Pemandangan di Gunung Merbabu. (Foto: Fachrul Irwinsyah)
Gunung Merbabu terkenal dengan panoramanya yang memanjakan mata. Mulai dari bentangan perbukitan, matahari terbit yang indah, hingga pesona gunung-gunung di sekitarnya akan membuat kita takjub dengan pemandangannya. Gua sendiri mengenal gunung ini dari seorang teman yang menunjukan foto pemandangan di Merbabu saat ia mendaki. Sejak saat itu gunung dengan tinggi 3142 mdpl ini menjadi target pendakian gua.
Kesempatan untuk membuktikan pesona Merbabu pun hadir di tengah libur lebaran yang cukup panjang. Adalah Indah, teman kuliah gua yang menawarkan untuk ikut dalam pendakiannya. Ia akan mendaki bersama kelompok pecinta alam SMA-nya, Plasma pada 14 Juli 2016 dan pulang pada Minggu, 17 Juli 2016. Tanpa pikir panjang gua pun menerima tawarannya tersebut. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Perjalanan Dimulai
Gua dan Indah janji bertemu di Stasiun Pasar Senen jam 10 malam. Tak lama dari waktu yang kami sepakati, Indah beserta rombongan pun tiba di lokasi tersebut. Ia datang bersama 11 orang lainnya: 9 anggota Plasma dan 2 orang kerabat dari anggota Plasma. Dengan begitu hanya tinggal menunggu Iqbal yang akan berangkat ke Senen dari kantornya di Tanjung Priok.Pendakian ini memang acara anak-anak Plasma untuk mendapatkan nomor KTA bagi anggota mudanya. Dalam melakukan pendakian mereka didampingi para senior mereka: Awang, Bakong, Kubing, Acob, Iqbal dan Indah. Sedangkan gua, Ivan (kaka dari Nurul yang merupakan anggota muda Plasma) dan istrinya hanyalah tim hore yang ikut meramaikan pendakian.
Dari Senen kami naik kereta Tawang Jaya ke Stasiun Semarang Poncol. Kereta dengan tiket seharga 120.000 itu berangkat pukul 11 malam dan akan tiba di tujuan pukul 5.52 pagi. Namun, sayangnya jadwal tiba meleset dari yang tertera di tiket. Kami baru tiba di Semarang sekitar pukul 7 pagi. Perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang mobil bak certeran yang telah dipesan Bang Awang. Kebetulan ia memiliki kenalan untuk hal itu. Kami diantar hingga basecamp atau pos pendaftaran untuk mendaki dari jalur Wekas.
Selain Wekas, Gunung Merbabu memiliki beberapa jalur pendakian lainnya, yaitu Selo dari Magelang/Boyolali, Kopeng dari Salatiga dan Suwanting dari Magelang. Khusus untuk Kopeng, jalur ini memiliki 2 rute pendakian berbeda, yaitu Kopeng Cunthel dan Kopeng Thekelan. Kedua rute tersebut akan bertemu di Pos Pemancar. Tiap jalur pendakian tentunya memiliki medan dan pemandangan yang berbeda.
Rencana awal kami akan mendaki dari Wekas dan turun di Selo. Namun, rencana ini berubah lantaran transportasi pulang yang masih tentatif. Setelah dipertimbangkan kami akhirnya memilih turun lewat jalur Wekas. Salahsatu alasannya adalah kemudahan transportasi saat pulang nanti. Maklum saja, kami harus pulang hari Minggu karena hari Senin anggota muda Plasma yang masih siswa SMA sudah masuk sekolah. Selain itu, penjaga pos juga menjanjikan bisa menyewakan mobil untuk mengantar kami ke terminal saat pulang nanti. Yap, karena kami memang tidak mendapatkan tiket kereta untuk pulang, dan bus menjadi penggantinya.
Setibanya di basecamp kami melakukan pendaftaran di pos pendakian. Satu per satu nama kami dicatat termasuk jalur pendakian yang kami pilih. Karena kami akan turun di Wekas maka kami dikenakan biaya Simaksi sebesar 5.000 Rupiah per orang. Biaya yang berbeda jika kami turun di Selo yang dikenakan 16.000 Rupiah per orang.
Usai mendaftar, kami menyempatkan diri beristirahat sejenak dan makan siang di basecamp. Di rumah warga yang dijadikan tempat singgah tersebut, kami menyiapkan segala keperluan pendakian dan melakukan packing ulang. Pendakian baru kami mulai selepas Salat Jumat dan makan siang. Doa bersama dan tepokan tangan menjadi penanda langkah awal kami mendaki gunung yang melatus terakhir kali pada 1797.
Berdoa dan tos sebelum melakukan pendakian. (Foto: Fachrul Irwinsyah)
Kami Mendaki
Jalanan menanjak yang terbuat dari semen menjadi trek pembuka pendakian kami. Trek ini tak berlangsung lama, selanjutnya trek berubah menjadi beralaskan pon blok. Trek yang berlumut di beberapa bagiannya tersebut juga tak panjang. Tak lama setelah itu, sepatu kami menapaki tanah yang menjadi medan utama pandakian ini.Sekitar pukul setengah 4 kami tiba di Pos 1. Itu berarti kami telah mendaki selama satu jam tanpa ada bonus (sebutan untuk trek landai atau menurun). Karena sepanjang perjalanan menunju pos 1 kaki kami selalu menekuk dan pandangan hampir selalu menantap ke atas.
Trek yang terus menanjak sejak dari basecamp hingga Pos 2. (Foto: Fachrul Irwinsyah)
Pos 1 berada di ketinggian 1752 mdpl. Pos ini memiliki tanah yang tak begitu luas. Meski begitu kita masih bisa mendirikan 1 atau 2 tenda di pos ini bila keadan darurat. Kami tidak berniat untuk bermalam di pos yang dihiasi dengan batang-batang besar pohon yang tumbang tersebut. Kami hanya sekadar beristirahat di pos ini.
Dari catatan kamera gua, kami baru kembali melanjutkan perjalanan pukul 16.00, itu artinya kami beristirahat selama 30 menit. Waktu yang cukup lama untuk istirahat. Tentu dengan konsekuensi tak ada istirahat panjang di tengah perjalanan menuju Pos 2.
Pendakian ke Pos 2 diwarnai oleh kabut yang datang hampir setiap 10 menit sekali. Kedatangannya seringkali disertai dengan gerimis yang membuat langkah kami sedikit tersendat karena harus memasang dan melepas jas hujan di tengah perjalanan.
Cuaca yang tidak bersahabat sebenarnya sudah kami rasakan saat masih di mobil bak. Saat itu awan hitam menggelayut di langit. Bahkan kami sempat terkena gerimis lewat saat mobil mengisi bahan bakar di salah satu SPBU. Gerimis lewat juga kami rasakan saat awal mendaki Pos 1 tapi itu tak berlangsung lama. Jujur aja saat itu gua sedikit khawatir jika harus mendaki dengan cuaca hujan. Trek basah tentu akan lebih sulit dibanding dengan trek kering. Belum lagi harus bawa badan yang basah, ini akan terasa membebani.
Foto bersama di Pos 1 dengan kabut yang telah menunggu di belakang kami. (Foto: Fachrul Irwinsyah)
Kekhawatiran gua sempat terjadi di tengah perjalanan menuju Pos 2. Saat itu hujan turun dengan intensitas yang lebih banyak dari sebelumnya. Karena merasa hujan turun dalam waktu yang lama serta waktu yang semakin sore dan langit yang mulai menggelap. Gua pun memutuskan untuk menggunakan jas hujan. Maklum sebelumnya setiap kali hujan turun gua memilih untuk berteduh sejenak atau menerobos karena hanya gerimis kecil dan cuma sebentar. Jadi gua pikir akan terasa engap jika menggunakan jas hujan untuk menapaki jalan setapak yang terus menanjak itu.
Yah, medan menuju Pos 2 tak berbeda jauh dengan dengan perjalanan ke Pos 1: Nanjak Terus! Kata “bonus” Cuma sekali keluar dari mulut gua. Itu pun jaraknya gak lebih dari 50 meter. Bentuknya adalah jalanan landai dengan beberapa ranting yang membentuk seperti terowongan. Awalnya gua berpikir sehabis terowongan ini gua akan melihat dataran luas untuk mendirikan tenda. Tapi ternyata itu salah. Sehabis terowongan gua masih bertemu dengan tanjakan, tanjakan, dan tanjakan. Tapi untungnya tak lama setelah itu gua bertemu dengan Pos 2.
Di sana gua bertemu dengan Kubing dan Bakong yang telah sampai lebih dulu. Gua sendiri meninggalkan beberapa orang di belakang gua semenjak memakai jas hujan. Hal itu gua lakuin karena gua membawa tenda. Dengan gua sampai lebih dulu itu artinya gua bisa mendirikan tenda lebih cepat dan mereka yang baru datang bisa langsung istirahat. Apalagi saat itu waktu sudah menunjukan pukul 17.30 saat gua sampai di Pos 2. Akan lebih repot jika mendirikan tenda saat gelap ditambah cuaca yang tak menentu seperti yang terjadi selama pendakian.
Camping Ground di Pos 2. (Foto: Fachrul Irwinsyah)
Gua pun mendirikian tenda di lokasi yang telah ditentukan Bakong dan Kubing. Sedang mereka menysul yang di belakang karena ternyata ada bagian tenda (seinget gua itu frame) yang terdapat di tas lain (kalau tidak salah ada di tas bang Awang atau Acob, gua lupa).
Di sini, di bawah pohon besar di ketinggian 2050 mdpl, Camping Ground Pos 2 Gunung Merbabu, 3 buah tenda berdiri. Di sanalah kami akan beristirahat untuk lelap malam. Melepas lelah. Mengisi tenaga untuk kembali melangkahkan kaki mencapai puncak Gunung Merbabu esok hari.
Malam Pertama di Merbabu
Langit menggelap saat malam mulai datang. Udara dingin khas pegunungan menerpa tubuh lelah kami yang tengah sibuk mendirikan tenda. Semakin dingin saat angin melewati tubuh kami yang penuh piluh bercampur air gerimis lewat dari kabut yang menjadi teman pendakian kami. Saat itu rasanya ingin segera masuk ke dalam tenda, mengganti baju dengan yang lebih hangat dan menyeruput secangkir kopi atau teh. Ah... nikmatnya.Usai membereskan tenda dan peralatan, kami makan malam di tenda utama yang berukuran lebih besar dari 2 tenda lainnya. Bentuknya seperti kapsul, dalamnya terdapat teras di bagian tengah yang digunakan untuk memasak dan makan bersama. Posisi teras diapit oleh tempat untuk tidur yang berada di sisi kanan dan kiri. Tenda itu diisi oleh 6 orang yang semuanya adalah perempuan. Sedangkan para pria menempati 2 tenda yang terpisah. Gua, Acob, Ivan, dan Haphap tidur di tenda yang gua bawa. Lalu Bang Awang, Kubing, Bakong dan Iqbal menempati tenda sisanya.
Makanan dari para ladies mengisi perut kami malam itu. Mengembalikan tenaga gua dan sedikit mengurangi rasa dingin yang terasa tak berhenti. Perlu diketahui salah satu yang membuat kita merasa dingin adalah perut yang lapar. Maka dari itu jangan biarin perut lo kelaparan di tengah dingin.
Selesai makan kami kembali ke tenda masing-masing. Istirahat. Karena besok kami akan melanjutkan pendakian. Meskipun, di dalam tenda kami tak benar-benar langsung rebah dan tidur. Kami masih sempat bermain kartu dan ngobrol ngolor ngidul sebagai pengantar tidur. Hingga lelah dan memutuskan untuk benar-benar tidur.
Malam yang tenang tak benar-benar terasa buat gua. Langit meneteskan air sejak jam 11 malam. Yah, hujan. Membuat malam gua dipenuhi rasa khawatir. Awalnya memang tak ada masalah tak ada tetesan air yang masuk ke tenda. Hingga gua merasa ada bagian yang basah di sisi bawah tenda: rembes. Rembesan itu ternyata berasal dari air yang masuk melalui celah jaitan yang sealnya sudah rusak. Dari situ kekhawatiran gua semakin meningkat.
Gua coba meminimalisir kebocoran dengan melapisi lokasi tetesan air dengan rain coat agar tidak rembes ke dalam. Hasilnya berhasil. Dinding tenda sisi kiri gua tidak kemasukan air lagi. Tapi masalah belum selesai. Karena ternyata rembes juga terjadi di sisi kanan tenda yang ditempati Haphap. Sialnya bagian itu rembes karena ada ikatan tenda yang lepas dan gua sedikit enggan untuk keluar di tengah hujan yang semakin deras. Selain itu air juga masuk dari bagian atas tenda milik om gua tersebut, sepertinya seal pada bagian tersebut juga sudah rusak. Meski bocor di beberapa sisi, nyatanya 3 teman setenda gua bisa tidur dengan nyenyak. Sedangkan gua baru merasa tenang dan tidur saat hujan mereda hingga akhirnya berhenti sekitar pukul 3 pagi.
“Kalau besok pagi hujan kembali deras, gua di tenda aja gak ikut muncak”, itulah yang gua katakan sebelum benar-benar tidur.
Akomodasi Berangkat:
- Tiket Kereta Pasar Senen – Semarang Poncol: Rp 120.000
- Sewa Mobil Bak Semarang Poncol – Basecamp: Rp 750.000
- Simaksi Jalur Pendakian Wekas – Wekas: Rp 5.000
Perjalanan kami belum selesai, seperti apa terjalnya jalan ke puncak Merbabu?
Baca kisah selanjutnya: Wekas, Jalan Terjal ke Puncak Merbabu #2
Lihat foto-foto pendakiannya di: Flickr
إرسال تعليق
Dilarang mempromosikan situs judi, situs porno dan tindak pidana lainnya. Komentarlah dengan etika tanpa melanggar UU ITE.