Nenek Ranger Berkurang Satu

Ki-ka: Yunus, Iyus, Indra, Ari, Hendra (alm.), Novi (bawah)
berpose di Kalimati, Gn. Semeru. (foto: dok. Nenek Ranger)

Rabu sore itu sebuah kabar duka terdengar dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Satu anggota keluarga dari Manggar berkurang. Muhammad Hendra Ardiansyah telah berpulang ke sisi Allah mendahului kita semua karena penyakit kanker yang dideritanya. Mas Hendra sempat dirawat di RS. Mitra dan RS. Koja, namun penyakitnya yang telah sampai di tahap akhir membuat kondisinya semakin melemah.

Ia pun dipindahkan ke Cipto untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Meski segala usaha dan doa telah dilakukan takdir tuhan berkata lain. Rumah sakit Cipto Mangunkusumo menjadi tempat terakhirnya mengucapkan syahadat pada jam 4 sore, Rabu (28/5/2014), dua hari setelah ia dipindahkan ke Cipto.

Kenangan gua bersama almarhum mungkin gak sebanyak Nenek Ranger yang pernah naik gunung bareng almarhum. Tapi ada satu kebiasaan almarhum yang selalu gua inget, yaitu selalu manggil gua dengan sebutan "ewoh".

Sebutan itu diambil dari cara bicara gua yang seperti orang gagu ketika gua masih kecil. Katanya gua sering ngomong "ewoh" setiap kali bicara. Meskipun sekarang gua udah gak bicara seperti itu, tapi almarhum selalu mengingat masa itu. Bahkan hampir setiap ketemu, almarhum selalu menceritakan bagaimana dulu gua bicara dan memperagakannya. Alasan yang membuat dia manggil gua dengan sebutan "ewoh".

Semua cerita dari perjalanan dan kebersamaan dengan almarhum kini menjadi kenangan bagi kami. Sebuah cerita yang tak pernah bosan untuk didengarkan. Sebuah cerita yang disetiap kata terdapat doa untuk damaimu di surga sana.

Selamat jalan Mas Hendra, sepupu yang selalu manggil gua “ewoh”.
Nenek Ranger kini berkurang satu...

----------------------------------------------------------------------------

R.I.P Sang Ahli Kimia
ditulis oleh: Ulfah Fatmala Rizky

Baru-baru ini saya senang menonton film The Pirate Fairy, salah satu seri dari film animasi Tinker Bell. Dalam film ini, pemeran utamanya adalah seorang peri yang bernama Zarina. Ironisnya, sebagai seorang peri “penjaga debu peri” ia selalu kehabisan debu perinya. Ternyata, seluruh debu peri yang dimilikinya, selalu ia gunakan untuk melakukan diversifikasi debu peri, hingga akhirnya ia dinobatkan menjadi “peri ahli kimia”.

Bukan tanpa alasan saya menuliskan sepenggal cerita tersebut, karena hari ini saya sedang teringat oleh seorang ahli kimia yang sangat gemar memakai celak (sipat mata), sepupu saya yang tampan, (Alm) Muhammad Hendra Ardiansyah bin Bawon Ardiyanto. Sang ahli kimia yang dulu seringkali berpenampilan hitam-hitam, maka tidak heran jika kami para sepupu, menjulukinya ‘dukun’. Pernah suatu hari ia bercerita pada saya tentang proyeknya membuat tinta pemilu pertama. Masih ingatkan pertama kali diberlakukan peraturan mencelupkan jari kelingking setelah ‘mencoblos’ pada saat Pemilu Tahun 2004?.Yap, sepupu saya ikut andil dalam membuat tinta yang lumayan lama hilangnya itu. Kemarin, sekitar jam 6 sore saya mendapat kabar duka bahwa Mas Hendra sudah meninggalkan dunia fana ini. Perjuangannya melawan kanker pankreas berakhir pada Hari Rabu, 28 Mei 2014, Pkl. 16.00 WIB. 

Setelah lulus dari SMA Negeri 13 yang merupakan SMA peringkat pertama di Jakarta Utara, ia melanjutan sekolahnya di Akademi Kimia Analisis Bogor. Ampun deh sama sepupu saya yang satu ini, hobi banget bersekutu sama yang namanya Kimia. Saya jadi inget betapa butek bin bloon-nya saya ketika belajar Kimia, secara umum saya memiliki tiga reaksi dasar waktu belajar kimia : menguap, mengantuk, dan memejamkkan mata. Satu-satunya yang saya sukai dari kimia adalah ditemukannya Hormon Endorfin.

Love and passion. Mungkin dua kata itu yang dapat mendeskripsikan ia, kimia, dan keluarga kecilnya (Ka Sri dan Adik Lail). Jujur saja, saya sangat jarang bertemu dan bercengkerama dengan Mas Hendra, karena saya sangat jarang berada di Jakarta. Untuk menulis catatan ini, saya berbekal ingatan saya dan beberapa riset kecil dari akun Facebook miliknya dan milik istrinya. Mozaik kecil yang saya dapatkan dari dinding Facebook-nya menggambarkan bahwa sepupu saya adalah seorang guru, bukan sebagai profesi tetapi sebagai pandangan hidup. Seorang guru bukan hanya orang yang selalu mengajar dan mendidik, melainkan juga orang yang selalu belajar dan mencari pendidikan. Saya melihat itu padanya, terutama pada catatanya yang berjudul “Jangan Sampe Cape (My Evaluation)”. Ia selalu bisa merumuskan kondisi hidupnya, sehingga membuat ia lebih mudah mempelajari dan menghadapinya.


Tinggalkan Komentar

Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.

Previous Post Next Post