. Pertigaan ini juga menjadi persimpangan yang mempertemukan pendaki dari jalur Kopeng Chuntel maupun Thekelan. Dari sini juga kita bisa melihat Pos Pemancar yang menjadi titik temu kedua jalur Kopeng tersebut.

Kami tak berhenti lama di pos tersebut. Selain karena baru beristirahat, kabut yang turun juga membuat kami enggan untuk berfoto. Dari batas perbatasan trek di dominasi oleh bebatuan dan vegetasi yang terbuka. Hal itu membuat perjalanan jadi lebih mengasyikan karena kita bisa melihat pemadangan bukit-bukit yang hijau nan indah. Kita juga bisa melihat jalur Selo yang dilalui pendaki. Namun, keindahan itu harus dibatasi oleh kabut yang seakan menjadi tirai yang membuka dan menutup keindahan tersebut. Mejadikan mahal pemandangan indah itu.

Merbabu via Wekas
Trek yang beragam setelah Pos Watu Tulis. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Kaki ini terus melangkah melewati Pos Helipad, jalur lahar, meyebrangi jurang, hingga akhirnya berhenti cukup lama di pertigaan kedua. Pertigaan yang dimaksud adalah pemisah antara jalur ke Puncak Syarif dan jalur ke Puncak Kenteng Songo. Jika ingin ke Puncak Syarif kita bisa memilih jalur ke arah kiri, sedangkan untuk ke Kenteng Songo jalur kanan menjadi pilihannya.

Kami memilih jalur ke kanan menuju Kenteng Songo yang memang menjadi tujuan kami dari awal. Puncak ini juga merupakan puncak triangulasi dari Gunung Merbabu dengan ketinggian 3142 mdpl. Jarak dari pertigaan ke Puncak Kenteng Songo tidak jauh. Kami menempuhnya dalam 60 menit perjalanan. Meski begitu trek menuju puncak cukup ekstrim. Usai menyusuri bukit, kita akan dihadapkan dengan tanjakan terjal. Di sini kita bahkan perlu memanjat tebing dengan menggunakan dua tangan. Hingga akhirnya kami tiba di sebuah pelataran dengan papan bertuliskan “PUNCAK KENTENG SONGO (3142 mdpl)”. Yah, akhirnya setelah 4 jam mendaki, kami sampai di puncak tepat pukul 12.00 WIB.

Merbabu via Wekas
Melipir tebing sebelum trek ekstrim ke Puncak Kenteng Songo. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Merbabu via Wekas
Trek ekstrim. Trek ini menjadi trek tersulit selama pendakian ke Puncak Kenteng Songo via Jalur Wekas. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Sejenak, gua duduk terdiam menikmati apa yang ada di depan mata. Menyaksikan para pendaki sibuk mencari spot yang tepat untuk berfoto. Beradu cepat dengan kabut yang tengah membuka tirainya menunjukan pesona pemandangan di sebrang sana. Gua masih terdiam membiarkan sinar matahari jatuh menerangi tubuh, seakan lupa bahwa tanpa kabut, matahari pada siang bolong di tempat ini cukup untuk membakar kulit gua.

Gua baru berpindah ke tempat yang teduh ketika teman-teman Plasma selesai mendirikan flysheet. Di bawah flysheet hitam berukuran 3x4 meter itu kami membuka perbekalan. Roti “garing” --roti ini seperti roti pada umumnya, mungkin karena udara yang dingin roti ini menjadi mengeras dan susah untuk dikunyah. Butuh waktu yang cukup lma buat gua menghabiskan roti yang dibawa Acob tersebut--, buah, dan natadecoco menjadi pengisi perut ini yang mulai kosong sejak melewati Pos Helipad. Sebenarnya kami berencana makan siang di puncak, tapi ternyata ada perbekalan yang tertinggal di tenda. Jadi menu yang ada kami manfaatkan dengan baik.

Beres ngisi perut, kami merapihkan kembali peralatan termasuk melipat ulang flysheet yang kami pakai untuk berteduh. Kami bergegas ke tempat plang puncak berada untuk berfotoria dan kemudian jalan kembali menuju Camping Ground Pos 2.

Merbabu via Wekas
Foto bersama di Puncak Kenteng Songo 3142 mdpl. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Balik ke Tenda

Perjalanan turun tidak memakan waktu lama hanya setengah dari total waktu saat naik. Trek yang menurun membuat kami tak sering berhenti. Perjalanan pun menjadi cepat.
Sepanjang perjalanan kami mengumpulkan batang pohon untuk membuat api unggun saat malam tiba nanti. Batang-batang tersebut kami kumpulkan dan kami susun di dekat tenda kami.

Ada kejadian unik saat akan menyiapkan api unggun. Acob bertemu dengan beberapa bocah yang berkemah di Pos 2. Ia meminta tolong anak-anak yang merupakan warga sekitar tersebut, untuk memotong batang pohon yang lumayan besar. Awalnya kami hanya ingin meminjam golok yang mereka bawa, tapi ternyata mereka yang masih SD itu memiliki tenaga yang besar dan mau memotongnya. Jadilah kami memakai jasa mereka.

“Gila tuh bocah maen kejar-kejaran sambil bawa golok ya,” ujar bang Awang mengomentari kelakuan para Akamsi (anak kampung sini) tersebut.

Hangat adalah rasa saat api mulai menyala. Menjalar dari satu batang pohon ke batang pohon lainnya. Mengusik dingin yang sedari tadi selimuti kami. Namun, kehangatan itu tersela oleh air yang menetas dari langit: hujan.

Yah, hujan kembali turun pada malam kedua kami di Gunung Merbabu. Sedikit rasa tenang saat ingat tadi sore mengencangkan beberapa ikatan di beberapa sisi tenda. Tapi sepertinya itu tidak berpengaruh karena hujan malam ini lebih besar dari yang sebelumnya. Air pun lebih cepat menetes ke dalam tenda kami lewat celah jahitan yang sealnya telah rusak. Bahkan jas hujan dan plastik sampah yang kami gunakan untuk melapisi inner tenda, tetap tembus oleh hujan. Kondisi itu membuat gua pasrah, tidur dan berdoa semoga hujan lekas berlalu.

Kembali ke Peradaban

“Bangun, bangun, udah pagi,” ujar seseorang dari luar tenda. Suara berisik itu menyadarkan gua yang sedang menelungkup di balik sleeping bag merah pemberian dari bokap gua. “Hmm, hari sudah kembali pagi,” ujar gua dalam hati saat membuka mata.

Sinar matahari samar terlihat dari balik tenda. Sepertinya pagi ini cerah yang berarti akan ada pemandangan bagus di luar sana. Membayangkan hal itu, gua pun bergegas keluar dengan membawa kamera.

Saat itu langit sedang bersih dari kabut, biru menjadi warnanya. Namun, itu tak berlangsung lama karena kabut kembali datang menutup keindahannya. Ah, ternyata cuaca masih sama seperti kemarin: berkabut.
Pencarian spot untuk memotret pun gua urungkan dan memilih untuk bergabung ke tenda yang ditempati Bakong, Iqbal, Kubing dan Bang Awang. Di sana kami asik bermain kartu sambil menyeruput minuman hangat dan mengunyah kentang yang beru selesai digoreng oleh para ladies.

Merbabu via Wekas
Lingkaran, doa, dan tos menjadi rutinitas kami sebelum memulai perjalanan. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Hari semakin siang, kami pun menyudahi permainan kartu dengan hukuman cium tangan tersebut untuk bergegas merapihkan perlengkapan di tenda kami masing-masing. Beberapa di antara kami menyempatkan untuk menjemur peralatan mereka yang basah oleh hujan atau pun embun semalam.

Sekira pukul 10.42 kami beranjak dari tanah yang sejak 3 hari ini kami tempati untuk tidur. Tas ransel dengan muatan yang hampir sama saat kami datang ke tempat ini, kembali berada di punggung kami. Kami pulang.

Tidak butuh waktu lama untuk kami sampai di basecamp. Maklum, jalur kali ini berbalik dengan saat berangkat yang menajak. Trek yang terus menurun membuat kami tak banyak berhenti. Kami hanya butuh waktu sekira 1,5 jam untuk sampai di pos 1. Di pos itulah kami beristirahat cukup lama. Selain itu kami juga menyempatkan diri untuk berfotoria.

Merbabu via Wekas
The Ladies berfoto bersama saat tiba di Pos 1. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Dari pos 1 ke basecamp lebih singkat lagi. Tidak sampai 30 menit kami sudah tiba di sana. Dan gua menjadi orang terakhir yang sampai.

Kami tidak bisa terlalu bersantai di basecamp, karena bus yang akan mengantar kami ke Jakarta akan berangkat pukul 5 sore. Sedangkan menurut penjaga basecamp butuh waktu sekira 2-3 jam untuk sampai Terminal Tingkir, Salatiga. Itu artinya kami harus sudah jalan pukul 3. Hal itu membuat gua yang dapat urutan mandi paling terakhir, harus terburu. Tak peduli seberapa dingin air siang itu, yang ada dalam pikiran gua hanya secepat mungkin bisa membersihkan badan.

Usai bersih-bersih kami langsung menuju mobil bak yang telah kami sewa untuk mengantar kami ke Terminal Tingkir. Mobil bak tersebut kami dapatkan dari penjaga basecamp yang menawarkan sejak kami mendaftar di basecamp untuk pendakian. Sebenarnya ia juga menawarkan beberapa bus dari kenalannya di agen tiket bus. Sayangnya harganya tak masuk dalam bujet kami. Jadilah kami menggunakan bus yang didapat Bakong dari agen kenalannya.

Kekhawatiran kami untuk tiba terlambat nyatanya tak terjadi. Mobil yang kami tumpangi melaju cukup kencang. Ditambah lagi sang supir banyak memotong jalan. Jadilah kami tiba lebih cepat. Bahkan sebelum bus yang kami pesan datang.

Merbabu via Wekas
Kiri: menunggu bus di Terminal Tingkir, Salatiga. Kanan: saat tiba di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta. (Foto: Fachrul Irwinsyah)

Kami menunggu cukup lama, hingga bus kami datang. Seperti yang sudah dibilang Bakong: bus berkursi 2-2 dengan toilet dan berhenti untuk makan satu kali –kami tidak dapat makan--. Tapi Bakong gak pernah bilang apa nama bus yang akan kami tumpangi, dan bayangan akan kemewahan sebuah bus wisata pun harus sirna saat kami melihat bus tersebut. Karena ternyata busnya berpenampilan “sederhana”.

Bersama bus bercorak hijau tersebut, kami melintasi beberapa kota. Hingga akhirnya bus yang sempat pecah ban di jalan tol tersebut sampai di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta pada Senin, 18 Juli 2016 saat jarum jam menunjukan pukul 8 pagi. Saat para siswa sedang sibuk menyiapkan hari pertama masuk sekolah.

Selesai sudah perjalanan gua bersama teman-teman Plasma 4 Depok menapaki terjalnya jalur Wekas. Kini saatnya gua dan mereka kembali ke rutinitas; Kembali berpanas polutan; Kembali bemacetan; Kembali ke “peradaban”.

Akomodasi Pulang:
  • Mobil bak Basecamp – Terminal Tingkir, Salatiga: Rp 250.000 (untuk 14 orang)
  • Terminal Tingkir, Salatiga – Terminal Kp. Rambutan: Rp 175.000 

Pendakian kami di Merbabu telah selesai, tapi bagaimana kami sampai di Pos 2?
Baca kisah sebelumnya: Wekas, Jalan Terjal ke Merbabu 
Lihat foto-foto pendakiannya di: Flickr


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post