Pada 11 Agustus 2015 lalu, klub sepakbola favorit gua berulang tahun yang ke-28. Arema. Ya, klub bal-balan asal Malang itu menjadi idola gua sejak 2010 dan bersama Arema jugalah gua mengenal sepakbola Indonesia. Menjadi pengikut dari liga (yang katanya) professional, Indonesia Super League (ISL).
Dalam perayaan hari jadinya, Arema hadirkan beberapa acara. Puncaknya adalah pertandingan persahabatan antara Arema melawan Persib Bandung yang digelar di kandang Singo Edan, Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pertemuan dua klub besar di Indonesia tersebut tentu menjadi kado yang istimewa. Bukan hanya untuk dua suporter dari setiap kesebelasan, Aremania dan Bobotoh, tapi juga bagi pecinta sepakbola nasional. Karena meski bersifat eksibisi, pertandingan tersebut disiarkan oleh salahsatu stasiun TV nasional yang berarti bisa dinikmati oleh semua pecinta sepakbola melalui layar kaca.
Namun, bagi gua pertandingan tersebut tidaklah terlalu istimewa. Karena meskipun kompetisi resmi tidak ada, Arema masih bermain bola. Arema mengikuti turmamen segiempat di Bali dan Sunrise of Java Cup di Banyuwangi. Memang dari dua turnamen tersebut Arema tidak bermain di kandang, namun setidaknya bisa menjadi bukti eksistensi mereka. Arema juga merupakan satu dari sedikit klub yang tidak membubarkan pemainnya setelah ISL resmi berhenti. Lalu apa yang istimewa? Perubahan jersey Arema adalah jawabannya.
Arema mengganti jersey home biru-kuning (fifty-fifty) dengan sebuah jersey berwarna dasar biru dongker dengan beberapa garis tipis horizontal berwarna biru di bagian depan. Jersey ini dikenalkan Arema ketika mengikuti turnamen Sunrise of Java Cup. Kehadiran jersey ini menjadi jawaban atas kritikan Aremania yang tidak suka dengan hadirnya warna kuning di jersey kebanggan mereka. Sebagian besar Aremania mengecam warna kuning tersebut karena dianggap mewakili kepentingan partai politik tertentu.
Ahmad Nufiandani menggunakan jersey baru Arema dalam turnamen Sunrise of Java Cup. (foto: Abi Yazid/Wearemania.net) |
Warna biru dongker mengingatkan gua dengan jersey juara Arema musim ISL 2009-2010. Pada saat itu Arema menggunakan apparel Diadorra yang disediakan oleh Sportstation. Pada jersey tersebut warna biru menjadi pemanis di bagian bahu. Tidak ada yang spesial dari jersey musim tersebut karena desainnya adalah template alias sama dengan beberapa klub ISL yang juga disponsori merek tersebut. Jauh berbeda dengan jersey yang baru diperkenalkan manajemen Arema.
Kehadiran jersey baru ini tentu menjadi bukti bahwa Aremania masih menjadi bagian penting bagi manajemen Arema. Meski tidak ada dalam bagan manajemen ataupun direksi Arema, Aremania masih mampuh mengubah kebijakan manajemen. Keuangan tim yang nyaman tanpa ada masalah finansial apapun tak lantas membuat Aremania tunduk atas semua kebijakan manajemen. Seperti yang kita ketahui di era sepakbola industri seringkali pemilik modal berubah menjadi “tuhan” bagi tim tersebut. Segala titahnya harus kudu dijalankan. Dan suporter seakan hanyalah pemanis pinggir lapangan. Aremania membuktikan diri untuk tidak menjadi pemanis itu. Sebuah kondisi yang mengingatkan gua dengan yang terjadi pada klub Cardiff City.
Kondisi Arema memang tidak separah yang dialami Cardiff City. Tapi setidaknya Aremania membuktikan diri, auman mereka tidak hanya terdengar keras di pinggir lapangan dalam 2x45 menit. Auman mereka juga terdengar keras di telinga manajemen dan pemilik modal. Juga bagi siapapun yang coba mengusik tim kebanggan mereka, AREMA.
Warna Arema telah kembali biru, kini tinggal mengembalikan tanggal lahir dalam logonya. Meng-aum-lah kembali Aremania! Kita kembalikan Arema seperti seharusnya.
Post a Comment
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.