Camp Ceria Pertama

Camp Ceria - www.paulpolos.blogspot.com

Ini cerita tentang acara camping ceria pertama yang dilakuin sama anak-anak K32. Ide gila ini muncul dari Stella. Di malam yang tenang tiba-tiba aja dia SMS bang Baray mengutarakan idenya untuk naik gunung bareng-bareng ama anak K32. Gak heran sih ide ini muncul, soalnya kalo ngeliat anak-anaknya memang pada doyan naik gunung, tapi biasanya pada jalan sendiri-sendiri atau ama kelompok lain. Jadi gapapa dong kalo kali ini jalan ama keluarga sendiri?

Opsi tempatnya yaitu Gunung Pangrango atau Gunung Gede. Ada juga yang nyaranin ke Gunung Cikuray atau Papandayan. Setelah melalui perhitungan dan pemikiran keras, akhirnya ditentukanlah Gunung Gede sebagai tempat pertama Camp Ceria. Beberapa alasannya adalah karena lokasinya yang dekat, jadi tidak akan memakan waktu yang lama. Juga ada yang belum pernah naik gunung, siapakah itu?

Yuda, Joni, Rara dan Cahyo pun berangkat menuju Cibodas untuk mendaftar pendakian kami. Kami mendaftar untuk 12 orang untuk pendakian 3 hari dari tanggal 17 Juni sampai 19 Juni. Pendakian kali ini melalui jalur Gunung Putri dan pulang dengan jalur yang sama.Mendekati hari 'H' komposisi orangnya pun berubah. Joni dan Indah mengabarkan bahwa dia tidak bisa ikut karena satu alasan. Begitu pun dengan Riri, dia harus ke luar kota untuk satu keperluan. Posisi Riri digantikan Ican (Caterva) yang sehari sebelum berangkat mengabarkan ingin ikut. Jadilah kami berangkat bersepuluh, yaitu Gua, Rara, Ika, Bang Baray, Cahyo, Yuda, Katro, Sapi, Stella, dan Ican.

Rencana awal kami akan berangkat pada minggu malam agar senin pagi sudah bisa mendaki, tapi apa boleh dikata, karena hingga minggu malam packingan dan persiapannya belum selesai, jadilah kami berangkat pada senin pagi. Jam 5 pagi disepakati menjadi waktu kumpul kembali kami di Kampus untuk langsung berangkat. Tapi, lagi-lagi waktunya melenceng. Hujan yang mengguyur Jakarta pada pagi hari membuat kami harus menahan diri untuk meninggalkan Kampus Tercinta. Gua dan Stella yang  pulang setelah packing untuk mengambil SIMAKSI pun harus telat datang ke kampus karena hujan tersebut.

Pukul 9 pagi hujan pun mereda. Tim yang sudah berkumpul dan selesai sarapan langsung bersiap untuk meninggalkan kampus. Doa bersama dan tos menjadi penanda kepergian kami. "Camp Ceria Kaphac 32. Hoy!!!", teriak seluruh tim saat tos.

Jika sesuai hitung-hitungan kami, maka sekitar pukul 1 kami sudah sampai di Cipanas. Tapi untuk kesekian kalinya hitungan kami meleset. Kami terjebak macet hampir satu jam di Ciawi dan beberapa tempat lainnya. Kami pun baru tiba sekitar pukul 3 sore. Kesorean, iya mungkin, tapi tenang kami sudah siap head lamp untuk trek malam.

Seusai regestrasi di Pos Green Ranger kami pun langsung bergegas menuju sebuah gubuk kecil yang kami beri nama "Gubuk Ican" untuk makan siang. Pemberian nama itu bukan tanpa sebab. Di gubuk itulah tragedi Ican terjadi.

Ican yang sejak sampai di Cipanas mengeluh enek dan pusing memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian. Ican juga sempat muntah di belakang gubuk itu. Meskipun kami sudah membujuk dan coba menyemangatinya untuk tetap mendaki, tapi ia memilih untuk turun dan pulang. Ia merasa tidak enak dan akan menyusahkan yang lain bila tetap mendaki dalam kondisi sakit seperti itu.

Mentari perlahan tenggelam, berganti menjadi malam dengan terang bulan dan bintang. Angin pun mulai membawa udara dingin ke tubuh kami yang menandakan bahwa kami harus segera bergerak. Iya kami harus segera bergerak karena hari mulai gelap dan dingin. Tapi bukan naik, melainkan turun untuk mengantarkan Ican. Keputusan untuk turun didapat setelah berdiskusi dengan yang lain.

Kami memutuskan untuk turun ke pos registrasi dan mencoba menghubungi Gilang Wana untuk menjemput Ican. Karena Ican tidak kami ijinkan untuk pulang sendiri, meskipun dia bilang masih mampuh untuk pulang sendiri. Bila tidak dijemput maka kami semualah yang akan mengantar Ican balik, alias pendakian ini akan batal.

Malam itu, kami bermalam di sebuah warung yang ada di kaki Gunung Gede dan menunggu kedatangan Gilang untuk menjemput Ican. Seusai makan, ada yang mengisi waktu kosongnya dengan bermain kartu. Ada juga yang memilih tidur, salah satu yang memilih tidur adalah gua. Gua memilih untuk tidur, persiapin stamina buat pendakian besok.

Suasana sunrise di kaki Gunung Gede. Foto: Fachrul Irwinsyah

Pagi pun datang. Kami bergegas bersih-bersih dan sarapan dengan roti tawar yang diolesi coki-coki dan diselingi perbincangan penjemputan Ican oleh Gilang tengah malam tadi.

Seusai berdoa pendakian pun dimulai tanpa Ican.

Gubuk Ican kembali menjadi tempat peristirahan pertama kami. Hujan yang sempat turun membuat kami berteduh di gubuk tersebut. Di gubuk itu juga kami beristirahat sejenak dan berfoto ria. Perjalanan dilanjutkan setelah hujan berhenti.

Camp Ceria - www.paulpolos.blogspot.com
Ari Baray, Fachrul, Cahyo dan Yuda di depan gubuk tempat Ican sakit.

Peristirahatan selanjutnya adalah sungai. Ia jika kita naik ke Gunung Gede melalui Gunung Putri kita akan melewati sungai kecil yang menjadi aliran air. Di tempat ini kami memasak makan pagi kami. Kami sadar bekal roti tawar dengan selai coki-coki yang kami makan sebelum berangkat tidaklah cukup untuk bisa sampai ke Alun-alun Suryakencana. Meskipun Gunung Gede dianggap gunung pemula, tapi kita tetap membutuhkan banyak tenaga yang cukup untuk bisa melewati medannya.

Setelah makan dan mengambil air untuk minum di jalan, perjalanan pun dilanjutkan. Tak banyak waktu beristirahat di setiap pos yang kami lewati. Maklum kami berjalan dengan pelan dan kebanyakan berhenti, jadi memilih untuk tidak berhenti lama saat sampai di pos. Sampi akhirnya kami tiba di Pos Buntut Lutung. Di pos inilah kami istirahat cukup lama.

Kami mengumpulkan kembali tenaga yang telah terbuang karena setelah dari pos Buntut Lutung medan pendakian akan lebih terjal. Medan ini juga sering disebut dengan "tanjakan penyesalan". Selain makan untuk isi tenaga, kami juga mencoba mencari matahari untuk mengeringkan badan kami yang telah basah oleh keringat.

Cukup sudah bersantai dan istirahatnya. Tenaga kami pun terasa sudah kembali. Sekarang saatnya melanjutkan perjalanan menuju Alun-alun Suryakencana. Sepanjang perjalanan kami isi dengan candaan dan sedikit keluhan karena tanjakan yang seperti tidak ada habisnya. Tak ada insiden yang berarti sepanjang perjalanan menuju Alun-alun, kecuali insiden kelaparan Bang Baray.

Saat itu gua, Yuda dan bang Baray berjalan bersamaan meninggalkan Buntut Lutung. Sedang yang lain ada yang tertinggal di belakang, ada pula yang mendahului kami. Tidak jauh dari Buntut Lutung rasa lapar itu pun muncul di kami bertiga. Perasaan ini juga yang mulai membuat kami melemah dan tercecer. Gua berjalan paling depan, sedang Yuda menemani Bang Baray di belakang. Karena dirasa jarak kami terlalu jauh, gua pun memilih untuk berhenti di sebuah lahan datar untuk menunggu yang lain.

Satu per satu pun mulai sampai di tempat gua berhenti, hingga menyisakan Yuda dan Bang Baray di belakang. Kami mengisi waktu dengan berfoto-ria sambil menunggu Yuda dan Bang Baray tiba. Yuda yang sampai lebih dulu dari bang Baray meminta gua untuk naik ke atas lebih dulu hingga menemukan jalan datar sebagai penanda bahwa jarak ke Alun-alun sudah dekat. Sebelum meninggalkan tim, Yuda berpesan ke Cahyo untuk menunggu bang Baray tiba jika ingin melanjutkan perjalanan.

Gua dan Yuda pun menjadi berjalan di depan meninggalkan yang lain. Sepanjang perjalanan Yuda selalu bertanya ama gua "udah ke temu belum ul patokannya?". dan gua selalu menjawab dengan kebohongan, "udah tuh, da di depan" sampai akhirnya dia naik ke tempat gua dan langsung gua bilang "eh, belum dah, da. masih di atas lagi". Pertanyaan dan jawaban seperti itu gua lakuin hingga kami sampai di tikungan terakhir yang menjadi penanda terkhirnya tanjakan terjal dan akan dilanjutkan jalanan datar sebagai penanda pintu masuk Alun-alun. Sialnya, baik gua ataupun Yuda enggak ada yang bawa makanan sama sekali. Bahkan, air minum pun itu sudah habis saat kami meninggalkan Buntut Lutung. Kampret!!! itu berarti gua harus menunggu teman-teman yang lain atau memilih masuk lebih dulu ke alun-alun dan mengambil air di sana. Tapi akhirnya kami mutusin untuk tetap menunggu di tempat tersebut. Berkali-kali kami memanggil mereka yang ada di bawah, namun yang menjawab hanya Katro. Gua memilih untuk menjemput Katro di bawah karena gua dan Yuda sudah semakin lapar dan setahu kami ada biskuit di tas yang dibawa Katro, juga mereka membawa air.

Bukan kabar yang gua tanya pertama kali saat bertemu Katro dan Ika, tapi keberadaan airlah, "bagi air dong" dan katro menjawab dengan jawaban yang menkutkan gua "engga ada, rul. udah abis". Oh NO!!! ya... setidaknya di tas mereka masih ada biskuit buat ngurangin rasa lapar gua ama Yuda. Mereka pun gua ajak ke tempat Yuda menunggu. Di tempat itu kami makan biskuit yang dibawa katro sambil menunggu yang lain datang. Sesekali kami pun teriak memanggil mereka, tapi tak ada jawaban yang berarti jarak kami dan yang ada di bawah terpaut jauh. Dugaan kami diperkuat oleh Katro yang mengatakan jaraknya saat dijemput gua dengan sisa di bawah masih jauh. Karena masih terlalu jauh kami memilih menunggu di shelter sebelum Alun-alun.

Ika dan Katro menunggu di Shelter, sedang Gua dan Yuda mengambil air untuk diminum dan masak. Seusai mengambil air gua menyusul tim sisa untuk membawakan air, takut mereka haus dan kehabisan air. Cukup jauh jarak kami hingga akhirnya gua bertemu dengan mereka yang sedang mendaki. Kalo dibandingin sama kondisi Katro yang gua temuin, kondisi tim sisa masih lebih bertenaga. Yah gua paham darimana asal tenaga itu dan alasan kenapa mereka lama. Pengetahuan gua berasal dari pendaki lain yang bertemu dengan mereka dan pengakuan mereka sendiri. Mereka memasak mie dan makan saat bertemu bang Baray.

"Sorry sob, gua lapar." ujar bang baray dalam video yang merekam kejadian masak-memasak darurat tersebut. Video yang berlatar tempat gua berfoto ria dengan yang lain menjadi penanda di sanalah bang Baray bertemu dengan Stella, Sapi, Rara dan Cahyo untuk memasak. "untung kita foto-fotonya lama. Jadi bisa ketemu bang Baray, coba kalo engga foto-foto." ujar yang lain seakan kegiatan berfoto itu menjadi penyelamat (Rara, Stella, Sapi, Cahyo).

Setelah tim berkumpul lengkap kami pun berjalan bersama memasuki Alun-alun Suryakencana yang berda di ketinggian 2.750 Meter di atas permukaan laut (Mdpl). Berselimut udara dingin khas pegunungan kaki kami menelusuri daratan seluas 50 Ha tersebut. Sepanjang langkah, mata kami dimanjakan dengan deretan pohon Edelwise yang begitu cantik. Keindahan seperti dalam mimpi dan ingin rasanya berlama-lama bermain diatara pepohonan itu. Namun, Angin kencang seakan menyadarkan kami bahwa kami harus segera sampai di tempat camp karena hari semakin gelap.

Dua tenda saling berhadapan telah terbangun. selagi merapikan isi dalam tenda beberapa dari kami menyiapkan minum hangat karena udara semakin dingin. Malam itu kami lewatkan dengan beberapa guyonan di dalam tenda sambil menunggu makan malam yang disiapkan bang Baray dan Sapi. Ada juga yang memilih untuk tidur menunggu makan malam jadi. seperti Yuda dan Cahyo yang pada akhirnya di ikuti oleh semuanya karena menunggu terlalu lama dan juga mungkin kelelahan.

Seusai makan malam kami memilih untuk tidur. Sedikit perbincangan mengenai waktu dan siapa saja yang akan muncak (summit) esok pagi menjadi dongeng sebelum tidur kami.

Sop, bangun udah setengah tujuh nih. mau pada muncak gak", kira-kira seperti itulah kalimat dari bang Baray yang menggangu tidur gua. Gua pun bangun sambil mencari handphone yang alramnya berbunyi dan mematikannya agar tidak mengganggu ketenangan pagi itu. Gua coba bangunin Yuda dan Cahyo yang ada di samping gua, tapi susah jadi gua milih untuk keluar tenda dan ngebagunin para gadis.

Gua keluar tenda dan menatap langit dengan wajah bingung. "Kok jam segini (setengah 7) belom ada mataharinya ya" ujar gua saat melihat langit pagi tanpa mentari. Yuda yang masih setengah sadar menyadarkan gua kalo ini masih jam 6an. Ternyata gua diboongin bang Baray supaya gua bangun. Tak lama setelah gua bangun satu persatu dari mereka mulai menyadarkan diri dan keluar tenda, meski ada juga yang hanya kepalanya doang sedang badannya tetap didalam pelukan sleping bag.

Hari itu seusai makan pagi kami menyiapkan segala peralatan untuk summit. Ada 7 orang yang akan summit, yaitu Gua, Rara, Yuda, Stella, Cahyo, Sapi, dan Ika, sedangkan Katro dan Bang Baray memilih tetap di tenda untuk rapih-rapih dan nyaiapin makan siang. Kami tidak kesulitan untuk mencapai trek puncak karena memang berada di samping camp kami. Trek-nya pun terbilang mudah karena berbentuk batuan yang disemen menyerupai anak tangga. Tak ada hentinya gua menyemangati teman-teman gua itu untuk terus naik dan menjanjikan pemandangan yang sangat indah di puncak sana. Sekitar 30 menit akhirnya kami sampai di ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut, Puncak Gunung Gede Pangrango.

Camp Ceria - www.paulpolos.blogspot.com
Tim summit di Puncak Gunung Gede dengan pemandangan Gunung Pangrango. Foto: Fachrul Irwinsyah

"Enggak bisa dilukiskan dengan kata-kata", itulah kalimat yang diungkapkan Rara saat ditanya bagaimana rasanya pertama kali sampai puncak. Diantara kami bertujuh hanya Rara yang belum pernah naik gunung. Maka, Puncak Gunung Gede menjadi puncak pertama gunung Indonesia yang ia pijak. Meskipun yang lainnya sudah pernah sampai ke puncak, tapi pemandangan di hari itu sangatlah berbeda. seperti kata Sapi.

"Gua baru kali ini ngeliat pemandangan puncak gede seindah ini. Biasanya gua kalo sampai puncak udah siang jadi langitnya flat gitu aja," ungkap sapi yang merasa bersyukur bisa sampai puncak saat itu. Langit Gede saat kami sampai di puncak memang masih biru, meskipun kadang ada kabut atau asap belerang yang menutupi puncak Pangrango yang menjadi view favorit di puncak tersebut keindahan view Gunung Gede tetaplah indah di mata kami.

Kami diam untuk sesaat, untuk mengucap syukur pada Yang Kuasa karena masih diijinkan melihat keindahan alam-Nya. Rasa syukur untuk udara dingin yang menylimuti diri kami, untuk bau belerang yang masuk ke hidung kami, untuk curamnya tebing-tebing jurang-Nya, untuk semua yang bisa kami lihat, kami dengar dan kami rasakan sepanjang perjalanan kami. hingga bisa sampai di sini dan hingga pulang nanti. Yap, Pulang. Karena kami tak boleh ego menyimpan keindahan alam-Mu hanya untuk diri kami sendiri. Biarkan kami membawa cerita keindahanmu kepada teman-teman kami. Agar mereka percaya bahwa Indonesia memang indah.

Setelah puas berfoto kami pun turun menuju tenda. Perjalanan turun tak seberat saat mendaki tadi, jadi tidak memakan waktu yang lama. Sesampai di tenda kami langsung disambut dengan makan siang ala chef Baray dan Katro.

Energi telah terisi penuh, tenda dan perlengkapan lainnya sudah masuk ke tas kami masing-masing. Satu keuntungan buat Gua karena beban tas gua berkurang hampir setengahnya. Tas gua saat naik diisi oleh makanan kaleng menjadi berkurang beratnya karena makanan tersebut sudah dimakan. Jadi lebih ringan sekarang.

Kami siap untuk pulang. Sebuah doa dan tos menjadi awal langkah kepulangan kami.

Bukan bunga abadi alias edelwise yang kami kantongi untuk buah tangan, bukan pula ukiran nama di batang-batang pohon penanda keberadaan kami, melainkan gambar abadi berupa foto dan videolah yang menjadi buah tangan kami. Kami kembalikan semua yang kami bawa dari bawah dan kami tinggalkan semua keindahan alam Gunung Gede untuk mereka yang akan datang kembali.

Berfoto bersama di Alun-alun Surya Kencana.

Camp ceria pertama telah sukses dijalankan di Gunung yang sering dijuluki gunung perdana bagi pendaki Jakarta, Gunung Gede. Meski hanya 9 orang dan hanya 1 malam, tapi ini adalah kisah yang hebat untuk terus dilanjutkan menjadi yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Banyak kejadian yang tak tercatat di catatan ini, tapi tenang aja. Karena kami merekam perjalanan kami dalam bentuk video yang saat ini sedang dalam proses editing.

Di 2.958 meter di atas permukaan laut bendera itu telah berkibar, lalu apa selanjutnya...

Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post