Piala Kemerdekaan dan Piala Indonesia Satu, Oase atau Fatamorgana?

Liga Indonesia ©Paulpolos.blogspot.com

Sejak PSSI dibekukan Menpora 17 April lalu, Liga Indonesia menjadi mati suri. Indonesia Super League (ISL) musim 2015 harus berhenti usai menjalankan dua pertandingan. Nasib lebih buruk didapat oleh tim yang berlaga di Divisi Utama. Mereka yang telah mempersiapkan tim di pramusim tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk menggelar pertandingan resmi. Pertandingan perdana Divisi Utama yang akan digulirkan pada 26 April tidak bisa terlaksana karena pembekuan tersebut.

Sepakbola memang tak sepenuhnya mati dari negeri ini. Bocah-bocah kota dan di kampung-kampung masih memainkan bola mereka. Menggiring si kulit bundar di pinggir jalan raya, adapula yang bermain di lapangan dengan rumput liar atau hanya bertanah merah dan penuh debu. Namun, bagi para pecinta sepakbola nasional khususnya bagi mereka para suporter klub lokal, kondisi tanpa liga yang terjadi saat ini tentu meresahkan. Merusak sebuah rutinitas mingguan yang seharusnya terdapat sepakbola di dalamnya.

Berhentinya kompetisi resmi juga membuat banyak pemain professional harus mencari nafkah dari pertandingan antar kampung alias tarkam. Apa ini menjadi obat rindu para suporter? Tentu tidak. Karena di pertandingan tarkam para pesebakbola hanya bermain secara pribadi tidak atas nama klub yang berkompetisi resmi seperti Arema, Persija, Persib, Persis, dan sebagainya. Kalau pun mereka berada dalam sebuah klub, klub tersebut hanyalah sementara. Dan di pertandingan tarkam, tak pernah ada tribun yang menjadi tempat “ibadah” para suporter garis keras.

Wacana menggelar kompetisi pramusim pun terus digulirkan. Setidaknya ada dua kompetisi yang tengah disiapkan, Piala Kemerdekaan dan Piala Indonesia Satu. Piala Kemerdekaan adalah kompetisi buatan Tim Transisi di bawah arahan Kemenpora yang akan menjadi ajang bertanding bagi klub Divisi Utama. Sedangkan, Piala Indonesia Satu adalah kompetisi yang diselenggarakan oleh promotor Mahaka Sport and Entertainment dan akan mempertemukan klub-klub ISL 2015.

Piala Kemerdekaan tidak hanya menjadi sebuah wacana, tapi sudah hampir pasti digulirkan. Setidaknya hingga saat ini sudah ada 24 tim yang menyatakan keikutsertaan mereka di ajang buatan Tim Transisi tersebut. Rencananya kompetisi yang terbagi dalam 6 grup tersebut akan bergulir pada 1 Agustus 2015.

Kabar kesiapan Piala Kemerdekaan tentu bisa menjadi air yang menghapus dahaga para suporter. Ditambah lagi katanya kompetisi ini akan disiarkan di salahsatu stasiun TV swasta. Itu berarti bukan hanya supurter tuan rumah yang bisa menyaksikannya, tapi juga seluruh pecinta sepakbola nasional.

Kesiapan juga dilakukan oleh Mahaka selaku promotor Piala Indonesia Satu. Mahaka bahkan sudah bertemu para perwakilan klub ISL untuk menjelaskan kompetisi tersebut.

Namun, kembali lagi, sesiap apapun kompetisinya, di negeri ini semua bisa kembali lagi ke nol dalam waktu yang singkat. Alias gagal bergulir. Setidaknya itulah yang terjadi pada QNB Champions Cup 2015. Piala Liga buatan PT Liga Indonesia yang sempat diwacanakan akan menjadi turnamen pramusim untuk mengisi kekosongan kompetisi setelah ISL dihentikan dengan alasan “force mejeur” tersebut gagal bergulir karena tidak mendapatkan rekomendasi dari BOPI. Pasalnya PT Liga enggan berkordinasi dengan Tim Transisi yang menjadi syarat agar BOPI bisa mengeluarkan surat rekomendasi untuk digelarnya pertandingan. PT Liga pada saat itu beralasan Tim Transisi bukanlah bagian dari PSSI, dan berkeras diri untuk tidak perlu berkordinasi dengan mereka.

Pengalaman gagalnya QNB Champions Cup 2015 seakan menjadi pelajaran berarti bagi para suporter untuk tidak terlalu berbahagia dengan kabar Piala Kemerdekaan ataupun Piala Indonesia Satu. Karena kegagalan masih terus membayangi dua kompetisi pramusim tersebut. Maklum saja, karena hingga saat ini kata “akur” masih jauh dari Senayan.

Bila Kemenpora menjadi biang keladi gagalnya QNB Champions Cup, maka hal terbalik bisa terjadi pada Piala Kemerdekaan. Yah, PSSI bisa saja menjadi alasan gagalnya kompetisi tersebut. Pasalnya PSSI tak merestui kompeti buatan Tim Transisi itu.

PSSI memang telah dari jauh hari memberitahukan bahwa Piala Kemerdekaan bukanlah kompetisi yang mereka buat dan tidak pula mereka rekomendasikan. PSSI bahkan telah mengeluarkan peringatan akan menghapus keanggotaan PSSI bagi klub-klub yang nekat mengikuti Piala Kemerdekaan. “Ancaman” tersebut semakin menakutkan karena PSSI baru saja memenangkan gugatan atas SK Pembekuaan Kemenpora di PTUN. Efeknya? Beberapa klub yang telah menyatakan kesiapannya pun memilih mundur dari keikutsertaan di Piala Kemerdekaan, mereka yang mundur ialah Persitara Jakarta Utara, PSIS Semarang dan PSPS Pekan Baru. Daftar ini masih mungkin akan bertambah lagi seiring dengan semakin dekatnya waktu penyelenggaraan dan semakin besarnya tekanan dari PSSI.

Lalu bagaimana dengan Piala Indonesia Satu? Kompestisi buatan Mahaka Sport and Entertainment ini memang lebih nyaman untuk dijalankan. Kegaduhan antara Kemenpora dan PSSI tak mengusik persiapan Mahaka untuk menggelar kompetisi tersebut. Pasalnya baik PSSI ataupun Kemenpora mendukung berjalannya turnamen tersebut. Itu artinya tidak akan ada lagi masalah perizinan yang menghambat seperti QNB Champions Cup. Juga tidak ada lagi ancaman bagi klub yang akan mengikuti turnamen tersebut layaknya yang terjadi pada Piala Kemerdekaan. Namun, bukan berarti kompetisi buatan anak usaha Erick Tohir ini jauh dari kegagalan.

Piala Indonesia Satu masih mungkin membuat suporter klub ISL gigit jari. Karena permasalahan justru bukan datang dari perizinan atau dari ancaman pihak tertentu, melainkan dari peserta kompetisi tersebut.

Turnamen yang dikhusukan bagi klub ISL ini terancam kekurangan peserta. Dari 18 klub ISL musim ini, hanya ada 11 klub yang bersedia mengikuti kompetisi buatan promotor yang pernah mendatangkan Liverpool ke Indonesia tersebut. Sisanya telah terlanjur membubarkan tim mereka saat ISL dihentikan dengan alasan “force mejeur”. Jumlah itu tentu jauh dari target yang dipatok Mahaka, yaitu 16 klub. Kondisi tersebut membuat Mahaka harus kembali berpikir ulang untuk tetap menyelenggarakan Piala Indonesia Satu atau memilih “bubar jalan”. Para suporter masih harus bersabar untuk mendapat kepastian tersebut.

Piala Indonesia Satu dan Piala Kemerdekaan tentu bisa menjadi oase bagi keringnya kompetisi sepakbola nasional. Namun, layaknya seseorang yang berjalan di gurun pasir, seringkali oase itu hanyalah ilusi mata karena kita terlalu kelelahan. Oase itu bisa saja hanyalah fatamorgana yang nampak ada namun tak pernah nyata.

Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post