Menikmati Istimewa Jogja #4. (Foto: Fachrul Irwinsyah) |
Hari
telah berganti lagi saat pagi bangunkan kami dari lelapnya tidur malam itu.
Lelah dari Bukit Setumbu kemarin menjadi alasan kami nyaman pejamkan mata.
Namun, lelah sepertinya tak akan lama pergi dari tubuh gua. Karena di hari
kelima gua dijogja ini, gua akan kembali melancong dengan tujuan ke kaki gunung
merapi. Tempat yang pada 2010 lalu terkena bencana Letusan gunung api.
Melihat Sisa Letusan Gunung Merapi
Hari
ini, 31 Januari 2014, kami harus kembali bangun pagi, tapi tidak sepagi
kemarin. Kami berangkat menuju Gunung Merapi saat subuh. Perjalanan pagi ini
ternyata lebih sulit dari perjalanan sebelumnya. Bukan karena treknya yang
ancur, melainkan karena rute yang kami tidak ketahui.
Beberapa
kali kami salah masuk desa dan harus memutar arah. Dan parahnya setiap kali
kami memutar arah kami selalu bertemu dengan tempat yang sama. Hingga entah
sudah berapa kali kami bertanya kepada warga, barulah kami dapat jalan yang
benar. We are on the right side.
Kami
tiba di batas terakhir kendaraan sekitar pukul 6 lewat. Lebih mendekati pukul 7
sih tepatnya. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Sebenarnya
ada pilihan kendaraan yang bisa kami pakai untuk sampai tujuan kami, yakni ojek
dan jip. Tapi, karena kami adalah petualang yang gak punya duit banyak, jadi
kami memilih untuk mengandalkan kaki kami untuk bisa melihat sisa-sisa letusan
Gunung Merapi yang melumat Desa Kinarejo pada tahun 2010 itu.
Sebelum
mendaki, kami mampir sejenak ke sebuah warung di dekat tempat kami parkir.
Sekedar mencari minuman hangat dan menunggu mendung pergi. Maklum pagi itu
cuaca memang jelek, bahkan kami sempat merasakan gerimis setiba di parkiran.
Beruntung hanya gerimis dan itu tidak lama.
Ketika
dirasa cuaca sudah baik, barulah kami melangkahkan kaki. Menanjak. Buat gua
pribadi gak ada masalah dengan trek kaya gini. Tapi jadi masalah bagi satu
orang teman gua, Ika. Ika memiliki tubuh gemuk dan cenderung bulat.
Satu-satunya di antara kami yang paling banyak mengeluh kalo ada ditrek nanjak
kaya gini. Dan gua yakin kalo saat itu ada yang nyikut dikit si Ika pasti
gelinding ke bawah kaya bola. Hahaha…
Setelah
kurang lebih 15 menit, kami sampai di sebuah bangunan yang telah tak berbentuk.
Bangunan itu ialah rumah dari Mbah Marijan. Sang juru kunci Gunung Merapi yang
meninggal terkena erupsi Merapi. Dalam bangunan yang menyisakan puing-puing
tersebut terdapat motor dan mobil juga peralatan lain yang terkena erupsi. Di sekitarnya
juga terdapat foto dan informasi mengenai benda-benda tersebut. Bangunan tersebut
kini menjadi museum mini tentang Mbah Marijan dan erupsi Merapi yang terjadi
pada 2010.
Dari
museum Mbah Marijan kami melangkahkan kaki sedikit lebih jauh. Menyebrangi
tanah lapang beralaskan bebatuan hingga akhirnya sampai di banker yang menewaskan
warga yang berlindung dari “amuk” Merapi. Di pintu banker juga banyak warga
yang menjual buku foto/catalog yang berisi foto-foto saat letusan 2010.
Jalur lahar Merapi dengan puncak Merapi yang tertutup kabut, Jumat (31/1/2014). (Foto: Fachrul Irwinsyah) |
Di
sana kami juga bisa melihat jalur lahar saat letusan terjadi. Juga sisa-sisa
dari dahsyatnya letusan gunung yang telah kehilangan puncak garudanya. Sebuah
batu besar berwarna coklat pekat, cukup memberikan gua gambaran berapa panasnya
lahar yang meluluh lantahkan Desa Kinarejo saat itu.
Puas
memotret sisa-sisa letusan Merapi, kami memutuskan untuk kembali ke parkiran.
Selain karena matahari yang semakin menyengat juga karena perut kami yang makin
keroncongan.
Ada
kejadian unik saat kami akan turun ke bawah. Ika, teman gua yang paling bulat
ini ketakutan saat menuruni sebuah bukit. Padahal tingginya hanya sekitar 2
meter, tapi takutnya dan teriaknya kaya ada di ketinggian 20 meter.
Sampai-sampai harus dipegangin depan-belakang. Itu pun doi masih teriak-teriak.
Parah.
Perjalanan Lava Tour tersebut menjadi destinasi terakhir kami di Jogja, karena esok kami harus segera kembali ke Jakarta. Sebuah penutup manis yang banyak beri gua palajaran bahwa selalu ada rencana baik tuhan bagi mereka yang gak menyerah atas cobaan yang tuhan berikan. Seperti halnya yang terjadi di Merapi yang kini menjadi destinasi wisata. Meski itu semua mungkin tak bisa mengembalikan semua yang hilang.
Perjalanan Lava Tour tersebut menjadi destinasi terakhir kami di Jogja, karena esok kami harus segera kembali ke Jakarta. Sebuah penutup manis yang banyak beri gua palajaran bahwa selalu ada rencana baik tuhan bagi mereka yang gak menyerah atas cobaan yang tuhan berikan. Seperti halnya yang terjadi di Merapi yang kini menjadi destinasi wisata. Meski itu semua mungkin tak bisa mengembalikan semua yang hilang.
Belanja Oleh-oleh dan Pulang
Sabtu,
2 Februari 2014 menjadi hari terakhir kami menikmati Istimewanya Jogja. Kota
yang keistimewaanya sempat diusik oleh pemerintah pusat. Hari itu kami sepakat untuk
pulang siang hari karena tidak ingin terburu-buru dan bangun pagi lagi.
Meskipun lebih tepatnya kami jalan sore hari.
Sebelum
menuju jalan utama ke Jakarta, kami menyempatkan diri untuk berburu oleh-oleh
di sekitaran Malioboro. Benda yang pengen bangat gua beli ketika di Jogja
adalah kaos. Maklum Jogja terkenal dengan kaos-kaos “ngeyel” mereka. Salah satu
yang terkenal adalah kaos Dagadu Jogja. Sayangnya took Dagadu sudah lama pindah
dari Malioboro dan sialnya kami tidak bisa menemukannya. Di Malioboro hanya ada
counter took mereka yang terdapat di dalam mall. Jadilah kami masuk ke sana.
Bukannya beli baju, kami justru beli buku.
Sebuah
toko buku di mall tersebut menjual majalah National Geographic versi Amerika
dan sebuah buku foto (catalog) yang berisi koleksi foto-foto terbaik National
Geographic. Jadilah kami beli itu dengan cara patungan Gua, Abay, Keti, Aduy.
“Hahaha… jauh-jauh ke jogja yang dibeli buku-buku juga,” ujar gua sama mereka.
Usai
berbelanja, mobil putih milik Cahyo pun kembali melaju. Menjauh dari kota
kelahiran band Sheila On 7 itu. Tak terasa seminggu sudah kami menikmati kota
ini, mulai dari menyusuri jalanan Malioboro, melihat kemegahan Keraton, bermain
air di pantainya, menikmati sunrise di Punthuk Setumbu, hingga menapaki
sisa-sisa letusan Merapi. Sebuah perjalanan menarik yang akan selalu gua ingat.
Perjalanan ke Kota yang selalu gua impikan.
Foto Bersama sebelum pulang. Ki-Ka: Mobilnya Cahyo, Abay, Keti (duduk), Ika, Mbahnya Ika, Cahyo, Rara, Aduy |
“Setiap perjalanan akan selalu memberi cerita yang berbeda dari perjalanan lainnya. Kisah itulah yang sebenarnya membuat kita ingin selalu jalan-jalan.”
Post a Comment
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.